Kupang (ANTARA) - Remaja perempuan itu tampak lihai saat tangan kirinya menggenggam sepotong kayu kecil dengan panjang sekira satu meter yang digunakan untuk mengangkat rangkaian benang yang berjejer rapih di hadapannya.
Sebelah tangannya lagi sudah siaga memegang salah satu ujung sebilah kayu tipis berwarna hitam. Seketika kayu itu dimasukkan ke dalam sebuah rongga yang terbentuk dari rangkaian benang-benang berwarna merah dan putih yang sedang terangkat itu.
Saat rangkaiannya dilepaskan kembali, kayu hitam yang dibiarkan tetap berada di dalam rongga itu lalu diputar hingga posisi vertikal, sehingga kembali membentuk sebuah rongga baru. Ia kemudian memasukkan benang berwarna merah yang dililit dalam potongan kayu berukuran lebih kecil ke dalam rongga tersebut.
Kedua tangannya kembali menggenggam masing-masing ujung kayu berwarna hitam, kemudian beberapa kali ditarik serentak ke arah perutnya. Ia terlihat santai, meskipun terdengar bunyi yang cukup keras ketika kayu yang ditariknya menghantam tumpukan benang yang kian padat dan perlahan-lahan tampak mulai berbentuk sebuah kain.
"Saya sedang menenun tenun ikat untuk kain selempang," ujar Ratna Almince Ton, saat ditanya mengenai kegiatanya siang itu saat disambangi di kediamannya, di Gang Bioni, RT.16/RW.8, Kelurahan Sonaren, Kabupaten Kupang.
Di samping gadis remaja yang akrab disapa Ratna itu, seorang gadis lain bernama Sindi Marani, berusia 11 tahun, duduk di kursi kecil setinggi satu jengkal tanpa sandaran. Dia tampak tengah menggulung benang mengitari kedua lutut kakinya yang sengaja dilebarkan dalam kondisi tertekuk.
Sesekali Sindi memandang Ratna yang tengah duduk beralaskan lantai semen dengan kedua kakinya terlentang di depan, tepat di bawah rangkaian benang yang sedang ditenun.
"Saya mulai belajar menenun sejak kelas 2 SD, awalnya belajar menggulung benang seperti itu," kata Ratna sambil sedikit menolehkan kepala ke arah Sindi untuk menjelaskan maksud ucapannya.
Gadis remaja berusia 14 tahun itu menuturkan bahwa kegiatan menenun tenun ikat mulai dipelajari saat masih mengenyam pendidikan dasar. Sejak di bangku SD, Ratna mulai belajar menenun dari menggulung benang hingga mengoperasikan alat tenun untuk membuat kain tenun ikat saat beranjak kelas 5.
Setiap tahapan menenun kini sudah dikuasainya mulai dari menggulung benang, memasak benang, mencelupkan pewarna, mengikat benang untuk motif hingga mengoperasikan peralatan untuk menghasilkan kain tenun ikat. Ratna mengaku tak ada kesulitan berarti untuk belajar menenun.
"Keluarga kami memang penenun dari nenek sampai ibu saya, sehingga setelah pulang sekolah, saya belajar menenun selama beberapa jam setiap hari," kata anak pertama dari empat bersaudara itu.
Saat awal menenun, belum banyak karya kain tenun ikat yang dihasilkan karena masih menggunakan alat tenun sederhana yang merupakan warisan keluarga.
Ratna mengaku, karya tenun ikat yang dihasilkan mulai meningkat ketika mulai bergabung dalam kelompok penenun yang dibentuk melalui program Kampung Berseri Astra (KBA) yang menyalurkan bantuan alat tenun yang lebih lengkap berbahan modern.
"Sekarang sudah puluhan tenun ikat yang sudah hasilkan, ada selempang, selendang, sarung pria dan wanita, yang motifnya bermacam-macam dengan bantuan ini," katanya.
Sejumlah perempuan muda yang terhimpun dalam kelompok penenun Bioni yang dibentuk melalui Program Kampung Berseri Astra (KBA) Sonraen sedang memperagakan aktivtitas menenun tenun ikat sebuah rumah yang berada di Gang Bioni, RT16/RW8, Kelurahan Sonaren, Kabupaten Kupang, Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada Sabtu (28/11/2019). (ANTARA FOTO/Aloysius Lewokeda)
Kampung Berseri Astra
Sonraen hanyalah sebuah kelurahan yang bersemayam di balik lebatnya pepohonan Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Prof Ir Herman Johanes di Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang, Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Masyarakat di daerah itu mengandalkan lahan pertanian sebagai sumber kehidupan.
Wilayah yang bejarak sekitar 38 kilometer dari Oelamasi, ibu kota Kabupaten Kupang ini, rupanya menjadi sasaran Program Kampung Berseri Astra (KBA), sebuah program kontribusi sosial berkelanjutan yang dilakukan oleh PT Astra Internasional Tbk.
"Program KBA hadir di Sonraen sejak 2017, dan Sonraen menjadi satu-satunya tempat yang terpilih di NTT," kata Ketua Program KBA Sonraen Willmessden Nepa Bureni (27), dalam percakapannya dengan Antara.
Program KBA hadir dengan fokus pemberdayaan yang menyasar empat pilar pembangunan di Sonaren di antaranya, kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan kewirausahaan.
Dari upaya penguatan asupan gizi ibu dan anak melalui puskemas, pembangunan sumur bor, maupun pembangunan sekolah dasar dengan fasilitas berstandar nasional dijalakan melalui program ini
Khusus pilar kewirausahaan, kata dia, Astra menginginkan agar Sonraen dikembangkan menjadi kampung tenun sesuai dengan potensi tradisi menenun tenun ikat kaum perempuan di Sonraen yang masih dijaga hingga saat ini.
Dengan alasan itu, Willmessden pun berkoordinasi dengan para kaum perempuan setempat agar terhimpun dalam kelompok penenun untuk memudahkan penyaluran bantuan.
"Mulai 2018 kami bentuk satu kelompok dan sekarang sudah lima kelompok penenun, ada Inrunu, Runmuti, Sonkiko, Bioni, dan Teonrane, dengan jumlah total anggota sebanyak 60 orang," katanya.
Kelompok-kelompok ini menghimpun para penenun di antaranya ibu-ibu rumah tangga hingga anak-anak muda seperti Ratna dan teman-teman sebaya yang terhimpun dalam kelompok Bioni.
Alhasil, bantuan dari Astra pun mulai mengalir ke setiap kelompok, masing-masing mendapat dua alat tenun yang dilengkapi alat pendukung lain seperti pemutar benang, pengurai benang untuk motif, hingga bahan berupa benang dan pewarna.
"Semua bantuan alat ini dibuat dengan rancangan yang rapi dan bagus, bahanya juga dari kayu kuat sehingga tahan lama agar merangsang daya produksi tenun mereka," katanya.
Seorang perempuan melintas di samping kain tenun ikat Sikka asal Maumere, Nusa Tenggara Timur saat pameran Pekan Kain Tradisional Nusantara di jakarta, Kamis (31/10/2019). Kegiatan tersebut bertujuan untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap kain nusantara dan mengenalkan macam-macam kain nusantara. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww).
Dampak ekonomi
Ratna Almince Ton mengutarakan keikutsertaan dalam kelompok penenun Bioni, telah memacu produktivitasnya dalam menghasilkan berbagai karya tenun ikat.
Setidaknya, sebuah kain tenun ikat jenis selempang dengan dengan motif beragam sesuai pesanan bisa dihasilkannya dalam sepekan dengan dukungan bantuan peralatan dari program tersebut.
"Sekarang saya bisa dengan mudah melayani pesanan kain tenun karena tidak butuh waktu lama, ada yang saya simpan sebagai stok sehingga ketika ada permintaan bisa langsung dijual," katanya.
Sekira puluhan tenun ikat yang sudah dihasilkan Ratna dan dijual dengan harga bervariasi sesuai jenis kain dengan kisaran harga antara Rp200.000 hingga Rp1,5 juta per kain.
Sebagian dari pundi-pundi hasil penjualan itu ia gunakan untuk membeli barang-barang kebutuhan pribadinya diberikan kepada orang tuanya membantu keperluan sehari-hari dalam keluarga.
"Selain untuk kebutuhan keluarga, keuntungan penjualan juga saya sisikan untuk membeli bahan tambahan seperti benang dan pewarna untuk stok," katanya.
Manfaat keuntungan serupa juga diutarakan, Yublina Runesi (46), seorang anggota lain dari kelompok penenun Inrunu ketika disambangi di lokasi yang berbeda.
Ibu dari empat orang anak ini mengaku beberapa bulan bergabung dalam kelompok mulai 2019 ini, namun ia sudah mampu meraup pendapatan hingga jutaan rupiah dari penjualan tenun.
"Penjualan terakhir beberapa waktu lalu, kain tenun saya laku Rp600 ribu yang dipesan orang melalui kelompok kami," katanya.
Yublina mengaku puas, usaha tenun ikat yang ditekuni secara berkelompok memberikan dampak keuntungan nyata untuk menunjang kebutuhan rumah tangga maupun untuk biaya sekolah anak-anaknya.
"Tidak hanya keuntungan uang yang kami dapat, tapi saya lebih senang karena dengan kelompok ini kami bisa tularkan tradisi menenun tenun ikat ini ke anak-anak kami karena semua bisa saling belajar di sini," katanya.
Willmessden mengatakan, meskipun usaha tenun ikat ini berdampak nyata bagi ekonomi para penenun, namun masih perlu diperkuat dari aspek pemasaran. Tenun-tenun yang berhasil dijual masih mengandalkan pesanan dari orang atau pelanggan yang umumnya dari Sonraen dan sekitarnya.
"Saya sendiri sudah mencoba bangun jaringan ke Kota Kupang agar tenun-tenun ini bisa dipasok ke tokoh-tokoh di sana tapi belum dapat. Ini yang masih jadi PR saya," katanya.
Meski masih mengandalan pesanan, kegiatan produksi terus berjalan dan selaku penanggung jawab Program KBA Sonraen, Willmessden mengakut telah berupaya melayangkan proposal bantuan tambahan peralatan kepada managemen Astra agar kebutuhan kelompok semakin memadai.
Ia menambahkan, selanjutnya para anggota kelompok juga akan diberikan pelatihan untuk peningkatan nilai jual produk dengan mengubah kain tenun menjadi aneka produk lainnya.
"Kami ingin agar kain tenun ini tidak hanya sebagai tenun semata, tapi bisa dimodifikasi untuk produk lain seperti baju, celana, tas, sepatu, dan lainnya, karena itu kami persiapkan mereka untuk ikut pelatihan tahun depan (2020)," tandasnya.
Perajin memproduksi kain tenun ikat Sikka di Kota Maumere, Nusa Tenggara Timur disela-sela Pekan Kain Tradisional Nusantara di Jakarta, Kamis (31/10/2019). (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww).
Regenerasi penenun
Tradisi menenun tenun ikat merupakan ciri khas budaya masyarakat di Sonraen.
Willmessden menuturkan, sebelum hadirnya Program KBA, kegiatan menenun merupakan bagian dari rutinitas kaum perempuan di daerah itu.
Tatanan kehidupan yang masih melekat dengan budaya kerajaan, tambah dia, mengharuskan para perempuan untuk bisa menenun.
"Dulu di derah ini, salah satau syarat untuk para perempuan bisa menikah harus bisa menenun, itu diwajibkan aturan kerajaan dan masih terbawa sampai saat ini," katanya.
Ia mengatakan dalam beberapa tahun belakangan, para penggiat tenun ikat di seluruh wilayah Kecamatan Amarasi, nyaris didominasi kaum perempuan yang berusia 40 tahun.
Menurut Willmessden, perubahan zaman telah mempengaruhi cara pandang para generasi muda di daerah itu yang tidak memandang budaya menenun sebagai sebuah warisan orang tua.
"Itu lah alasan kenapa kami bentuk kelompok-kelompok penenun ini dengan milibatkan anak-anak muda," katanya menambahkan.
Ia menyebutkan, dari total jumlah anggota kelompok yang terdaftar sebanyak 60 orang, sekitar lebih dari 20 orang adalah perempuan muda yang berusia di bawah 25 tahun, termasuk di luar keanggotaan.
Secara terpisah, Koordinator Program KBA Wilayah NTT, Frans Budi Sulistio menyebutkan, keuntungan ekonomi yang diraup para anggota kelompok penenun binaan Program KBA Sonraen hanya lah sebuah dampak ikutan.
Lebih dari itu, kata dia, pengembangan pilar kewirausahaan tenun ikat ini merupakan bentuk pembinaan untuk mempertahankan budaya menenun tenun ikat masyarakat di Sonraen agar tidak punah.
"Prioritas utama kami yaitu pada regenerasi penenun. Astra ingin agar tenun ikat sebagai produk budaya yang unik dan bernilai tinggi menjadi tidak punah karena tidak dilanjutkan generasi penerus," kata Frans Sulistio yang juga sebagai Branch Manager Cabang Kupang PT Federal International Finance perusahaan pembiayaan PT Astra Internationl Tbk.
Karena itu, bantuan peralatan tenun bagi kelompok itu sebagai perangsang yang diharapkan selanjutnya bisa menumbuhkan minat anak-anak muda di Sonraen untuk belajar menenun.
Yublina Runesi (46), seorang anggota kelompok penenun Inrunu yang dibentuk melalui Program Kampung Berseri Astra (KBA) Sonraen sedang menenun tenun ikat saat disambangi di Kelurahan Sonraen Kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang, Pulau Timor Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sabtu (28/11/2019) (ANTARA FOTO/Aloysius Lewokeda)
Terancam punah
Jauh dari Sonraen, kekhwatiran muncul dari Pemerintah Provinsi NTT terhadap generasi penenun yang dirasakan semakin berkurang seiring perjalanan waktu.
Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, dalam sebuah kesempatan di Kupang, mengemukakan kekhwatirannya terhadap kondisi generasi penenun NTT yang hampir punah karena hanya dikerjakan ibu-ibu berusia di atas 40 tahun.
"Generasi yang muda-muda umumnya sudah buta menenun, ini persoalan kita," kata Mantan Anggota DPR RI dari Partai Nasional Demokrat (NasDem) itu.
Ia mengatakan, budaya menenun NTT merupakan warisan para lelulur sudah menyatu dengan adat istiadat masyarakat setempat, bahkan menjadi persyaratan utama untuk menikah bagi seorang gadis.
Gubernur Viktor berkomitmen melestarikan tenun ikat sebagai peninggalan leluhur ini melalui kebijakan yang dibuat dalam masa pemerintah bersama Josef Nae Soi.
Pada Maret 2019 lalu, Gubernur NTT mengelurakan surat edaran yang mewajibkan Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan pemerintahan provinsi untuk mengenakan kain tenun setiap hari Selasa dan Jumat.
Kebijakan itu, merupakan bagian dari cara pemerintah daerah menghidupkan pasar kain tenun sekaligus merangsang munculnya generasi penenun untuk melestarikan budaya menenun sebagai sumber pendapatan.
Di balik kekhwatiran akan punahnya generasi penenun di NTT, Astra telah memulai ceritanya di Sonraen, sekitar 30 km selatan Kota Kupang, ibu kota Provinsi NTT.
Berkunjung ke Sonraen untuk menyaksikan kepiawaian anak-anak gadis menenun seakan menghadirkan insipirasi sekaligus harapan bahwa tenun ikat akan tetap lestari karena warisan leluhur ini masih dijaga oleh generasi penerus.
Ketua Program Kampung Berseri Astra Sonraen Willmessden Nepa Bureni (27) berposes sambil memegang produk tenun ikat yang dihasilkan anggota kelompok Inrunu di Kelurahan Sonaren, Kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang, Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sabtu (28/11/2019). (ANTARA FOTO/Aloysius Lewokeda)
Sebelah tangannya lagi sudah siaga memegang salah satu ujung sebilah kayu tipis berwarna hitam. Seketika kayu itu dimasukkan ke dalam sebuah rongga yang terbentuk dari rangkaian benang-benang berwarna merah dan putih yang sedang terangkat itu.
Saat rangkaiannya dilepaskan kembali, kayu hitam yang dibiarkan tetap berada di dalam rongga itu lalu diputar hingga posisi vertikal, sehingga kembali membentuk sebuah rongga baru. Ia kemudian memasukkan benang berwarna merah yang dililit dalam potongan kayu berukuran lebih kecil ke dalam rongga tersebut.
Kedua tangannya kembali menggenggam masing-masing ujung kayu berwarna hitam, kemudian beberapa kali ditarik serentak ke arah perutnya. Ia terlihat santai, meskipun terdengar bunyi yang cukup keras ketika kayu yang ditariknya menghantam tumpukan benang yang kian padat dan perlahan-lahan tampak mulai berbentuk sebuah kain.
"Saya sedang menenun tenun ikat untuk kain selempang," ujar Ratna Almince Ton, saat ditanya mengenai kegiatanya siang itu saat disambangi di kediamannya, di Gang Bioni, RT.16/RW.8, Kelurahan Sonaren, Kabupaten Kupang.
Di samping gadis remaja yang akrab disapa Ratna itu, seorang gadis lain bernama Sindi Marani, berusia 11 tahun, duduk di kursi kecil setinggi satu jengkal tanpa sandaran. Dia tampak tengah menggulung benang mengitari kedua lutut kakinya yang sengaja dilebarkan dalam kondisi tertekuk.
Sesekali Sindi memandang Ratna yang tengah duduk beralaskan lantai semen dengan kedua kakinya terlentang di depan, tepat di bawah rangkaian benang yang sedang ditenun.
"Saya mulai belajar menenun sejak kelas 2 SD, awalnya belajar menggulung benang seperti itu," kata Ratna sambil sedikit menolehkan kepala ke arah Sindi untuk menjelaskan maksud ucapannya.
Gadis remaja berusia 14 tahun itu menuturkan bahwa kegiatan menenun tenun ikat mulai dipelajari saat masih mengenyam pendidikan dasar. Sejak di bangku SD, Ratna mulai belajar menenun dari menggulung benang hingga mengoperasikan alat tenun untuk membuat kain tenun ikat saat beranjak kelas 5.
Setiap tahapan menenun kini sudah dikuasainya mulai dari menggulung benang, memasak benang, mencelupkan pewarna, mengikat benang untuk motif hingga mengoperasikan peralatan untuk menghasilkan kain tenun ikat. Ratna mengaku tak ada kesulitan berarti untuk belajar menenun.
"Keluarga kami memang penenun dari nenek sampai ibu saya, sehingga setelah pulang sekolah, saya belajar menenun selama beberapa jam setiap hari," kata anak pertama dari empat bersaudara itu.
Saat awal menenun, belum banyak karya kain tenun ikat yang dihasilkan karena masih menggunakan alat tenun sederhana yang merupakan warisan keluarga.
Ratna mengaku, karya tenun ikat yang dihasilkan mulai meningkat ketika mulai bergabung dalam kelompok penenun yang dibentuk melalui program Kampung Berseri Astra (KBA) yang menyalurkan bantuan alat tenun yang lebih lengkap berbahan modern.
"Sekarang sudah puluhan tenun ikat yang sudah hasilkan, ada selempang, selendang, sarung pria dan wanita, yang motifnya bermacam-macam dengan bantuan ini," katanya.
Kampung Berseri Astra
Sonraen hanyalah sebuah kelurahan yang bersemayam di balik lebatnya pepohonan Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Prof Ir Herman Johanes di Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang, Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Masyarakat di daerah itu mengandalkan lahan pertanian sebagai sumber kehidupan.
Wilayah yang bejarak sekitar 38 kilometer dari Oelamasi, ibu kota Kabupaten Kupang ini, rupanya menjadi sasaran Program Kampung Berseri Astra (KBA), sebuah program kontribusi sosial berkelanjutan yang dilakukan oleh PT Astra Internasional Tbk.
"Program KBA hadir di Sonraen sejak 2017, dan Sonraen menjadi satu-satunya tempat yang terpilih di NTT," kata Ketua Program KBA Sonraen Willmessden Nepa Bureni (27), dalam percakapannya dengan Antara.
Program KBA hadir dengan fokus pemberdayaan yang menyasar empat pilar pembangunan di Sonaren di antaranya, kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan kewirausahaan.
Dari upaya penguatan asupan gizi ibu dan anak melalui puskemas, pembangunan sumur bor, maupun pembangunan sekolah dasar dengan fasilitas berstandar nasional dijalakan melalui program ini
Khusus pilar kewirausahaan, kata dia, Astra menginginkan agar Sonraen dikembangkan menjadi kampung tenun sesuai dengan potensi tradisi menenun tenun ikat kaum perempuan di Sonraen yang masih dijaga hingga saat ini.
Dengan alasan itu, Willmessden pun berkoordinasi dengan para kaum perempuan setempat agar terhimpun dalam kelompok penenun untuk memudahkan penyaluran bantuan.
"Mulai 2018 kami bentuk satu kelompok dan sekarang sudah lima kelompok penenun, ada Inrunu, Runmuti, Sonkiko, Bioni, dan Teonrane, dengan jumlah total anggota sebanyak 60 orang," katanya.
Kelompok-kelompok ini menghimpun para penenun di antaranya ibu-ibu rumah tangga hingga anak-anak muda seperti Ratna dan teman-teman sebaya yang terhimpun dalam kelompok Bioni.
Alhasil, bantuan dari Astra pun mulai mengalir ke setiap kelompok, masing-masing mendapat dua alat tenun yang dilengkapi alat pendukung lain seperti pemutar benang, pengurai benang untuk motif, hingga bahan berupa benang dan pewarna.
"Semua bantuan alat ini dibuat dengan rancangan yang rapi dan bagus, bahanya juga dari kayu kuat sehingga tahan lama agar merangsang daya produksi tenun mereka," katanya.
Ratna Almince Ton mengutarakan keikutsertaan dalam kelompok penenun Bioni, telah memacu produktivitasnya dalam menghasilkan berbagai karya tenun ikat.
Setidaknya, sebuah kain tenun ikat jenis selempang dengan dengan motif beragam sesuai pesanan bisa dihasilkannya dalam sepekan dengan dukungan bantuan peralatan dari program tersebut.
"Sekarang saya bisa dengan mudah melayani pesanan kain tenun karena tidak butuh waktu lama, ada yang saya simpan sebagai stok sehingga ketika ada permintaan bisa langsung dijual," katanya.
Sekira puluhan tenun ikat yang sudah dihasilkan Ratna dan dijual dengan harga bervariasi sesuai jenis kain dengan kisaran harga antara Rp200.000 hingga Rp1,5 juta per kain.
Sebagian dari pundi-pundi hasil penjualan itu ia gunakan untuk membeli barang-barang kebutuhan pribadinya diberikan kepada orang tuanya membantu keperluan sehari-hari dalam keluarga.
"Selain untuk kebutuhan keluarga, keuntungan penjualan juga saya sisikan untuk membeli bahan tambahan seperti benang dan pewarna untuk stok," katanya.
Manfaat keuntungan serupa juga diutarakan, Yublina Runesi (46), seorang anggota lain dari kelompok penenun Inrunu ketika disambangi di lokasi yang berbeda.
Ibu dari empat orang anak ini mengaku beberapa bulan bergabung dalam kelompok mulai 2019 ini, namun ia sudah mampu meraup pendapatan hingga jutaan rupiah dari penjualan tenun.
"Penjualan terakhir beberapa waktu lalu, kain tenun saya laku Rp600 ribu yang dipesan orang melalui kelompok kami," katanya.
Yublina mengaku puas, usaha tenun ikat yang ditekuni secara berkelompok memberikan dampak keuntungan nyata untuk menunjang kebutuhan rumah tangga maupun untuk biaya sekolah anak-anaknya.
"Tidak hanya keuntungan uang yang kami dapat, tapi saya lebih senang karena dengan kelompok ini kami bisa tularkan tradisi menenun tenun ikat ini ke anak-anak kami karena semua bisa saling belajar di sini," katanya.
Willmessden mengatakan, meskipun usaha tenun ikat ini berdampak nyata bagi ekonomi para penenun, namun masih perlu diperkuat dari aspek pemasaran. Tenun-tenun yang berhasil dijual masih mengandalkan pesanan dari orang atau pelanggan yang umumnya dari Sonraen dan sekitarnya.
"Saya sendiri sudah mencoba bangun jaringan ke Kota Kupang agar tenun-tenun ini bisa dipasok ke tokoh-tokoh di sana tapi belum dapat. Ini yang masih jadi PR saya," katanya.
Meski masih mengandalan pesanan, kegiatan produksi terus berjalan dan selaku penanggung jawab Program KBA Sonraen, Willmessden mengakut telah berupaya melayangkan proposal bantuan tambahan peralatan kepada managemen Astra agar kebutuhan kelompok semakin memadai.
Ia menambahkan, selanjutnya para anggota kelompok juga akan diberikan pelatihan untuk peningkatan nilai jual produk dengan mengubah kain tenun menjadi aneka produk lainnya.
"Kami ingin agar kain tenun ini tidak hanya sebagai tenun semata, tapi bisa dimodifikasi untuk produk lain seperti baju, celana, tas, sepatu, dan lainnya, karena itu kami persiapkan mereka untuk ikut pelatihan tahun depan (2020)," tandasnya.
Tradisi menenun tenun ikat merupakan ciri khas budaya masyarakat di Sonraen.
Willmessden menuturkan, sebelum hadirnya Program KBA, kegiatan menenun merupakan bagian dari rutinitas kaum perempuan di daerah itu.
Tatanan kehidupan yang masih melekat dengan budaya kerajaan, tambah dia, mengharuskan para perempuan untuk bisa menenun.
"Dulu di derah ini, salah satau syarat untuk para perempuan bisa menikah harus bisa menenun, itu diwajibkan aturan kerajaan dan masih terbawa sampai saat ini," katanya.
Ia mengatakan dalam beberapa tahun belakangan, para penggiat tenun ikat di seluruh wilayah Kecamatan Amarasi, nyaris didominasi kaum perempuan yang berusia 40 tahun.
Menurut Willmessden, perubahan zaman telah mempengaruhi cara pandang para generasi muda di daerah itu yang tidak memandang budaya menenun sebagai sebuah warisan orang tua.
"Itu lah alasan kenapa kami bentuk kelompok-kelompok penenun ini dengan milibatkan anak-anak muda," katanya menambahkan.
Ia menyebutkan, dari total jumlah anggota kelompok yang terdaftar sebanyak 60 orang, sekitar lebih dari 20 orang adalah perempuan muda yang berusia di bawah 25 tahun, termasuk di luar keanggotaan.
Secara terpisah, Koordinator Program KBA Wilayah NTT, Frans Budi Sulistio menyebutkan, keuntungan ekonomi yang diraup para anggota kelompok penenun binaan Program KBA Sonraen hanya lah sebuah dampak ikutan.
Lebih dari itu, kata dia, pengembangan pilar kewirausahaan tenun ikat ini merupakan bentuk pembinaan untuk mempertahankan budaya menenun tenun ikat masyarakat di Sonraen agar tidak punah.
"Prioritas utama kami yaitu pada regenerasi penenun. Astra ingin agar tenun ikat sebagai produk budaya yang unik dan bernilai tinggi menjadi tidak punah karena tidak dilanjutkan generasi penerus," kata Frans Sulistio yang juga sebagai Branch Manager Cabang Kupang PT Federal International Finance perusahaan pembiayaan PT Astra Internationl Tbk.
Karena itu, bantuan peralatan tenun bagi kelompok itu sebagai perangsang yang diharapkan selanjutnya bisa menumbuhkan minat anak-anak muda di Sonraen untuk belajar menenun.
Jauh dari Sonraen, kekhwatiran muncul dari Pemerintah Provinsi NTT terhadap generasi penenun yang dirasakan semakin berkurang seiring perjalanan waktu.
Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, dalam sebuah kesempatan di Kupang, mengemukakan kekhwatirannya terhadap kondisi generasi penenun NTT yang hampir punah karena hanya dikerjakan ibu-ibu berusia di atas 40 tahun.
"Generasi yang muda-muda umumnya sudah buta menenun, ini persoalan kita," kata Mantan Anggota DPR RI dari Partai Nasional Demokrat (NasDem) itu.
Ia mengatakan, budaya menenun NTT merupakan warisan para lelulur sudah menyatu dengan adat istiadat masyarakat setempat, bahkan menjadi persyaratan utama untuk menikah bagi seorang gadis.
Gubernur Viktor berkomitmen melestarikan tenun ikat sebagai peninggalan leluhur ini melalui kebijakan yang dibuat dalam masa pemerintah bersama Josef Nae Soi.
Pada Maret 2019 lalu, Gubernur NTT mengelurakan surat edaran yang mewajibkan Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan pemerintahan provinsi untuk mengenakan kain tenun setiap hari Selasa dan Jumat.
Kebijakan itu, merupakan bagian dari cara pemerintah daerah menghidupkan pasar kain tenun sekaligus merangsang munculnya generasi penenun untuk melestarikan budaya menenun sebagai sumber pendapatan.
Di balik kekhwatiran akan punahnya generasi penenun di NTT, Astra telah memulai ceritanya di Sonraen, sekitar 30 km selatan Kota Kupang, ibu kota Provinsi NTT.
Berkunjung ke Sonraen untuk menyaksikan kepiawaian anak-anak gadis menenun seakan menghadirkan insipirasi sekaligus harapan bahwa tenun ikat akan tetap lestari karena warisan leluhur ini masih dijaga oleh generasi penerus.