Kupang (ANTARA) - Pakar hukum administrasi negara Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Dr. Johanes Tuba Helan SH. MHum mengatakan rencana pembentukan tim pemburu koruptor sebagai sebuah pemborosan dan tumpang tindih kewenangan dengan aparat penegak hukum yang sudah ada.
"Jika ada koruptor yang kabur lalu dibentuk tim khusus yang beranggotakan kejaksaan, kepolisian, dan KPK untuk memburu mereka itu boleh, tetapi membentuk tim baru di luar aparat penegak hukum yang ada, itu sebuah pemborosan dan tumpang tindih kewenangan dengan aparat penegak hukum yang sudah ada," kata Johanes Tuba Helan kepada ANTARA di Kupang, Jumat, (17/7).
Baca juga: Ahli sebut diskusi pemakzulan presiden mengada-ada
Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan rencana menghidupkan kembali tim pemburu koruptor. Wacana tersebut bermula dari upaya untuk mengejar terpidana kasus Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra yang kini masih buron.
Wacana tersebut digulirkan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Johanes Tuba Helan mengatakan aneh jika ada keinginan untuk membentuk lembaga baru yang namanya pemburu koruptor, padahal Presiden Joko Widodo justru berencana membubarkan lembaga/badan yang tidak efektif.
"Lembaga yang nganggur mau dibubarkan, sementara ada upaya membentuk lembaga baru lagi. Harusnya lembaga yang fungsinya tidak jelas dibubarkan, dan tidak perlu lagi bentuk di masa yang akan datang," katanya.
Di daerah katanya, juga ada staf khusus dengan fungsi tidak jelas dan tumpang tindih dengan organisasi perangkat daerah (OPD) tapi gaji besar, dan merupakan sebuah pemborosan.
Mengenai kinerja, dia mengatakan jika karena alasan kinerja lembaga hukum, seperti KPK, kejaksaan dan kepolisian belum efektif sebagai alasan yang kurang tepat.
"Menurut saya, sebenarnya kinerja kejaksaan, KPK dan kepolisian sudah maksimal, tapi persoalnya korupsi jalan terus," katanya.
Dalam kasus dugaan korupsi di Bank NTT, misalnya merupakan tindakan korupsi yang sangat mengerikan dan dilakukan secara terang-terangan.
"Anda ikuti kasus Bank NTT. Itu korupsi yang mengerikan dan terang-terangan. Mereka sudah tahu bahwa kemudian akan terbongkar, tapi tetap saja melakukan korupsi," katanya.
Baca juga: Kata Tubahelan, putusan MK tidak memberikan rasa keadilan
"Dasar orang serakah. Pemerintah harusnya tempuh langkah preventif (pencegahan) tapi tidak dilakukan dengan baik. Lebih banyak pidato, ceramah, wejangan, dan tidak ada langkah konkrit yang efek," katanya.
Artinya, katanya, koruptor besar itu penjahat kelas kakap, jauh lebih licik dari penegak hukum jadi sulit diburu.
"Jika ada koruptor yang kabur lalu dibentuk tim khusus yang beranggotakan kejaksaan, kepolisian, dan KPK untuk memburu mereka itu boleh, tetapi membentuk tim baru di luar aparat penegak hukum yang ada, itu sebuah pemborosan dan tumpang tindih kewenangan dengan aparat penegak hukum yang sudah ada," kata Johanes Tuba Helan kepada ANTARA di Kupang, Jumat, (17/7).
Baca juga: Ahli sebut diskusi pemakzulan presiden mengada-ada
Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan rencana menghidupkan kembali tim pemburu koruptor. Wacana tersebut bermula dari upaya untuk mengejar terpidana kasus Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra yang kini masih buron.
Wacana tersebut digulirkan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Johanes Tuba Helan mengatakan aneh jika ada keinginan untuk membentuk lembaga baru yang namanya pemburu koruptor, padahal Presiden Joko Widodo justru berencana membubarkan lembaga/badan yang tidak efektif.
"Lembaga yang nganggur mau dibubarkan, sementara ada upaya membentuk lembaga baru lagi. Harusnya lembaga yang fungsinya tidak jelas dibubarkan, dan tidak perlu lagi bentuk di masa yang akan datang," katanya.
Di daerah katanya, juga ada staf khusus dengan fungsi tidak jelas dan tumpang tindih dengan organisasi perangkat daerah (OPD) tapi gaji besar, dan merupakan sebuah pemborosan.
Mengenai kinerja, dia mengatakan jika karena alasan kinerja lembaga hukum, seperti KPK, kejaksaan dan kepolisian belum efektif sebagai alasan yang kurang tepat.
"Menurut saya, sebenarnya kinerja kejaksaan, KPK dan kepolisian sudah maksimal, tapi persoalnya korupsi jalan terus," katanya.
Dalam kasus dugaan korupsi di Bank NTT, misalnya merupakan tindakan korupsi yang sangat mengerikan dan dilakukan secara terang-terangan.
"Anda ikuti kasus Bank NTT. Itu korupsi yang mengerikan dan terang-terangan. Mereka sudah tahu bahwa kemudian akan terbongkar, tapi tetap saja melakukan korupsi," katanya.
Baca juga: Kata Tubahelan, putusan MK tidak memberikan rasa keadilan
"Dasar orang serakah. Pemerintah harusnya tempuh langkah preventif (pencegahan) tapi tidak dilakukan dengan baik. Lebih banyak pidato, ceramah, wejangan, dan tidak ada langkah konkrit yang efek," katanya.
Artinya, katanya, koruptor besar itu penjahat kelas kakap, jauh lebih licik dari penegak hukum jadi sulit diburu.