Kupang (ANTARA) - Penjabat Gubernur Nusa Tenggara Timur Andriko Noto Susanto meminta setiap instansi meningkatkan upaya pengendalian dan pencegahan terhadap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di provinsi kepulauan itu.
"Masyarakat NTT pada umumnya bergantung pada kawasan dengan status Area Penggunaan Lain (APL) dan memiliki budaya bertani dengan pola tebas bakar. Satu sisi pola bertani dengan tebas bakar tersebut dapat menekan biaya operasional, namun di sisi lain dapat menyebabkan asap dan kebakaran lahan yang luas," katanya di Kupang, Kamis, (12/9).
Hal ini disampaikannya di sela-sela rapat koordinasi pengendalian karhutla yang digelar di Kupang dan dihadiri sejumlah pihak terkait.
Dia menjelaskan bahwa secara ekologi kondisi lahan, semak belukar, dan hutan di NTT lebih didominasi oleh ekosistem savana, sehingga potensi sumber bahan bakar lebih berupa semak belukar dan alang-alang yang lebih mudah terbakar namun lebih cepat juga untuk dipadamkan.
Hal ini, ujar dia, dapat mengakibatkan frekuensi hotspot di NTT selama ini memiliki angka yang cukup tinggi.
"Selama ini kita hanya mengambil, menggunakan, dan membuang. Tetapi dalam konteks ekonomi sirkular sebenarnya kita tidak boleh seperti itu. Karena pola-pola seperti itu adalah pola-pola pembangunan dengan menyakiti bumi yang akan berdampak pada kerusakan bumi," katanya.
Dia mengatakan bahwa ekonomi sirkular yang dimaksud yaitu renew, reuse, reduce, recycle, dan refurbish.
"Pada intinya kita tidak perlu lagi mengambil, menggunakan, dan membuang. Pola-pola yang telah disebutkan tadi yang perlu dilakukan. Agar siklus ekosistem bumi dapat berjalan dengan baik," ungkap Andriko.
Di menegaskan bahwa membangun tanpa menyakiti bumi itu harus disuarakan terus. Pada saat manusia mengeksploitasi secara berlebihan, atau pada saat membakar sampah, itu juga bagian dari menyakiti bumi.
Cara seperti itu, ujar dia, harus dikendalikan, sehingga bumi bisa berjalan seimbang antara flora, fauna, air, tanah, batuan atau manusia yang tinggal di dalamnya.
Penjabat Gubernur juga mengatakan bahwa berdasarkan prediksi World Meteorological Organization ( WMO) atau Organisasi Meteorologi Dunia, suhu bumi akan meningkat 3 derajat Celcius pada 2027-2028.
Baca juga: BPBD Lembata imbau warga waspadai karhutla
Jika suhu bumi meningkat, maka proses dekomposisi berjalan lebih cepat, dan produksi makanan bisa saja terganggu, air akan cepat menguap, sehingga sumber air di permukaan akan semakin tipis.
Baca juga: KPH wilayah Lembata identifikasi 76 titik potensi karhutla
"Jika tiba-tiba suhu bumi meningkat dan ancaman krisis pangan dunia yang akan terjadi seperti pasokan pangan dunia berhenti, dan produksi pangan kita tidak mencukupi. Hal ini menjadi perhatian juga peringatan bagi kita," tegasnya.
"Masyarakat NTT pada umumnya bergantung pada kawasan dengan status Area Penggunaan Lain (APL) dan memiliki budaya bertani dengan pola tebas bakar. Satu sisi pola bertani dengan tebas bakar tersebut dapat menekan biaya operasional, namun di sisi lain dapat menyebabkan asap dan kebakaran lahan yang luas," katanya di Kupang, Kamis, (12/9).
Hal ini disampaikannya di sela-sela rapat koordinasi pengendalian karhutla yang digelar di Kupang dan dihadiri sejumlah pihak terkait.
Dia menjelaskan bahwa secara ekologi kondisi lahan, semak belukar, dan hutan di NTT lebih didominasi oleh ekosistem savana, sehingga potensi sumber bahan bakar lebih berupa semak belukar dan alang-alang yang lebih mudah terbakar namun lebih cepat juga untuk dipadamkan.
Hal ini, ujar dia, dapat mengakibatkan frekuensi hotspot di NTT selama ini memiliki angka yang cukup tinggi.
"Selama ini kita hanya mengambil, menggunakan, dan membuang. Tetapi dalam konteks ekonomi sirkular sebenarnya kita tidak boleh seperti itu. Karena pola-pola seperti itu adalah pola-pola pembangunan dengan menyakiti bumi yang akan berdampak pada kerusakan bumi," katanya.
Dia mengatakan bahwa ekonomi sirkular yang dimaksud yaitu renew, reuse, reduce, recycle, dan refurbish.
"Pada intinya kita tidak perlu lagi mengambil, menggunakan, dan membuang. Pola-pola yang telah disebutkan tadi yang perlu dilakukan. Agar siklus ekosistem bumi dapat berjalan dengan baik," ungkap Andriko.
Di menegaskan bahwa membangun tanpa menyakiti bumi itu harus disuarakan terus. Pada saat manusia mengeksploitasi secara berlebihan, atau pada saat membakar sampah, itu juga bagian dari menyakiti bumi.
Cara seperti itu, ujar dia, harus dikendalikan, sehingga bumi bisa berjalan seimbang antara flora, fauna, air, tanah, batuan atau manusia yang tinggal di dalamnya.
Penjabat Gubernur juga mengatakan bahwa berdasarkan prediksi World Meteorological Organization ( WMO) atau Organisasi Meteorologi Dunia, suhu bumi akan meningkat 3 derajat Celcius pada 2027-2028.
Baca juga: BPBD Lembata imbau warga waspadai karhutla
Jika suhu bumi meningkat, maka proses dekomposisi berjalan lebih cepat, dan produksi makanan bisa saja terganggu, air akan cepat menguap, sehingga sumber air di permukaan akan semakin tipis.
Baca juga: KPH wilayah Lembata identifikasi 76 titik potensi karhutla
"Jika tiba-tiba suhu bumi meningkat dan ancaman krisis pangan dunia yang akan terjadi seperti pasokan pangan dunia berhenti, dan produksi pangan kita tidak mencukupi. Hal ini menjadi perhatian juga peringatan bagi kita," tegasnya.