Jakarta (ANTARA) - Peneliti The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Christina Clarissa Intania menyerukan bahwa rakyat berhak marah atas ketidakpatuhan DPR terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat batas usia calon kepala daerah, dan tetap menggunakan syarat partai politik dalam mengusung calon.
“Masyarakat mulai jenuh dengan penyalahgunaan-penyalahgunaan proses legislasi yang tidak mencerminkan kepentingan umum, mengesampingkan demokrasi, serta memanipulasi hukum dan kebijakan, yang dilakukan oleh para elit politik, termasuk pemerintah, partai politik, lembaga peradilan, maupun lembaga perwakilan rakyat dan penyelenggara pemilu," kata Christina dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, (22/8).
"Putusan MK yang final dan mengikat saja tidak ditaati, tentu saja masyarakat menjadi geram dan memilih untuk terjun langsung ke lapangan,” sambungnya.
Adapun pada hari ini akan dilaksanakan demonstrasi oleh masyarakat sipil yang berpusat di depan Kantor DPR RI.
Demonstrasi ini ditujukan sebagai kritik atas akan disahkannya Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang tidak mengakomodir hasil Putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan kepala daerah sebelumnya.
Christina mengingatkan bahwa demonstrasi adalah bentuk hak konstitusional warga negara Indonesia untuk berekspresi dan berpendapat yang harus dijamin dan dilindungi.
Untuk itu, segala bentuk kekerasan yang dilakukan pada masyarakat sipil peserta demo harus dicegah dan tidak dapat diterima.
"Belajar dari demonstrasi-demonstrasi bersejarah di masa sebelumnya, penting untuk memastikan bahwa korban luka dan korban jiwa harus dicegah dalam demonstrasi kali ini," ujar Christina.
Selain itu, dia berharap aparat keamanan dapat mengamankan kantor DPR dan menjaga keamanan demonstrasi sesuai pada porsinya.
Aparat keamanan juga perlu bisa membedakan mana usaha penjagaan keamanan, mana yang sudah mencelakakan masyarakat sipil dan melanggar hak asasinya untuk tidak disiksa.
Apabila terjadi penangkapan harus dilakukan berdasarkan prosedur hukum acara yang berlaku dan tetap mengedepankan hak asasi dari demonstran yang ditahan. Bantuan hukum tetap harus bisa diakses oleh siapa pun yang ditahan.
"Demokrasi kita sudah di ambang batas, jangan sampai akses keadilan dan kebebasan berekspresi, maupun kebebasan sipil juga dihilangkan," pungkasnya.
Baca juga: Anggota F-PKB pilih tidak hadiri rapat paripurna karena menolak RUU Pilkada
Baca juga: Dewan Guru Besar UI desak hentikan revisi UU Pilkada
Baca juga: Cak Imin mengaku tak tahu rapat Baleg DPR membahas RUU Pilkada
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: TII: Rakyat berhak marah atas ketidakpatuhan DPR pada MK
“Masyarakat mulai jenuh dengan penyalahgunaan-penyalahgunaan proses legislasi yang tidak mencerminkan kepentingan umum, mengesampingkan demokrasi, serta memanipulasi hukum dan kebijakan, yang dilakukan oleh para elit politik, termasuk pemerintah, partai politik, lembaga peradilan, maupun lembaga perwakilan rakyat dan penyelenggara pemilu," kata Christina dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, (22/8).
"Putusan MK yang final dan mengikat saja tidak ditaati, tentu saja masyarakat menjadi geram dan memilih untuk terjun langsung ke lapangan,” sambungnya.
Adapun pada hari ini akan dilaksanakan demonstrasi oleh masyarakat sipil yang berpusat di depan Kantor DPR RI.
Demonstrasi ini ditujukan sebagai kritik atas akan disahkannya Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang tidak mengakomodir hasil Putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan kepala daerah sebelumnya.
Christina mengingatkan bahwa demonstrasi adalah bentuk hak konstitusional warga negara Indonesia untuk berekspresi dan berpendapat yang harus dijamin dan dilindungi.
Untuk itu, segala bentuk kekerasan yang dilakukan pada masyarakat sipil peserta demo harus dicegah dan tidak dapat diterima.
"Belajar dari demonstrasi-demonstrasi bersejarah di masa sebelumnya, penting untuk memastikan bahwa korban luka dan korban jiwa harus dicegah dalam demonstrasi kali ini," ujar Christina.
Selain itu, dia berharap aparat keamanan dapat mengamankan kantor DPR dan menjaga keamanan demonstrasi sesuai pada porsinya.
Aparat keamanan juga perlu bisa membedakan mana usaha penjagaan keamanan, mana yang sudah mencelakakan masyarakat sipil dan melanggar hak asasinya untuk tidak disiksa.
Apabila terjadi penangkapan harus dilakukan berdasarkan prosedur hukum acara yang berlaku dan tetap mengedepankan hak asasi dari demonstran yang ditahan. Bantuan hukum tetap harus bisa diakses oleh siapa pun yang ditahan.
"Demokrasi kita sudah di ambang batas, jangan sampai akses keadilan dan kebebasan berekspresi, maupun kebebasan sipil juga dihilangkan," pungkasnya.
Baca juga: Anggota F-PKB pilih tidak hadiri rapat paripurna karena menolak RUU Pilkada
Baca juga: Dewan Guru Besar UI desak hentikan revisi UU Pilkada
Baca juga: Cak Imin mengaku tak tahu rapat Baleg DPR membahas RUU Pilkada
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: TII: Rakyat berhak marah atas ketidakpatuhan DPR pada MK