Jakarta (ANTARA) - Bencana hidrometeorologi dahsyat yang melanda wilayah Sumatera di akhir 2025 membawa pesan tegas, alam tidak sedang "mengamuk", tanpa sebab, melainkan bentuk ganti rugi atas kerusakan yang dibiarkan terlalu lama.

Pesan itulah yang tampaknya ditangkap jelas oleh Presiden Prabowo Subianto, seusai bolak balik memimpin pemulihan situasi pasca-bencana banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Investigasi Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) bersama Pusat Riset Interdisipliner ITB mengungkap bahwa penyebab banjir besar dipicu oleh kerusakan hutan di kawasan hulu sungai.

Di antara reruntuhan rumah warga, tergeletak batang-batang kayu raksasa dengan potongan rapi menggunakan gergaji mesin, bukan patahan alam.

Fakta di lapangan memang tak bisa dibantah. Data citra satelit menunjukkan deforestasi masif di area tangkapan air. Alih fungsi lahan dan penggundulan hutan telah menghilangkan tutupan vegetasi yang berperan menyerap air hujan.

Tambang-tambang ilegal dan pembukaan lahan perkebunan sawit yang merangsek, hingga ke zona lindung, telah menelanjangi hutan Sumatera. Kondisi ini meningkatkan aliran air permukaan dan memicu banjir bandang, ketika curah hujan tinggi terjadi.

Dari hasil pemeriksaan terhadap 27 perusahaan yang beraktivitas di sekitar lokasi bencana, disimpulkan bahwa ada indikasi keterlibatan korporasi maupun perorangan dalam aktivitas perusakan hutan.

Kejaksaan Agung menyebut proses penegakan hukum terus ditindaklanjuti secara tegas, dengan melibatkan Kementerian Kehutanan serta Polri, guna mencegah bencana serupa terulang di masa depan.

"Kita harus jaga lingkungan hidup kita, alam kita, semua harus kita jaga. Kita tidak boleh tebang pohon sembarangan. Kita minta pemda, semua lebih waspada, lebih mengawasi, kita jaga alam kita sebaik-baiknya," ujar Presiden di posko pengungsian Jembatan Aceh Tamiang, Aceh, Jumat (12/12), sebagai sinyal dimulainya "perang" melawan mafia lingkungan.



Ultimatum

Langkah Presiden tidak berhenti pada retorika. Fakta menarik dari penanganan pasca-banjir, kali ini adalah pelibatan aparat keamanan, bukan hanya untuk evakuasi korban, tapi untuk memburu penyebab bencana.

Instruksi Presiden turun langsung ke Kapolri dan Panglima TNI untuk menyikat habis tambang ilegal dan pembalakan liar di hulu. Tidak ada lagi istilah "beking-bekingan".

Bagi Presiden Prabowo, perusakan lingkungan yang menyebabkan rakyat menderita adalah bentuk ancaman terhadap kedaulatan negara, setara dengan musuh asing.

Satu bulan pasca-bencana, pemerintah menegaskan komitmennya untuk melakukan pembenahan menyeluruh dalam tata kelola sumber daya alam (SDA) guna mencegah bencana serupa terulang.

Di beberapa titik kritis di Sumatera, operasi penertiban mulai gencar dilakukan. Alat-alat berat yang ditemukan tersembunyi di hutan disita. Polisi hutan yang selama ini kekurangan personel, kini mendapat dukungan penuh dari satuan TNI untuk menyisir kawasan terlarang.

Pemerintah pusat juga mencabut izin usaha sejumlah perusahaan perkebunan sawit dan pemanfaatan kayu hasil hutan berskala jutaan hektare di Sumatera yang dinilai berpotensi merusak lingkungan dan memperparah dampak bencana.

Selain sektor kehutanan, lima perusahaan tambang yang dinilai berpotensi merusak lingkungan dan memperparah dampak bencana juga mengalami nasib yang sama.

Ujian terberat dari upaya ini bukan pada penangkapan penebang liar kelas teri, melainkan pada keberanian mengevaluasi korporasi besar, tidak cuma di Sumatera, tetapi juga di daerah lain di Indonesia.

Ultimatum dari Presiden sangat jelas, perusahaan yang terbukti menanam di luar konsesi atau tidak memenuhi kewajiban reboisasi akan dicabut izinnya. Kebijakan ini tentu berisiko menimbulkan gejolak ekonomi jangka pendek, tapi presiden tampaknya memilih jalan terjal demi keselamatan jangka panjang.

Dalam agenda penyerahan uang hasil denda atas pelanggaran administratif kawasan hutan di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (24/12), uang pecahan Rp100.000 hasil denda dan sitaan tersebut dipajang setinggi sekitar 1,5 meter, memenuhi lobi gedung sebagai bukti nyata penegakan hukum di sektor kehutanan.

Dana sitaan terkumpul hingga Rp6,6 triliun yang dihimpun dari hasil penegakan hukum atas pelanggaran kawasan hutan di berbagai daerah, termasuk Provinsi Sumatera.

Tumpukan uang itu terbagi atas Rp2,34 triliun hasil penagihan denda administratif oleh Satgas PKH, serta Rp4,28 triliun hasil penyelamatan keuangan negara dari penanganan tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan RI. Penyerahan ini merupakan bagian dari pengembalian kawasan hutan tahap V seluas 896.969 hektare.

Jauh sebelum ultimatum Presiden Prabowo, Satgas PKH telah berhasil menguasai kembali lahan perkebunan seluas 4.081.560 hektare atau lebih dari 400 persen dari target awal. Nilai indikatif lahan yang kembali dikuasai negara tersebut diperkirakan melampaui Rp150 triliun.

Sebagian lahan yang telah dipulihkan itu telah diserahkan kepada kementerian terkait untuk dimanfaatkan kembali. Di antaranya, 1.708.033 hektare lahan kelapa sawit dikelola PT Agrinas Palma Nusantara, 688.427 hektare kawasan konservasi diserahkan untuk pemulihan ekologis, serta 81.793 hektare kawasan Taman Nasional Tesso Nilo akan dihutankan kembali.

Presiden juga memerintahkan Kementerian Kehutanan untuk menyetop seluruh permohonan perizinan pemanfaatan hutan yang tidak sesuai dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa "Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat".



Menanam harapan baru

Pasca-banjir Sumatera, kali ini bukan sekadar cerita tentang membagikan bantuan mi instan atau membangun hunian sementara. Ini adalah cerita tentang negara yang mulai berani "menunjuk hidung" penyebab musibah dan memulihkan kembali hutan.

Greenpeace Indonesia dalam pernyataannya mengungkap bahwa mayoritas daerah aliran sungai (DAS) di Sumatra berada dalam kondisi kritis karena tutupan hutan alam menyusut, hingga kurang dari 25 persen, dengan tersisa hanya 10–14 juta hektare atau kurang dari 30 persen luas pulau.

Salah satu yang paling parah adalah DAS Batang Toru di Sumatra Utara, yang mengalami deforestasi 70 ribu hektare sejak 1990 atau 21 persen dari total luasnya. Kini tersisa 167 ribu hektare hutan alam (49 persen), sementara 94 ribu hektare lainnya telah dikuasai berbagai izin industri, seperti tambang, sawit, dan PLTA Batang Toru yang mengancam habitat orang utan Tapanuli.

Kondisi ini memperparah potensi erosi tahunan yang mencapai 31,6 juta ton, dengan hulu berubah menjadi pertanian kering dan hilir menjadi kawasan perkebunan serta industri, menyisakan hutan alam hanya di bagian tengah DAS.

Pesiden dalam Sidang Majelis Umum PBB di New York pada 23 September 2025, menyampaikan komitmen Indonesia dalam program reboisasi atau reforestasi berskala besar di lahan seluas 12 juta hektare dalam beberapa tahun mendatang.

Langkah ini dilakukan sebagai bagian dari upaya mengatasi ancaman bencana alam di tengah perubahan iklim, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan kehutanan produktif.

Meski rehabilitasi 12 juta hektare kawasan terdegradasi merupakan pekerjaan besar yang tidak dapat diselesaikan hanya dalam satu atau dua tahun, ikhtiar itu tetap berjalan, hingga sekarang.

Program reforestasi yang kini dijalankan Kementerian Kehutanan menggunakan pendekatan multiusaha atau multitanaman, sehingga tidak hanya memulihkan fungsi ekologis hutan, tetapi juga memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar.Pohon, seperti trembesi, mahoni, kulim, sengon,

aren, pulai, jengkol, petai, hingga durian, kini mulai tumbuh subur di sentra pembibitan Taman Nasional Tesso Nilo.

Perkebunan sawit di lokasi itu ditebang dan diganti dengan bibit pohon yang ditopang oleh akar yang kuat. Jika upaya tersebut berhasil, pemerintah akan berdialog dengan masyarakat sekitar agar mereka turut menanam bibit kayu ulin tersebut di kebun masing-masing.

Bagi warga Sumatera yang sedang membersihkan sisa lumpur di ruang tamu mereka, ketegasan Presiden Prabowo memberikan setitik harapan. Bahwa mungkin, di masa depan, hujan deras akan kembali menjadi berkah yang menyuburkan tanah, bukan lagi lonceng kematian yang menyemburkan lumpur dan banjir bandang dari hutan yang dilukai tangan manusia.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ultimatum Prabowo untuk mafia hutan


Pewarta : Andi Firdaus
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2025