Kupang (ANTARA) - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat jumlah kekerasan seksual selama 2019 mencapai 4.898 kasus.
"Pada 2018 jumlah kasus kekerasan seksual justru mencapai 5.280 kasus. Jika dibandingkan dengan tahun 2019, terjadi penurunan kasus," kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi saat dihubungi ANTARA dari Kupang, Kamis, (2/7).
Namun, kata dia, penurunan kasus itu tergantung pada pengembalian kuesioner berkaitan dengan kasus kekerasan seksual baik pada anak ataupun perempuan.
Baca juga: Komnas Perempuan sesalkan penundaan pembahasan Rancangan UU PKS
Ia merincikan dari 4.898 kasus kekerasan seksual tersebut dibagi menjadi dua bagian lagi yakni ranah personal berjumlah 2.807 kasus dan ranah komunitas 2.091 kasus.
"Sementara itu sampai dengan lima bulan pertama tahun 2020, di mana terjadi pandemi COVID-19, kami telah menerima laporan sebanyak 461 kasus," ujar dia.
Dari jumlah tersebut, 258 kasus adalah kekerasan seksual di ranah KDRT/Relasi Personal kemudian untuk ranah komunitas berjumlah 203 kasus kekerasan seksual.
Di kedua ranah tersebut, kekerasan seksual yang paling banyak diadukan adalah kekerasan berbasis gender siber (KBGS) baik yang dilakukan oleh mantan pacar, pacar, bahkan orang yang tidak dikenal dengan berbagai macam bentuk kekerasan. Beberapa di antaranya adalah ancaman penyebaran foto dan video bernuansa seksual, mengirimkan atau mempertontonkan video bernuansa seksual, eksibisionis, hingga eksploitasi seksual.
Ia mengkhawatirkan jika pembahasan RUU penghapusan kekerasan seksual ditunda terus akan bertambah kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Menurut dia selama ini penegakan hukum di Indonesia belum memadai dalam menangani kasus kekerasan seksual. Sehingga bisa saja kekerasan seksual terus terjadi apalagi didukung dengan masalah ekonomi, teknologi informasi, sosial dan budaya.
"Yang lebih utama adalah korban tidak mendapatkan keadilan dan pemulihan, jika tidak ada UU yang menjaminnya," tambah dia.
Ia menjelaskan persoalan di tingkat substansi dari hukum pidana, struktur dan kultur hukum ditengarai telah menghalangi korban kekerasan seksual, terutama perempuan, untuk memperoleh keadilan dan mendapatkan dukungan penuh untuk pemulihan.
"Salah satu indikasinya adalah rendahnya jumlah kasus yang kemudian dapat diproses hukum. Dalam tinjauan kami, dari 13.611 kasus perkosaan yang dilaporkan dalam kurun 2016-2019, jumlah laporan kasus perkosaan di kepolisian hanya sekitar 29 persen dari yang diterima oleh lembaga layanan di tingkat pertama." ujar dia.
Kemudian sekitar 70 persen dari kasus yang dilaporkan kepolisian diputus oleh pengadilan, atau sekitar 22 persen dari jumlah total kasus yang diterima lembaga layanan.
Baca juga: Komnas HAM Apresiasi Pembentukan Kampung Toleransi
"Konteks-konteks khusus dari latar belakang korban, seperti disabilitas, lokasi geografis, maupun ragam kekerasan yang tidak memiliki payung hukum menyebabkan halangan-halangan tersebut semakin nyata," tambah dia.
"Pada 2018 jumlah kasus kekerasan seksual justru mencapai 5.280 kasus. Jika dibandingkan dengan tahun 2019, terjadi penurunan kasus," kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi saat dihubungi ANTARA dari Kupang, Kamis, (2/7).
Namun, kata dia, penurunan kasus itu tergantung pada pengembalian kuesioner berkaitan dengan kasus kekerasan seksual baik pada anak ataupun perempuan.
Baca juga: Komnas Perempuan sesalkan penundaan pembahasan Rancangan UU PKS
Ia merincikan dari 4.898 kasus kekerasan seksual tersebut dibagi menjadi dua bagian lagi yakni ranah personal berjumlah 2.807 kasus dan ranah komunitas 2.091 kasus.
"Sementara itu sampai dengan lima bulan pertama tahun 2020, di mana terjadi pandemi COVID-19, kami telah menerima laporan sebanyak 461 kasus," ujar dia.
Dari jumlah tersebut, 258 kasus adalah kekerasan seksual di ranah KDRT/Relasi Personal kemudian untuk ranah komunitas berjumlah 203 kasus kekerasan seksual.
Di kedua ranah tersebut, kekerasan seksual yang paling banyak diadukan adalah kekerasan berbasis gender siber (KBGS) baik yang dilakukan oleh mantan pacar, pacar, bahkan orang yang tidak dikenal dengan berbagai macam bentuk kekerasan. Beberapa di antaranya adalah ancaman penyebaran foto dan video bernuansa seksual, mengirimkan atau mempertontonkan video bernuansa seksual, eksibisionis, hingga eksploitasi seksual.
Ia mengkhawatirkan jika pembahasan RUU penghapusan kekerasan seksual ditunda terus akan bertambah kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Menurut dia selama ini penegakan hukum di Indonesia belum memadai dalam menangani kasus kekerasan seksual. Sehingga bisa saja kekerasan seksual terus terjadi apalagi didukung dengan masalah ekonomi, teknologi informasi, sosial dan budaya.
"Yang lebih utama adalah korban tidak mendapatkan keadilan dan pemulihan, jika tidak ada UU yang menjaminnya," tambah dia.
Ia menjelaskan persoalan di tingkat substansi dari hukum pidana, struktur dan kultur hukum ditengarai telah menghalangi korban kekerasan seksual, terutama perempuan, untuk memperoleh keadilan dan mendapatkan dukungan penuh untuk pemulihan.
"Salah satu indikasinya adalah rendahnya jumlah kasus yang kemudian dapat diproses hukum. Dalam tinjauan kami, dari 13.611 kasus perkosaan yang dilaporkan dalam kurun 2016-2019, jumlah laporan kasus perkosaan di kepolisian hanya sekitar 29 persen dari yang diterima oleh lembaga layanan di tingkat pertama." ujar dia.
Kemudian sekitar 70 persen dari kasus yang dilaporkan kepolisian diputus oleh pengadilan, atau sekitar 22 persen dari jumlah total kasus yang diterima lembaga layanan.
Baca juga: Komnas HAM Apresiasi Pembentukan Kampung Toleransi
"Konteks-konteks khusus dari latar belakang korban, seperti disabilitas, lokasi geografis, maupun ragam kekerasan yang tidak memiliki payung hukum menyebabkan halangan-halangan tersebut semakin nyata," tambah dia.