Jakarta (ANTARA) - Kemerdekaan diibaratkan sebagai jembatan emas menuju kesejahteraan. Setelah periode perang kemerdekaan (1945-1949) berakhir, kehidupan rakyat kembali ditata, sebagai bagian dari ikhtiar menuju kesejahteraan dimaksud.

Di masa perang kemerdekaan, bisa jadi profesi militer adalah yang paling banyak mengambil peran, tapi setelah situasi berangsur normal, orang dengan beragam profesi bisa memberikan kontribusinya.

Beberapa profesi dimaksud antara lain adalah guru dan dokter, dua profesi yang paling krusial untuk menyiapkan generasi baru.

Guru dalam menyiapkan aspek kognitif dan karakter, sementara dokter sebagai pemandu pola hidup sehat, agar generasi baru kita tumbuh sehat dengan kecukupan nutrisi.

Profesi lain yang tak kalah penting adalah sektor keuangan, utamanya dalam bidang moneter dan fiskal.

Profesi di bidang moneter dan fiskal juga berperan besar di masa awal republik. Dengan segala keterbatasan administrasi dan infrastruktur saat itu, para profesional di bidang moneter dan fiskal tetap bekerja keras agar perekonomian rakyat tetap berjalan.

Di sisi lain, Indonesia juga dipercaya dalam rintisan perdagangan internasional, sehingga menarik bagi investor.

Setidaknya dua nama tokoh ini berikut pantas disebut sebagai pahlawan di bidang moneter dan fiskal, yakni Sjafruddin Prawiranegara dan Margono Djojohadikusumo.

Utamanya pada Sjafruddin Prawiranegara, yang lebih dikenal sebagai “presiden sementara” pada PDRI (Pemerintahan Darurat RI) di Bukittinggi, selepas Agresi Militer Belanda II (Desember 1948). Posisi Sjafruddin di bidang pemerintahan sipil, acapkali menutup perannya di bidang moneter dan fiskal di masa awal republik.



Gubernur BI pertama

Syafruddin Prawiranegara adalah orang Indonesia pertama dan satu-satunya yang menjadi Presiden De Javasche Bank (DJB) di masa tahun-tahun akhir (1951-1953).

Ia pula yang sekaligus menduduki jabatan Gubernur Bank Indonesia (BI) pertama (1953 -1958), sebagai hasil dari nasionalisasi DJB. Sebelumnya, posisi orang nomor satu di De Javasche Bank (1828 - 1951) selalu dijabat oleh orang berkebangsaan Belanda.

Salah satu yang menonjol di masa kepemimpinan Syafruddin Prawiranegara adalah keteguhannya dalam menjalankan fungsi utama bank sentral sebagai penjaga stabilitas nilai rupiah serta pengelolaan moneter.

Syafruddin adalah orang yang pertama kali menyampaikan usulan, agar pemerintah RI segera menerbitkan mata uang sendiri sebagai atribut kemerdekaan Indonesia untuk mengganti beberapa mata uang asing yang masih beredar.

Ia pernah menjadi Menteri Keuangan pada periode 2 Oktober 1946 – 26 Juni 1947 dan periode 20 Desember 1949 – 27 April 1951.

Syafruddin Prawiranegara menjadi orang yang pertama kali mendesak Mohammad Hatta agar pemerintah RI segera menerbitkan mata uang sendiri sebagai atribut kemerdekaan Indonesia.

Ia juga terkenal dengan kebijakan gunting Syafruddin. Gunting Syafruddin adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, yang mulai berlaku pada jam 20.00 tanggal 10 Maret 1950.

Kebijakan itu dikenal sebagai kebijakan berani yang ditetapkan Pemerintah Indonesia dengan cara menggunting fisik uang kertas.

Ketika itu, ada tiga jenis mata uang yang beredar di Indonesia, yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI), mata uang peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank, serta mata uang yang digunakan ketika NICA (Belanda) berada di Indonesia pasca-kemerdekaan atau selama masa revolusi fisik.

Menurut kebijakan itu, "uang merah" (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua.

Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus 1950 pukul 18.00.

Mulai 22 Maret sampai 16 April 1950,  bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi.

Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar tiga puluh tahun kemudian dengan bunga 3 persen setahun.

“Gunting Syafruddin" itu juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia).

Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat itu sedang terpuruk, utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung.

Dengan kebijaksanaan yang kontroversial itu, Sjafruddin bermaksud melakukan sekali tindakan, tapi bisa tercapai beberapa sasaran:  penggantian mata uang yang bermacam-macam dengan mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dan dengan demikian menurunkan harga barang, serta mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib yang besarnya diperkirakan akan mencapai Rp1,5 miliar.

Sebagai bentuk penghargaan bangsa ini, Syafruddin Prawiranegara mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 8 November 2011 yang dianugerahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Nama Syafruddin Prawiranegara juga diabadikan sebagai nama Gedung di Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.

Sjafruddin Prawiranegara diakui banyak orang sebagai sosok amanah yang memegang teguh kesetiaan kepada negaranya. Saking setianya, dia bahkan tak membocorkan kebijakan penting kepada istrinya, Tengku Halimah.

Pada 1950-an, Tengku Halimah terkejut saat menerima gaji sang suami. Pasalnya, gaji yang tak seberapa itu harus dipotong setengah. Itu sebagai akibat dari kebijakan menteri keuangan yang tak lain adalah suaminya.

"Kok tidak bilang-bilang?” protes Tengku Halimah saat itu. Sjafruddin menjawab, “Kalau bilang-bilang, tidak rahasia, dong!” Demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari delapan anaknya, Tengku Halimah pun harus kas bon ke Kementerian Keuangan.

Utang itu terus bertambah dan baru bisa dilunasi ketika Sjafruddin menjabat Presiden Direktur De Javasche Bank (Bank Indonesia) pada 1951.



Pendiri BNI

Tokoh berikutnya adalah RM Margono Djojohadikusumo, yang dikenal sebagai pendiri, sekaligus Direktur Utama (Presiden Direktur) pertama dari Bank Negara Indonesia (BNI) pada tahun 1946.

Itu sebabnya pada suatu masa, BNI ini pernah memiliki sebutan BNI 46, yang merujuk pada tahun pendiriannya, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1946 di Yogyakarta.

BNI ini didirikan berdasarkan gagasan Margono pribadi. Ia berinisiatif mencari cara agar dapat berkontribusi bagi pembangunan ekonomi Indonesia, sebuah negeri yang baru lepas dari era kolonial.

Untuk pembangunan ekonomi tersebut, Margono berpendapat, diperlukan infrastruktur yakni sebuah institusi perbankan nasional, yang selain mendukung kepentingan domestik, juga mampu melayani transaksi perdagangan internasional.

Ketika Indonesia baru merdeka, dalam pandangan Margono, belum ada satu pun bank nasional milik bangsa Indonesia.

Untuk kepentingan transaksi perdagangan nasional, dilayani oleh bank milik Belanda, atau negara lainnya (salah satunya China), seperti Javasche Bank (cikal bakal Bank Indonesia), NHM (cikal bakal Bank Mandiri), Escompto, Yokohama – Shanghai Bank, Chartered Bank, dan Overseas Chinese Bank.

Mengingat tidak ada satu pun bank nasional yang melayani transaksi perdagangan internasional, Margono bertekad untuk mendirikan bank nasional, sebagai simbol kedaulatan moneter bagi bangsa yang baru merdeka.

Dalam mendirikan BNI dan koperasi rakyat, Margono berpegang pada filosofi, “Kini atau tidak terlaksana selamanya. Siapa yang tidak berusaha tidak akan memperoleh suatu apa pun, siapa yang tidak mencari tidak akan mendapat apa-apa.”

Para tokoh pergerakan Indonesia menghargai dan memuji dedikasi Margono dalam mencari solusi secara konsepsional, dan sekaligus secara kelembagaan mengatasi keterbelakangan kesejahteraan rakyat, baik di masa kolonial maupun kemerdekaan.

Teman-teman segenerasinya, termasuk mereka yang lebih muda, dengan yakin menyebut Margono sebagai Pelopor Koperasi.

Apa yang pernah ia pikirkan soal koperasi, hari ini hidup lagi. Pemerintah sedang membangkitkan koperasi desa atau koperasi kelurahan Merah Putih demi memperluas akses ekonomi masyarakat pedesaan.

Margono adalah sosok yang tidak hanya melahirkan ide, tetapi juga turun langsung mewujudkannya.

Margono adalah man of ideas sekaligus man of action. Ia tidak hanya bermimpi besar, tapi juga mewujudkannya. Ia mendirikan yayasan, merekrut SDM, mengurus perizinan, dan membangun dari awal. 

Margono juga tercatat aktif dalam BPUPKI, menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung pertama, serta menjadi delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar, bersama Sumitro Djojohadikusumo (Pak Cum).

Ia juga dikenal sebagai sosok penting dalam sejarah rupiah karena mendirikan BNI dan mencetak ORI, uang pertama Republik Indonesia.

Tak berlebihan kiranya, bila Margono kelak akan memperoleh gelar Pahlawan Nasional, atas kontribusinya dalam membangun sistem ekonomi (moneter) nasional yang berdikari. Pemikirannya tetap aktual, ketika Indonesia sedang merayakan 80 kemerdekaan.

*) Penulis adalah Dosen UCIC, Cirebon.

Editor: Dadan Ramdani

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Potret pahlawan bidang moneter dan fiskal Indonesia


Pewarta : Dr Taufan Hunneman*)
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2025