Kupang (ANTARA) - Ribuan ekor anemon laut yang merupakan ekosistem terumbu karang yang berasal dari kawasan zona konservasi suaka alam perairan (SAP) Selat Pantar Kabupaten Alor dibawa keluar dari Provinsi Nusa Tenggara Timur secara ilegal.
Hal tersebut dikemukakan Ketua Pengelola Kawasan Konservasi SAP Selat Pantar dan Laut Sekitarnya di Kabupaten Alor, Muhammad Saleh Goro, ketika menghubungi Antara di Kupang, Kamis (9/7).
"Selama tiga hari ini ribuan ekor anemon laut dibawa keluar NTT secara ilegal tanpa adanya surat keterangan asal (SKA) dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT," katanya.
Ia menyebutkan ribuan ekor anemon laut itu dibawa keluar oleh dua pengusaha yakni Saifullah Takirin sebanyak 1.500 ekor dan Dominggus Pandu sebanyak 350 ekor yang disimpan di dalam stereofom.
Muhammad Saleh Goro yang juga Kepala Cabang DKP NTT Wilayah Kabupaten Alor itu menjelaskan, anemon laut merupakan ekosistem terumbu karang berupa hewan dari kelas anthozoa yang memiliki bentuk tubuh seperti bunga yang biasanya disebut mawar laut.
Anemon laut yang ditangkap di kawasan zona konservasi suaka alam perairan (SAP) Selat Pantar Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. (ANTARA/HO-Muhamad Saleh Goro)
Hewan ini dilarang untuk ditangkap di daerah koservasi sesuai dengan aturan yang termuat dalam 7 Ayat 3 Peraturan Gubernur NTT Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Penggelolaan Ekosistem Terumbu Karang di Provinsi NTT.
Ia menjelaskan, dari hasil pengawasan di lapangan ditemukan bahwa pada Juni 2020 lalu, penangkapan anemon laut marak dilakukan masyarakat di sejumlah desa di Pulau Pura, Kecamatan Pura yaitu Desa Maru, Desa Pura Selatan, dan Desa Pura Barat.
"Hasilnya kemudian dibawa keluar NTT oleh pengusaha tersebut melalui Kupang tanpa mengantongi SKA yang sudah diatur dalam Pergub Nomor 118 Tahun 2019 bahwa seluruh tata niaga distribusi hasil perikanan di dalam Provinsi NTT wajib memiliki SKA dari DKP NTT," katanya.
"Tapi anemon laut malah dibawa ke Kupang tanpa SKA dan BPSPL Denpasar Wilayah Kerja NTT di Kupang hanya menyuruh pengusaha membuat surat pernyataan supaya bisa dapatkan SKK," katanya.
Saleh Goro pun meminta adanya surat dari DKP NTT untuk menghentikan praktik ini karena telah mengancam ekosistem laut sebagai bagian dari potensi kekayaan wisata laut di kawasan konservasi setempat.
"Kalau ini tidak dihentikan maka 34 spot selam di SAP Selat Pantar ini akan tinggal kenangan," katanya.
Baca juga: SAP selat Pantar rusak parah akibat kandasnya Ocean Princess
Baca juga: Kawasan konservasi SAP Selat Pantar ditutup untuk wisatawan
Hal tersebut dikemukakan Ketua Pengelola Kawasan Konservasi SAP Selat Pantar dan Laut Sekitarnya di Kabupaten Alor, Muhammad Saleh Goro, ketika menghubungi Antara di Kupang, Kamis (9/7).
"Selama tiga hari ini ribuan ekor anemon laut dibawa keluar NTT secara ilegal tanpa adanya surat keterangan asal (SKA) dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT," katanya.
Ia menyebutkan ribuan ekor anemon laut itu dibawa keluar oleh dua pengusaha yakni Saifullah Takirin sebanyak 1.500 ekor dan Dominggus Pandu sebanyak 350 ekor yang disimpan di dalam stereofom.
Muhammad Saleh Goro yang juga Kepala Cabang DKP NTT Wilayah Kabupaten Alor itu menjelaskan, anemon laut merupakan ekosistem terumbu karang berupa hewan dari kelas anthozoa yang memiliki bentuk tubuh seperti bunga yang biasanya disebut mawar laut.
Hewan ini dilarang untuk ditangkap di daerah koservasi sesuai dengan aturan yang termuat dalam 7 Ayat 3 Peraturan Gubernur NTT Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Penggelolaan Ekosistem Terumbu Karang di Provinsi NTT.
Ia menjelaskan, dari hasil pengawasan di lapangan ditemukan bahwa pada Juni 2020 lalu, penangkapan anemon laut marak dilakukan masyarakat di sejumlah desa di Pulau Pura, Kecamatan Pura yaitu Desa Maru, Desa Pura Selatan, dan Desa Pura Barat.
"Hasilnya kemudian dibawa keluar NTT oleh pengusaha tersebut melalui Kupang tanpa mengantongi SKA yang sudah diatur dalam Pergub Nomor 118 Tahun 2019 bahwa seluruh tata niaga distribusi hasil perikanan di dalam Provinsi NTT wajib memiliki SKA dari DKP NTT," katanya.
"Tapi anemon laut malah dibawa ke Kupang tanpa SKA dan BPSPL Denpasar Wilayah Kerja NTT di Kupang hanya menyuruh pengusaha membuat surat pernyataan supaya bisa dapatkan SKK," katanya.
Saleh Goro pun meminta adanya surat dari DKP NTT untuk menghentikan praktik ini karena telah mengancam ekosistem laut sebagai bagian dari potensi kekayaan wisata laut di kawasan konservasi setempat.
"Kalau ini tidak dihentikan maka 34 spot selam di SAP Selat Pantar ini akan tinggal kenangan," katanya.
Baca juga: SAP selat Pantar rusak parah akibat kandasnya Ocean Princess
Baca juga: Kawasan konservasi SAP Selat Pantar ditutup untuk wisatawan