Flores Timur (ANTARA) - "Kita juga berpikir, apakah ini akhir dari hidup kita," kata Romo Martin, salah satu saksi atas dahsyatnya letusan Gunung Lewotobi Laki-laki, yang terjadi pada Minggu (3/11).

Seperti apa bayangan kiamat? Mungkin banyak di antara kita yang membayangkan hari kiamat sebagai suatu proses yang amat dahsyat, di mana Bumi dan seisinya menjadi luluh lantak, dan manusia di dalamnya tak lagi mampu menunjukkan kekuatan kala berhadapan dengan kehendak Tuhan.

Gelap, mencekam, diselingi suara petir yang bergemuruh, atau dihujani batu berselimut api yang bergelora. Kira-kira, salah satu dari beberapa kata tersebut menjadi hal yang dipikirkan oleh kebanyakan orang, tatkala diperintah untuk membayangkan bagaimana kiamat akan terjadi.

Keempat kejadian itulah yang benar-benar dialami oleh warga yang bermukim di sekitar Gunung Lewotobi Laki-laki, tidak terkecuali Romo Martinus Kapitan Sogen, seorang rektor atau praeses di Seminari San Dominggo, Desa Hokeng Jaya, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).


Awal mula
Kamis, 1 November 2024, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengimbau kepada masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Lewotobi Laki-laki untuk siaga terhadap bencana letusan gunung berapi.

Imbauan tersebut disampaikan, dengan mempertimbangkan kondisi Gunung Lewotobi Laki-laki yang beberapa kali mengeluarkan semburan awan panas, yang dinilai bisa membahayakan nyawa masyarakat sekitar.

Pada waktu itu, masyarakat sebenarnya sudah bersiaga akan adanya potensi bencana, namun kesiagaan masyarakat seolah mereda, sebab, dalam dua hari berikutnya, Gunung Lewotobi Laki-laki tidak mengeluarkan erupsi sama sekali.

Pada Minggu siang, 3 November 2024, hari berjalan sebagaimana biasanya. Masyarakat ada yang berkebun, beternak, juga menikmati akhir pekannya, tanpa merasakan adanya sesuatu yang berbeda.

Juga bagi Romo Martin, hari itu adalah momen baginya untuk mempersiapkan diri menyambut awal pekan yang baru. Saat itu, ia memilih untuk bekerja hingga larut malam.

Di malam hari, hujan mulai membasahi wilayah yang berada di sekitar Gunung Lewotobi Laki-laki. Intensitasnya kian meningkat seiring berjalannya waktu. Suasana halaman depan Seminari San Dominggo, Hokeng, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Rabu (6/11/2024) (ANTARA/Sean Filo Muhamad)
Romo Martin bercerita bahwa hujan di malam hari itu merupakan sesuatu yang dirindukan oleh masyarakat setempat, sebab sudah beberapa waktu belakangan ini hujan tidak mampir di wilayah sekitarnya.

Pun demikian bagi 232 siswa dan 27 tenaga didik yang membersamai Romo Martin di Seminari San Dominggo. Banyak di antara mereka yang memaksimalkan momentum tersebut untuk beristirahat dengan nyenyak.

Udara dataran tinggi yang sejuk terkena hujan, bunyi gemercik air hujan yang jatuh membasahi bumi, ditambah dengan suasana bangunan dengan arsitektur Eropa yang dimiliki seminari itu rasanya menjadi kombinasi yang pas untuk mengakhiri hari dengan tenang.

Namun siapa sangka, suasananya berbalik 180 derajat, saat waktu mendekati tengah malam.


Bayang-bayang kiamat
Listrik padam, kilat menyambar, hingga gemuruh yang terdengar dari arah Gunung Lewotobi Laki-laki mengubah suasana damai dan temaram bangunan bernuansa kolonial tersebut menjadi ramai dan mencekam. Hingga akhirnya pada pukul 23.57 WITA, suara dentuman keras terdengar dari arah gunung berapi tersebut.

Mendengar dentuman itu, Romo Martin sejenak menghentikan jari-jemarinya kala mengetikkan kalimat demi kalimat di atas papan kunci. Tidak lama kemudian, ia menyadari ada suatu yang tidak beres.
"Blaaar", terdengar suara plafon yang runtuh. Suara itu juga diikuti suara "klutuk-klutuk". Sontak, Romo Martin bersembunyi di kolong meja, sembari sesekali mengintip apa gerangan yang terjadi.

Tidak lama kemudian, barulah ia sadar bahwa suara tersebut ditimbulkan oleh batu yang berjatuhan di atas sekolah yang memiliki luas lahan hingga 12 hektare tersebut.

Pada saat itulah, Romo Martin tidak menyangka bahwa dirinya akan mengalami kejadian ini dalam hidupnya. Gelap, mencekam, diselingi suara petir yang bergemuruh, serta dihujani batu berselimut api yang bergelora.

"Kami juga berpikir, apakah ini akhir dari hidup kami? Aeperti itu. Tapi, berhadapan dengan situasi ini dan anak-anak kami, kami juga tidak boleh memikirkan diri kita sendiri, kita juga harus ingat kalau kita juga mengurus orang lain," katanya mengungkapkan perasaannya, saat menghadapi hal tersebut.

Oleh sebab itu, Romo Martin memutuskan untuk melupakan bayang-bayang kiamatnya, demi menyelamatkan seluruh umat di sekolah yang telah berdiri lebih dari 70 tahun lamanya itu.

Seketika suasana sudah mulai kondusif, ia bersama dengan para calon imam atau frater di seminari itu bergegas mengevakuasi para siswa, guru, dan seluruh karyawannya ke dalam kapel.

Evakuasi berjalan cepat, sebab seluruhnya telah mengetahui ke mana mereka harus pergi saat berada dalam kondisi gawat darurat, sebagaimana frasa keyakinan yang dipercayainya, "extra Ecclesiam nulla salus", yang berarti "di luar gereja tidak ada keselamatan" atau "tidak ada keselamatan di luar gereja".

Memang, bangunan kapel tersebut terlihat sebagai bangunan paling kokoh di kompleks seminari tersebut. Hal ini terlihat dari struktur bangunannya, yang dilengkapi dengan fondasi batu alam yang identik dengan nuansa kolonial.

Tak lama berselang, seluruh warga seminari terevakuasi, beberapa di antaranya ada yang tertimpa batu, terkena luka bakar, dan berbagai cedera kecil lainnya.

Romo Martin bergegas memimpin doa bersama, sebagai upaya untuk menenangkan seluruh keluarga Seminari San Dominggo, sembari beberapa orang yang terluka mendapatkan pertolongan pertama dari sebagian yang lainnya.

Hingga sekitar pukul 04.00 WITA, bantuan dari otoritas setempat datang untuk mengevakuasi seluruh orang di seminari tersebut.

Seluruh siswa, guru, dan karyawan dievakuasi ke tempat yang lebih aman, sementara Romo Martin memutuskan untuk menetap, demi melaksanakan amanat dan tugas moral yang diembannya.

Pada kejadian tersebut, seluruhnya selamat, namun tidak seberuntung keluarga Seminari San Dominggo. Sebanyak 10 orang warga sekitar menjadi korban muntahan batu pijar gunung Lewotobi Laki-laki.

Romo Martin secara arif menyampaikan bahwa ini semua merupakan kekuasaan Tuhan, di mana mereka yang tidak selamat bukan berarti bahwa mereka penuh dosa dan layak untuk dicelakakan.

"Mereka meninggal, ini cara Tuhan ambil mereka. Kita masih hidup, berarti Tuhan beri kesempatan untuk kita hidup untuk selalu berbuat baik," ucap Romo Martin, mengambil hikmah dari bayang-bayang kiamatnya.


Kata ahli
Mengenai peristiwa ini, Kepala PVMBG Hadi Wijaya menyebut erupsi atau letusan Gunung Lewotobi Laki-laki kali ini sebagai sesuatu yang tidak biasa.
Menurutnya, erupsi yang terjadi di gunung berapi tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, di mana jenis erupsinya merupakan erupsi eksplosif yang melontarkan batu-batu pijar.

Lontaran batu-batu pijar tersebut berukuran rata-rata sebesar kepalan tangan orang dewasa, di mana pada batu yang paling besar, kekuatannya mampu melubangi tanah dan jalan dengan diameter sepanjang 13 meter, dan dalam lubang yang mencapai 5 meter.

Baca juga: Artikel - Menata asa pascaletusan gunung tertinggi Jawa

Ini merupakan peristiwa yang belum pernah ada di Gunung Lewotobi Laki-laki sebelumnya, sehingga kejadian ini di luar perkiraan. Oleh sebab itu, kajian yang lebih komprehensif akan dilakukan untuk meneliti apa yang sebenarnya terjadi di Gunung Lewotobi Laki-laki.

Baca juga: Artikel - Memetik makna dari nestapa bencana

Di akhir perjumpaan dengan Romo Martin, ia pun berpesan untuk senantiasa berbuat baik kepada orang lain. Sebab, untuk berbuat baik kepada orang lain tidak perlu menunggu waktu hingga bayang-bayang kiamat muncul di hadapan kita semua.

 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Bayang-bayang kiamat Romo Martin yang terjadi kala erupsi Lewotobi

Pewarta : Sean Filo Muhamad
Editor : Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2024