Jakarta (ANTARA) - Jauh sebelum lagu “Rayuan Pulau Kelapa” digubah Ismail Marzuki pada 1944, pohon kelapa (Cocos nucifera) telah mengakar dalam irama kehidupan dan budaya Nusantara.

 

Tak sekadar masyarakat pesisir, penduduk pelosok Nusantara menggunakan kelapa sebagai minyak, minuman dan bahan kuliner hidangan tradisional. Kayu kelapa digunakan sebagai konstruksi rumah, daunnya sebagai atap.

Banyak masyarakat adat juga menggunakan janur (daun kelapa muda) untuk kegiatan budaya dan upacara keagamaan. Dalam naskah kuno Nagarakretagama, kelapa disebut sebagai “kalpadruma”, atau pohon kehidupan yang juga melambangkan kemakmuran.

Hari ini, kelapa bukan hanya menjadi simbol tetapi penopang ekonomi Indonesia. Data BPS pada 2023 menyebutkan, dari 3,32 juta hektare kebun kelapa kita, sekitar 98% dikelola sebagai kebun rakyat, yang menghidupi lebih dari dua juta keluarga tani.

Negara ini produsen kelapa terbesar ke-2 di dunia, dengan produksi mencapai 2,83 juta metrik ton (MT) pada 2023. Pada tahun tersebut, ekspor kelapa Indonesia tercatat sebesar 1,55 miliar dolar AS (Rp23 triliun), dengan pangsa sebesar 38,3 persen dari total ekspor dunia.

Namun, jalan pengembangan komoditas kelapa membawa kesejahteraan masyarakat masih panjang dan banyak persoalan yang harus diselesaikan. Produktivitas rata-rata perkebunan kelapa kita hanya 1,1 ton kopra/hektare, jauh di bawah potensi genetik kelapa unggul yang dapat mencapai 3,5 ton.

Nilai tambah dan efek manfaat produk kelapa belum banyak dirasakan masyarakat luas. Industri kelapa belum memaksimalkan potensi secara optimal, dan hilirisasi belum menjadi peta jalan pengembangan komoditas ini. Kondisi tersebut ditambah ancaman perubahan iklim dan tekanan pasar global  menuntut kita menengok kembali dan mencermati warisan 100 tahun inovasi dan pengembangan kelapa tanah air, yang akan diperingati pada 2027.

Sejarah modernisasi kelapa

Tonggak modernisasi kelapa Indonesia ditandai penanaman benih kelapa pada 1927 oleh Dr. Thames, peneliti Belanda, di Desa Mapanget, Sulawesi Utara. Awalnya, ia membawa 500 koleksi bibit dari Kebun Raya Bogor untuk uji adaptasi berbagai ekosistem.

Kini, 30 pohon kelapa unggul peninggalannya masih kokoh di kebun Instalasi Pengujian Standar Instrumen Pertanian (IPSIP) Mapanget, saksi bisu berdirinya Klapper Proofstation (1930) lembaga penelitian kelapa pertama Indonesia.

Pada tahun 1967 lembaga tersebut berganti nama menjadi Lembaga Penelitian Tanaman Industri disingkat (LPTI), kemudian tahun 1979 menjadi Balai Penelitian Tanaman Industri atau Balitri, tahun 1984 menjadi Balai Penelitian Kelapa atau Balitka, selanjutnya tahun 1994 menjadi Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain.

Pada 17 Januari 2023 bertransformasi menjadi Balai Pengujian Standar Instrumen Tanaman Palma atau yang populer disebut "BSIP Tanaman Palma" di bawah koordinasi Pusat Standarisasi Instrumen Perkebunan, Kementerian Pertanian.

Tempat ini, bukan sekadar konservasi dan pelestari sejarah kelapa, tetapi garda terdepan modernisasi dan inovasi kelapa Indonesia. Dari lembaga ini, tercatat 60 varietas kelapa nasional telah dilepas, 53 di antaranya dilepas saat BSIP Tanaman Palma masih menjadi lembaga penelitian yaitu Balit Palma.

Selanjutnya, ada 7 varietas lainnya dilepas dalam rentang waktu 2022 - 2024 saat pengamatan awal calon varietas masih dilakukan Balit Palma. Varietas yang dilepas adalah kelapa dalam, kelapa genjah, dan kelapa hibrida hasil kerja sama dengan pemerintah daerah Provinsi dan Kabupaten.

Potensi produksi varietas kelapa dalam unggul tersebut antara 2,6 ton – 3,5 ton kopra/ha/tahun. Kelapa Hibrida KHINA-1, KHINA-2, KHINA-3, KHINA-4 dan KHINA-5 dan Hibrida Hengniu potensi produksinya 3,0-3,5 ton kopra/ha/tahun.

Sedangkan kelapa genjah menghasilkan 80-140 butir/pohon/tahun. Ada pula kelapa semitall, yaitu kelapa bido dari Kabupaten Pulau Morotai yang lambat bertambah tinggi dengan ukuran buah besar. Terkini pada 2024 kelapa dalam upat-upat dari Kabupaten Magelang, dilepas dengan ukuran buah jauh lebih besar dibandingkan dengan kelapa sebelumnya.

Kekuatan lembaga ini terletak pada bank genetiknya, yang menyimpan 100 aksesi kelapa dari seluruh wilayah Indonesia, termasuk kelapa merah waingapu dan kelapa kopyor Jepara.

Materi genetik untuk perakitan varietas unggul kelapa terpelihara dengan baik di Kebun Percobaan (Instalasi Pengujian) dan terekam secara digital. Teknologi whole genome sequencing memungkinkan identifikasi gen kelapa tahan kekeringan dan salinitas.

Varietas unggul yang menjadi materi perakitan kelapa Hibrida juga dikonservasi, seperti kelapa genjah raja, genjah kuning bali, kelapa genjah kuning nias, kelapa dalam mapanget, kelapa dalam palu, kelapa dalam tenga. Beberapa koleksi juga terus diuji untuk mengevaluasi produksi air niranya, yang menjadi bahan baku untuk pengolahan bioethanol dan gula kelapa.

Pengembangan Kelapa di Indonesia

​​Industri kelapa Indonesia menghadapi tantangan signifikan terkait usia tanaman yang menua dan serangan hama. Data menunjukkan 15% pohon kelapa Indonesia berusia lebih dari 50 tahun, mengakibatkan penurunan produktivitas. Selain itu, serangan hama Brontispa longissima dapat menyebabkan penurunan produksi hingga 60% dan potensi kerugian ekonomi mencapai US$40 juta (setara Rp. 600 miliar) per tahun.

Kementerian Pertanian telah meluncurkan program peremajaan 200 ribu hektare kelapa pada periode 2023-2024 dengan menyediakan dan menyebarkan benih unggul bersertifikat. Benih kelapa unggul BSIP Palma telah didistribusikan dan dimanfaatkan di seluruh Indonesia melalui kolaborasi bersama Direktorat Jenderal Perkebunan, Pemerintah Daerah dan swasta.

Pada awal tahun 2000 Balitka bekerja sama dengan Coconut Genetic Resources Network (COGENT) melakukan kegiatan Poverty Reduction Project di Sulawesi Utara dan Gorontalo. Pengembangan kelapa di wilayah sentra gula kelapa juga berhasil dan sukses mendampingi sekitar 500 petani kelapa di Sukabumi, Pangandaran dan Lampung.

Bekerja sama dengan PT. Unilever, Balit Palma mendampingi dalam penyediaan benih, budidaya, sampai penyadapan nira. Awalnya satu petani hanya mampu menderes 20 pohon setiap hari, dan meningkat menjadi 80 pohon setiap harinya, dengan introduksi kelapa Genjah pendek dan mudah sadap. Ada juga pengembangan kelapa lahan rawa di Kaltara yang sukses dalam pengembangannya.

Sejak bertransformasi, BSIP terus melanjutkan pengembangan kelapa melalui kerja sama dengan stakeholder di antaranya PT Cargill Internasional, WCS-IP Indonesia, Aliet Green, PT. Malisya Sejahtera, International Coconut Community, dan COGENT. Jalinan kolaborasi berbagai pihak, diharapkan mendorong pengembangan kelapa nasional.

Di level global, Indonesia aktif dalam kolaborasi dalam pengembangan bioekonomi kelapa. Sebagai anggota International Coconut Community (ICC), Indonesia terlibat dalam konsorsium riset bersama Filipina, India, dan Sri Lanka untuk mengembangkan industri kelapa negara anggota. Peningkatan nilai tambah, investasi di sektor hilir, seperti ekstraksi asam laurat untuk industri farmasi dan kosmetik, menjadi kegiatan penting dari konsorsium.

Menjelang peringatan 100 tahun pengembangan kelapa, Indonesia perlu menerapkan tiga strategi utama yaitu digitalisasi rantai pasok, industrialisasi hijau, dan diplomasi budaya. Integrasi teknologi blockchain untuk keterlacakan produk, pembangunan bio-refinery terintegrasi, dan sertifikasi indikasi geografis untuk produk kelapa khas daerah merupakan langkah-langkah strategis menuju kedaulatan kelapa Indonesia di masa depan.

*) Kuntoro Boga Andri adalah Kepala Pusat Standardisasi Instrumen Perkebunan di Kementerian Pertanian, Republik Indonesia

Editor: Sapto Heru Purnomojoyo

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menuju 100 tahun modernisasi kelapa di Indonesia


Pewarta : Kuntoro Boga Andri *)
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2025