Kupang (ANTARA) - Relasi antara pemilih dengan pemimpin dalam prosesi pemilihan kepala daerah (pilkada), memang saling berhubungan dan tak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Ekspetasi masyarakat sebagai pemilih tentu menginginkan calon pemimpin ideal, yakni pemimpin yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan amanah dalam memimpin pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Untuk mendapatkan label calon pemimpin yang disukai tersebut para kandidat berupaya semaksimal mungkin meraih simpati masyarakat pemilih dengan caranya masing-masing.
Lalu, bagaimana rakyat atau pemilih diharapkan menjadi pemilih yang jujur? "Sebagai pemilih kita harus tahu dan cari tahu mana pemimpin terbaik yang harus kita pilih mulai dari pengalaman memimpin (leaderhip), prestasinya, kiprah di tengah masyarakat (modal sosial), serta perilaku di tengah masyarakat selama hidupnya," kata seorang pengamat politik.
Memilih, kata Anugerah Bangsawan, bukan karena uang dan barang. Sebagai pemilih juga berani bersikap tidak pada praktik politik uang atau suap pada saat proses pemilihan kepala daerah. Bagaimana mungkin mendapatkan pemimpin jujur dan bersih jika sebagai pemilih juga tidak jujur dan bersih?
Sikap kritis dan menjadikan pemilih kritis sangatlah penting untuk memperkuat pemahaman masyarakat terhadap dampak korupsi bagi masyarakat.
Harus ada kesepahaman bersama korupsilah yang menyebabkan sulitnya mendapatkan akses pendidikan, rumitnya akses fasilitas kesehatan, sulitnya mencari pekerjaan yang layak, hingga tingginya harga kebutuhan pokok, dan seterusnya.
Akibat perilaku korup para calon penguasa inilah persoalan korupsi akan relevan dengan sikap masyarakat dalam menentukan pilihan politik. Ketika sikap kritis ini sudah tumbuh dikalangan para pemilih maka dapat dipastikan berdampak pada perubahan perilaku calon pemimpin.
Relasi pemilih dan pemimpin jujur ibarat menunjuk dengan satu telunjuk jari, sedangkan keempat jari lainnya mengarah kepada diri sendiri. Jika pemimpin terpilih berprilaku korup, suka ingkar janji atau pemberi harapan palsu (PHP), hal tersebut merupakan cerminan dari pemilihnya itu sendiri yang lebih mengutamakan pemberian imbalan dalam memilih calon tertentu.
Joko Widodo pada peringatan HUT PDI Perjuangan ke-40 di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara pada 3 Maret 2013 sempat mengatakan untuk menjadi pemimpin seseorang itu harus mampu mengutamakan rakyat.
Pemimpin harus mendatangi rakyat setiap hari, mencari tahu apa masalahnya dan memberikan solusi atas persoalan yang tengah dihadapi mereka.
Sejumlah aktifis anti korupsi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Lawan Koruptor (KOMALAKOR) berunjuk rasa di Puspemprov Banten, di Serang, Jumat (4/10/2019). (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/pd).
Tidak perlu pintar
Kata Jokowi, pemimpin itu gak perlu pintar, nanti malah minterin rakyatnya, yang penting jujur dan bersih. Rakyat adalah nomor satu. Setiap hari datangi mereka. Keluhannya apa, kesulitannya apa. Carikan kebijakan agar mereka bisa keluar dari problem persoalan yang ada.
Pemimpin, kata Jokowi, haruslah mengerti persoalan yang dialami rakyat. Jika tidak bisa ke rumah sakit, buat kebijakan sehingga mereka bisa ke rumah sakit. Jika tidak bisa sekolah, harus membuat kebijakan sehingga mereka bisa sekolah. APBD bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam kesempatan itu, Jokowi juga menceritakan tentang apa yang dia lakukan ketika mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. Situasinya dia dan Ahok sama-sama tidak punya uang. "Awalnya saya kira Ahok itu Cina kaya, ternyata juga gak punya duit juga," kata Jokowi yang disambut tawa para peserta.
Karena sama-sama tidak punya uang, maka kedua membekali diri dengan semangat. Dengan bekal itu kemudian mendatangi pasar demi pasar, dari kampung ke kampung, dari rumah ke rumah. Membeberkan kepada rakyat apa yang menjadi tawaran programnya.
Dan, ternyata mereka berdua berhasil memimpin ibu kota Jakarta pada saat itu, hanya bermodalkan kejujuran dan keberanian untuk mengatakan yang sesungguhnya kepada warga DKI Jakarta. Dan, Jokowi-Ahok pantas menjadi pemenang.
Kini, larangan bagi eks narapidana korupsi maju dalam pilkada 2020 kembali menghangat dan terus mengemuka, meski Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih belum mengambil sikap politik yang tegas untuk melarangnya.
Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik mengungkapkan, peraturan yang melarang mantan narapidana korupsi maju di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 masih belum final, karena KPU masih mempertimbangkan untuk memasukkan aturan itu ke dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan di Pilkada.
KPU, menurut Evi, telah melakukan harmonisasi rancangan PKPU itu dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), yang saat ini sedang dalam tahap finalisasi pembahasan aturan tersebut untuk kemudian dikirim ke Kemenkumham dan diundangkan.
Dalam pertimbangannya, KPU masih mendengar pendapat dan pandangan dari para pihak terkait, yakni Kemenkumham, Kementerian Dalam Negeri, DPR, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hingga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Namun, KPU tampaknya tetap ngotot melarang eks koruptor maju dalam Pilkada 2020, sebab institusi penyelenggara Pilkada itu tak ingin kejadian seperti Bupati Kudus dan Tulungagung kembali terulang.
Kasus Bupati Kudus, misalnya, orang yang sudah mantan napi koruptor kemudian terpilih dan tertangkap lagi, apalagi yang di Tulungagung itu masih dalam penjara dan terpilih menang, dan kemudian bukan dia yang menjalankan tugas.
Sejumlah aktivis anti korupsi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Lawan Koruptor (KOMALAKOR) berunjuk rasa menolak revisi UU KPK di Alun-alun Serang, Banten, Selasa (17/9/2019). (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/pras).
Kasus Kudus
Kondisi politik inilah yang agaknya dikhawatirkan oleh KPU sebagai penyelenggara Pilkada jika tak ada larangan yang mengatur rekam jejak para calon kepala daerah bersaing pada Pilkada 2020.
Oleh karena itu, KPU mencoba memberikan pilihan terbaik kepada pemilih, yaitu calon yang bebas dari rekam jejak buruk, dengan cara membatasi persyaratan calon.
Evi berharap, dengan adanya larangan koruptor maju Pilkada 2020 bisa menghasilkan pemimpin baik, bermoral, dan tidak berperilaku korup, karena di tangan mereka lah kunci pelayanan publik itu bisa berjalan,
Ketua Komisi II DPR RI Zainudin Amali juga menegaskan bahwa pelarangan mantan napi tindak pidana korupsi menjadi calon kepala daerah pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 terkendala aturan yang tertuang di dalam undang-undang.
Namun, sayangngnya, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang berlaku saat ini masih mengizinkan mantan narapidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri di Pilkada 2020 mendatang.
Politisi dari Partai Golkar itu menyebutkan bahwa waktu untuk mengubah pasal yang melarang mantan narapidana kasus korupsi mencalonkan diri di Pilkada 2020 sudah terlalu mepet.
Atas dasar asumsi tersebut, Zainudin Amali kemudian menyarankan agar KPU mengambil langkah mengumumkan nama-nama mantan narapidana kasus korupsi ang mencalonkan diri pada Pilkada 2020 mendatang.
Wacana larangan eks narapidana korupsi menjadi kepala daerah mengemuka usai KPK menangkap Bupati Kudus Muhammad Tamzil yang terjerat suap jual beli jabatan. Tamzil merupakan eks napi korupsi saat menjabat Bupati Kudus periode 2003-2008.
Pilkada Serentak 2020 bakal digelar 23 September 2020. Sebanyak 271 daerah akan mencari kepala daerah baru. Ada sembilan provinsi yang akan menggelar pilkada pada 2020. Mereka adalah Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesei Utara, dan Sulawesi Tengah.
KPU sendiri masih mempertimbangkan untuk melarang mantan narapidana tindak pidana korupsi menjadi calon kepala daerah pada Pilkada Serentak 2020. Larangan dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam peraturan KPU (PKPU).
Warga binaan kasus korupsi Setya Novanto (tengah) mendengarkan ceramah saat melasanakan shalat idulfitri 1440 Hijriah di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Rabu (5/6/2019). (ANTARA FOTO/Novrian Arbi/hp).
Ekspetasi masyarakat sebagai pemilih tentu menginginkan calon pemimpin ideal, yakni pemimpin yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan amanah dalam memimpin pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Untuk mendapatkan label calon pemimpin yang disukai tersebut para kandidat berupaya semaksimal mungkin meraih simpati masyarakat pemilih dengan caranya masing-masing.
Lalu, bagaimana rakyat atau pemilih diharapkan menjadi pemilih yang jujur? "Sebagai pemilih kita harus tahu dan cari tahu mana pemimpin terbaik yang harus kita pilih mulai dari pengalaman memimpin (leaderhip), prestasinya, kiprah di tengah masyarakat (modal sosial), serta perilaku di tengah masyarakat selama hidupnya," kata seorang pengamat politik.
Memilih, kata Anugerah Bangsawan, bukan karena uang dan barang. Sebagai pemilih juga berani bersikap tidak pada praktik politik uang atau suap pada saat proses pemilihan kepala daerah. Bagaimana mungkin mendapatkan pemimpin jujur dan bersih jika sebagai pemilih juga tidak jujur dan bersih?
Sikap kritis dan menjadikan pemilih kritis sangatlah penting untuk memperkuat pemahaman masyarakat terhadap dampak korupsi bagi masyarakat.
Harus ada kesepahaman bersama korupsilah yang menyebabkan sulitnya mendapatkan akses pendidikan, rumitnya akses fasilitas kesehatan, sulitnya mencari pekerjaan yang layak, hingga tingginya harga kebutuhan pokok, dan seterusnya.
Akibat perilaku korup para calon penguasa inilah persoalan korupsi akan relevan dengan sikap masyarakat dalam menentukan pilihan politik. Ketika sikap kritis ini sudah tumbuh dikalangan para pemilih maka dapat dipastikan berdampak pada perubahan perilaku calon pemimpin.
Relasi pemilih dan pemimpin jujur ibarat menunjuk dengan satu telunjuk jari, sedangkan keempat jari lainnya mengarah kepada diri sendiri. Jika pemimpin terpilih berprilaku korup, suka ingkar janji atau pemberi harapan palsu (PHP), hal tersebut merupakan cerminan dari pemilihnya itu sendiri yang lebih mengutamakan pemberian imbalan dalam memilih calon tertentu.
Joko Widodo pada peringatan HUT PDI Perjuangan ke-40 di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara pada 3 Maret 2013 sempat mengatakan untuk menjadi pemimpin seseorang itu harus mampu mengutamakan rakyat.
Pemimpin harus mendatangi rakyat setiap hari, mencari tahu apa masalahnya dan memberikan solusi atas persoalan yang tengah dihadapi mereka.
Kata Jokowi, pemimpin itu gak perlu pintar, nanti malah minterin rakyatnya, yang penting jujur dan bersih. Rakyat adalah nomor satu. Setiap hari datangi mereka. Keluhannya apa, kesulitannya apa. Carikan kebijakan agar mereka bisa keluar dari problem persoalan yang ada.
Pemimpin, kata Jokowi, haruslah mengerti persoalan yang dialami rakyat. Jika tidak bisa ke rumah sakit, buat kebijakan sehingga mereka bisa ke rumah sakit. Jika tidak bisa sekolah, harus membuat kebijakan sehingga mereka bisa sekolah. APBD bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam kesempatan itu, Jokowi juga menceritakan tentang apa yang dia lakukan ketika mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. Situasinya dia dan Ahok sama-sama tidak punya uang. "Awalnya saya kira Ahok itu Cina kaya, ternyata juga gak punya duit juga," kata Jokowi yang disambut tawa para peserta.
Karena sama-sama tidak punya uang, maka kedua membekali diri dengan semangat. Dengan bekal itu kemudian mendatangi pasar demi pasar, dari kampung ke kampung, dari rumah ke rumah. Membeberkan kepada rakyat apa yang menjadi tawaran programnya.
Dan, ternyata mereka berdua berhasil memimpin ibu kota Jakarta pada saat itu, hanya bermodalkan kejujuran dan keberanian untuk mengatakan yang sesungguhnya kepada warga DKI Jakarta. Dan, Jokowi-Ahok pantas menjadi pemenang.
Kini, larangan bagi eks narapidana korupsi maju dalam pilkada 2020 kembali menghangat dan terus mengemuka, meski Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih belum mengambil sikap politik yang tegas untuk melarangnya.
Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik mengungkapkan, peraturan yang melarang mantan narapidana korupsi maju di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 masih belum final, karena KPU masih mempertimbangkan untuk memasukkan aturan itu ke dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan di Pilkada.
KPU, menurut Evi, telah melakukan harmonisasi rancangan PKPU itu dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), yang saat ini sedang dalam tahap finalisasi pembahasan aturan tersebut untuk kemudian dikirim ke Kemenkumham dan diundangkan.
Dalam pertimbangannya, KPU masih mendengar pendapat dan pandangan dari para pihak terkait, yakni Kemenkumham, Kementerian Dalam Negeri, DPR, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hingga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Namun, KPU tampaknya tetap ngotot melarang eks koruptor maju dalam Pilkada 2020, sebab institusi penyelenggara Pilkada itu tak ingin kejadian seperti Bupati Kudus dan Tulungagung kembali terulang.
Kasus Bupati Kudus, misalnya, orang yang sudah mantan napi koruptor kemudian terpilih dan tertangkap lagi, apalagi yang di Tulungagung itu masih dalam penjara dan terpilih menang, dan kemudian bukan dia yang menjalankan tugas.
Kondisi politik inilah yang agaknya dikhawatirkan oleh KPU sebagai penyelenggara Pilkada jika tak ada larangan yang mengatur rekam jejak para calon kepala daerah bersaing pada Pilkada 2020.
Oleh karena itu, KPU mencoba memberikan pilihan terbaik kepada pemilih, yaitu calon yang bebas dari rekam jejak buruk, dengan cara membatasi persyaratan calon.
Evi berharap, dengan adanya larangan koruptor maju Pilkada 2020 bisa menghasilkan pemimpin baik, bermoral, dan tidak berperilaku korup, karena di tangan mereka lah kunci pelayanan publik itu bisa berjalan,
Ketua Komisi II DPR RI Zainudin Amali juga menegaskan bahwa pelarangan mantan napi tindak pidana korupsi menjadi calon kepala daerah pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 terkendala aturan yang tertuang di dalam undang-undang.
Namun, sayangngnya, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang berlaku saat ini masih mengizinkan mantan narapidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri di Pilkada 2020 mendatang.
Politisi dari Partai Golkar itu menyebutkan bahwa waktu untuk mengubah pasal yang melarang mantan narapidana kasus korupsi mencalonkan diri di Pilkada 2020 sudah terlalu mepet.
Atas dasar asumsi tersebut, Zainudin Amali kemudian menyarankan agar KPU mengambil langkah mengumumkan nama-nama mantan narapidana kasus korupsi ang mencalonkan diri pada Pilkada 2020 mendatang.
Wacana larangan eks narapidana korupsi menjadi kepala daerah mengemuka usai KPK menangkap Bupati Kudus Muhammad Tamzil yang terjerat suap jual beli jabatan. Tamzil merupakan eks napi korupsi saat menjabat Bupati Kudus periode 2003-2008.
Pilkada Serentak 2020 bakal digelar 23 September 2020. Sebanyak 271 daerah akan mencari kepala daerah baru. Ada sembilan provinsi yang akan menggelar pilkada pada 2020. Mereka adalah Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesei Utara, dan Sulawesi Tengah.
KPU sendiri masih mempertimbangkan untuk melarang mantan narapidana tindak pidana korupsi menjadi calon kepala daerah pada Pilkada Serentak 2020. Larangan dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam peraturan KPU (PKPU).