Kupang (Antara NTT) - Sekretaris Dewan Pimpinan Provinsi Asosiasi Pengusaha Indonesia Nusa Tenggara Timur Theodorus Widodo mengatakan pada prinsipnya Apindo siap jika memang "outsourcing" akan dihapus, namun menunggu keputusan untuk mengubah undang-undang tenaga kerja.
"Hal ini penting, karena pada awal Januari lalu MK mengabulkan uji materi yang diajukan para pekerja penghitung meteran listrik," katanya di Kupang, Kamis.
Dalam putusannya, MK memerintahkan agar tidak ada lagi perbedaan hak antara tenaga kerja "outsourcing" (alih daya), dan tenaga kerja tetap di sebuah perusahaan.
Selain itu, MK juga menetapkan tenaga kerja alih daya hanya bisa digunakan untuk jenis-jenis pekerjaan yang statusnya sementara, atau tidak tetap.
Menurut dia, penghapusan tenaga kerja alih daya akan berdampak pada iklim usaha, dan industri di Indonesia, karena setiap industri akan mengeluarkan anggaran lebih banyak untuk membayar pesangon karyawan.
"Masih banyak negara di dunia ini yang memilih menerapkan outsourcing untuk menarik investasi, hal ini akan membuat pelaku industri dapat memindahkan usahanya ke negara yang masih menerapkan sistem ini karena alasan upah yang murah.
Terkait masalah keahlian dari tenaga kerja di Indonesia yang masih rendah, sudah ada pembicaraan dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk program magang.
"Apindo mengapresiasi adanya program ini. Kami mendorong agar perusahaan-perusahaan melaksanakan program pemagangan, karena manfaatnya langsung dapat dirasakan oleh perusahaan," katanya.
Apindo juga akan berusaha untuk mendorong adanya pengembangan skill bagi tenaga kerja di Indonesia agar bisa memenuhi kebutuhan perusahaan/industri.
Apindo, kata dia, siap memberikan dan memfasilitasi akses pekerja yang bersedia membina, melatih, dan bermitra untuk menyelenggarakan program pemagangan perusahaan.
Ia mengatakan pada akhir Juni 2012 Apindo NTT menggelar pendidikan dan pelatihan (diklat) kewirausahaan selama 48 hari bagi 100 pemuda putus sekolah di Kota Kupang yang dikategorikan sebagai pengangguran.
"Berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak (PA), jumlah anak putus sekolah di 33 provinsi di Indonesia hingga 2007 sebanyak 11,7 juta jiwa," katanya.
Jumlah tersebut terus bertambah dari waktu ke waktu, sehingga mengakibatkan sekitar 155.965 anak putus sekolah tersebut hingga 2010 hidup berkeliaran di jalanan.
Akibatnya, kata Widodo, sekitar 2,1 juta orang terpaksa menjadi pekerja dibawah umur dengan melakukan berbagai pekerjaan demi melanjutkan hidup seperti pedagang asongan, pengemis, pencopet, pedagang narkoba atau menjadi pembantu rumah tangga, termasuk melakukan pernikahan di usia dini.
"Hal ini merupakan permasalahan sehingga mendorong Apindo melakukan kerjasama dengan organisasi PBB sektor pekerja atau International Labour Oragization (ILO) dan DPN Apindo melakukan Diklat tahap pertama di bidang pelatihan pengembangan ketrampilan untuk mempersiapkan pemuda siap bekerja," katanya.
Diklat itu, kata dia juga untuk membuka dan meningkatkan akses pemuda yang kurang beruntung dari aspek pendidikan formal dan kesempatan kerja yang berorientasi pasar dan pelatihan ketrampilan inti dengan pendekatan program pelatihan kejuruan yang didasarkan pada permintaan pasar.
"Hal ini penting, karena pada awal Januari lalu MK mengabulkan uji materi yang diajukan para pekerja penghitung meteran listrik," katanya di Kupang, Kamis.
Dalam putusannya, MK memerintahkan agar tidak ada lagi perbedaan hak antara tenaga kerja "outsourcing" (alih daya), dan tenaga kerja tetap di sebuah perusahaan.
Selain itu, MK juga menetapkan tenaga kerja alih daya hanya bisa digunakan untuk jenis-jenis pekerjaan yang statusnya sementara, atau tidak tetap.
Menurut dia, penghapusan tenaga kerja alih daya akan berdampak pada iklim usaha, dan industri di Indonesia, karena setiap industri akan mengeluarkan anggaran lebih banyak untuk membayar pesangon karyawan.
"Masih banyak negara di dunia ini yang memilih menerapkan outsourcing untuk menarik investasi, hal ini akan membuat pelaku industri dapat memindahkan usahanya ke negara yang masih menerapkan sistem ini karena alasan upah yang murah.
Terkait masalah keahlian dari tenaga kerja di Indonesia yang masih rendah, sudah ada pembicaraan dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk program magang.
"Apindo mengapresiasi adanya program ini. Kami mendorong agar perusahaan-perusahaan melaksanakan program pemagangan, karena manfaatnya langsung dapat dirasakan oleh perusahaan," katanya.
Apindo juga akan berusaha untuk mendorong adanya pengembangan skill bagi tenaga kerja di Indonesia agar bisa memenuhi kebutuhan perusahaan/industri.
Apindo, kata dia, siap memberikan dan memfasilitasi akses pekerja yang bersedia membina, melatih, dan bermitra untuk menyelenggarakan program pemagangan perusahaan.
Ia mengatakan pada akhir Juni 2012 Apindo NTT menggelar pendidikan dan pelatihan (diklat) kewirausahaan selama 48 hari bagi 100 pemuda putus sekolah di Kota Kupang yang dikategorikan sebagai pengangguran.
"Berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak (PA), jumlah anak putus sekolah di 33 provinsi di Indonesia hingga 2007 sebanyak 11,7 juta jiwa," katanya.
Jumlah tersebut terus bertambah dari waktu ke waktu, sehingga mengakibatkan sekitar 155.965 anak putus sekolah tersebut hingga 2010 hidup berkeliaran di jalanan.
Akibatnya, kata Widodo, sekitar 2,1 juta orang terpaksa menjadi pekerja dibawah umur dengan melakukan berbagai pekerjaan demi melanjutkan hidup seperti pedagang asongan, pengemis, pencopet, pedagang narkoba atau menjadi pembantu rumah tangga, termasuk melakukan pernikahan di usia dini.
"Hal ini merupakan permasalahan sehingga mendorong Apindo melakukan kerjasama dengan organisasi PBB sektor pekerja atau International Labour Oragization (ILO) dan DPN Apindo melakukan Diklat tahap pertama di bidang pelatihan pengembangan ketrampilan untuk mempersiapkan pemuda siap bekerja," katanya.
Diklat itu, kata dia juga untuk membuka dan meningkatkan akses pemuda yang kurang beruntung dari aspek pendidikan formal dan kesempatan kerja yang berorientasi pasar dan pelatihan ketrampilan inti dengan pendekatan program pelatihan kejuruan yang didasarkan pada permintaan pasar.