Kupang (ANTARA) - Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni menyambut gembira Maluku dan Nusa Tenggara Timur berhak mendapatkan hak partisipasi (participating interest/PI) masing-masing lima persen dalam pengeboran gas alam abadi di Blok Masela.
"Kami hanya bisa menyampaikan ucapan terima kasih kepada Presiden RI Jokowi atas pembagian yang sama rata, meski NTT baru akan menikmatinya mulai 2025," kata Tanoni kepada pers di Kupang, Sabtu (26/10), menanggapi pembagian Blok Masela oleh Presiden RI.
"Maluku tidak bisa klaim untuk mendapat PI sendiri, karena Blok Masela berada di cekungan Laut Timor. NTT juga berhak untuk mendapatkan PI pengelolaan gas alam di Blok Masela itu," katanya.
Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) itu mengatakan dikaji dari UU No.2 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah, hak pengelolaan wilayah laut untuk setiap provinsi hanya mencapai 12 mil, sedang letak Blok Masela justru lebih dari 12 mil.
Tanoni mengatakan yang lebih berhak atas Blok Masela adalah pemerintah pusat, karena berada di wilayah abu-abu.
Baca juga: NTT dapat 5 persen dari Blok Masela pada 2025
Baca juga: Participating Interest Blok Masela diserahkan ke pusat
Tetapi, akhirnya Maluku dan NTT bisa mendapatkan saham 10 persen dari perusahaan pengolah sumber gas alam tersebut, di mana Presiden RI membagi sama rata yakni 5 persen untuk NTT dan 5 persen untuk Maluku.
Mantan Agen Imigrasi Kedubes Australia itu menambahkan pada awal 2012, berulang kali secara tegas pihaknya telah mengajukan usulan pembagian ini dilakukan oleh Pemerintah RI di Jakarta.
"Kemudian usulan saya ini diangkat oleh mantan Gubernur NTT Frans Lebu Raya dan dirapatkan bersama Presiden RI sehingga hasilnya adalah berupa Keputusan Presiden RI saat ini," ujarnya.
Lagi pula sesuai amanat Deklarasi PBB tanggal 13 September 2007 tersebut, hak hak masyarakat adat sedunia telah diakui eksistensinya sehingga sangatlah wajar jika semua perusahaan minyak yang beroperasi di Blok Masela maupun di Laut Timor harus memberikan saham minimal 10 persen kepada masyarakat adat sebagai pemangku kepentingan.
Blok Masela digarap oleh perusahaan minyak Royal-Shell Belanda dan Inpex yang berbasis di Jepang dengan nilai investasi sekitar 20 miliar dolar AS atau sekitar Rp300 triliun untuk mengembangkan blok kaya gas Masela yang terletak di Laut Timor antara Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan Maluku.
Penulis buku Skadal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta ini mengatakan pengelolaan Blok Masela haruslah dilakukan di darat mengingat pentingnya menumbuhkembangkan ekonomi di Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
Baca juga: Pembagian PI Blok Masela Harus Adil
Baca juga: NTT Minta Lima Persen dari Blok Masela
"Kami hanya bisa menyampaikan ucapan terima kasih kepada Presiden RI Jokowi atas pembagian yang sama rata, meski NTT baru akan menikmatinya mulai 2025," kata Tanoni kepada pers di Kupang, Sabtu (26/10), menanggapi pembagian Blok Masela oleh Presiden RI.
"Maluku tidak bisa klaim untuk mendapat PI sendiri, karena Blok Masela berada di cekungan Laut Timor. NTT juga berhak untuk mendapatkan PI pengelolaan gas alam di Blok Masela itu," katanya.
Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) itu mengatakan dikaji dari UU No.2 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah, hak pengelolaan wilayah laut untuk setiap provinsi hanya mencapai 12 mil, sedang letak Blok Masela justru lebih dari 12 mil.
Tanoni mengatakan yang lebih berhak atas Blok Masela adalah pemerintah pusat, karena berada di wilayah abu-abu.
Baca juga: NTT dapat 5 persen dari Blok Masela pada 2025
Baca juga: Participating Interest Blok Masela diserahkan ke pusat
Tetapi, akhirnya Maluku dan NTT bisa mendapatkan saham 10 persen dari perusahaan pengolah sumber gas alam tersebut, di mana Presiden RI membagi sama rata yakni 5 persen untuk NTT dan 5 persen untuk Maluku.
Mantan Agen Imigrasi Kedubes Australia itu menambahkan pada awal 2012, berulang kali secara tegas pihaknya telah mengajukan usulan pembagian ini dilakukan oleh Pemerintah RI di Jakarta.
"Kemudian usulan saya ini diangkat oleh mantan Gubernur NTT Frans Lebu Raya dan dirapatkan bersama Presiden RI sehingga hasilnya adalah berupa Keputusan Presiden RI saat ini," ujarnya.
Lagi pula sesuai amanat Deklarasi PBB tanggal 13 September 2007 tersebut, hak hak masyarakat adat sedunia telah diakui eksistensinya sehingga sangatlah wajar jika semua perusahaan minyak yang beroperasi di Blok Masela maupun di Laut Timor harus memberikan saham minimal 10 persen kepada masyarakat adat sebagai pemangku kepentingan.
Blok Masela digarap oleh perusahaan minyak Royal-Shell Belanda dan Inpex yang berbasis di Jepang dengan nilai investasi sekitar 20 miliar dolar AS atau sekitar Rp300 triliun untuk mengembangkan blok kaya gas Masela yang terletak di Laut Timor antara Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan Maluku.
Penulis buku Skadal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta ini mengatakan pengelolaan Blok Masela haruslah dilakukan di darat mengingat pentingnya menumbuhkembangkan ekonomi di Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
Baca juga: Pembagian PI Blok Masela Harus Adil
Baca juga: NTT Minta Lima Persen dari Blok Masela