Kupang (Antara NTT) - Akademisi dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Leta Rafael Levis, M.Rur mengatakan pengawasan dan penertiban alat tangkap ikan seperti pukat hela, pukat tarik atau cantrang semata-mata untuk mencegah serta menyelamatkan biota laut dari kepunahan.

"Biota laut seperti terumbu karang yang merupakan rumah pohon ikan, rumput laut, teripang dan lainnya ikut terancam keselamatannya karena aktivitas nelayan menggunakan pukat hela tersebut. Upaya penertiban itu sudah tepat," kata Levis kepada Antara di Kupang, Rabu.

Dosen pada Fakultas Pertanian dan Peternakan Undana Kupang mengatakan hal itu terkait upaya pemerintah dan pihak terkait memperbaiki kerusakan biota laut seperti terumbu karang sebagai rumah pohon ikan untuk hidup dan berkembang biak.

Menurut dia, secara nasional pemerintah pusat melalui Kementerian Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti telah menerbitkan Peraturan Nomor 1/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Namun masih menimbulkan konflik di antara kalangan nelayan dan aparat penegak hukum, karena peraturan itu menegaskan nelayan dilarang menggunakan cantrang untuk menangkap ikan.

Sehingga menurut Leta Levis, perlu adanya pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan itu agar efektif di lapangan, sebagai upaya penertiban penggunaan alat tangkap ikan dengan pukat hela dan pukat tarik atau cantrang akan mencegah dan menyelamatkan biota laut.

Selain menyelamatkan sumber daya alam laut seperti seperti berbagai jenis ikan, kepiting, lobster, dan rajungan, penangkapan menggunakan cantrang juga merusak biota laut dan rumah ikan serta terum karang yang ada di wilayah perairan tertentu," katanya.

Apalagi, kata Ketua Penyuluh Petani NTT ini Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti telah menegaskan akan membatasi penggunaan alat penangkap ikan dengan pukat hela dan pukat tarik atau cantrang hanya diizinkan hingga akhir 2017.

Menurut Leta Levis, Cantrang merupakan sejenis Alat Penangkapan Ikan (API) yang termasuk dalam kelompok pukat tarik berkapal atau boat or vessel seines.

Sehingga apabila dibatasi tidak dibatasi dan ditertibkan akan merusak sumber daya alam laut terutama komoditas biota laut yang baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi.

Sebab katanya sumber daya alam itu telah berkontribusi terhadap jumlah perikanan tangkap pada 2014 mencapai 19.511 ton dengan nominal pendapatan Rp199 miliar lebih.

"Dari jumlah tangkapan di atas, produk olahannya diekspor ke USA, Jepang, Thailand dan Timor Leste. Untuk mendukung produktivitas tangkapan nelayan, tahun 2013, diberikan sarana penangkapan ikan," katanya.

Selain perikanan tangkap, juga dikembangan perikanan budidaya terdiri dari budidaya Laut seluas 5,870 hektare dengan potensi produksi dapat mencapai 51.500 ton/tahun. Lalu, budidaya air payau 35,455 hektare yakni udang dan bandeng dengan potensi produksi dapat mencapai 36.000 ton per tahun, budidaya air tawar yakni kolam 8,375 hektare.

Demikian, pada 2013, produksi rumput laut di NTT sebanyak 1,3 juta ton basah atau setara dengan 600 ribu ton kering. Bila dikonversi ke rupiah, maka produksi rumput laut tersebut senilai Rp1,8 triliun.

Potensi rumput laut yang demikian besar itu, katanya, sangat memungkinkan dibangun pabrik pengolahan rumput laut langsung di NTT. Hal ini akan berdampak pada peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja.

Pewarta : Hironimus Bifel
Editor : Laurensius Molan
Copyright © ANTARA 2024