Jakarta (ANTARA) - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai implementasi "sharing economy" di industri telekomunikasi bagus namun jangan sampai menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat di kalangan pelakunya.
Komisioner KPPU Guntur Saragih dalam keterangan di Jakarta, Kamis, (30/7) mengatakan "sharing economy" di industri telekomunikasi justru harus bisa menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat dan menumbuhkan investasi.
Baca juga: Kemenkominfo bangun fasilitas telekomunikasi untuk KTT G-20
Baca juga: Presiden Jokowi: Jika kuartal III ekonomi tidak naik, situasi lebih sulit
"Beberapa perusahaan yang menerapkan 'sharing economy' telah diberikan sanksi. Di luar negeri pernah ada Amazon dan Grab di Singapura, Malaysia serta Indonesia yang diberikan sanksi oleh pengawas persaingan usaha. Kita berharap manfaat dari 'sharing economy' dapat semaksimal mungkin dengan dampak persaingan usaha yang seminimal mungkin," ujar Guntur.
Dalam "sharing economy", lanjutnya, yang harus diperhatikan agar tak menjadi pelanggaran adalah tidak boleh ada pengaturan harga, pengaturan alat produksi atau sumberdaya untuk berproduksi sehingga menimbulkan kenaikkan harga, dan pengaturan area pemasaran. Tujuannya agar tidak terjadi kartel.
"Pelaku usaha tidak boleh melanggar aturan tersebut. Termasuk ketika ingin melakukan 'sharing economy' di industri telekomunikasi. Jika ingin melakukan 'sharing economy' di pasar yang bersangkutan, maka harus membuat 'joint venture'. Boleh melakukan pengaturan produksi namun harus melakukan 'joint venture'," ujar Guntur.
Guntur mengakui bahwa" sharing economy" merupakan keniscayaan. Namun di berbagai negara, pelaku usaha yang ingin melakukan "sharing economy" dengan mekanisme "joint venture" atau kerja sama operasi, diwajibkan untuk melapor kepada komisi persaingan usaha setempat.
Selain itu, melihat tantangan pengembangan dan perluasan cakupan infrastruktur telekomunikasi yang memerlukan investasi besar, Guntur menyampaikan bahwa investasi-investasi terbaik terjadi di negara-negara yang memiliki iklim persaingan usaha yang bagus.
Untuk itu, guna mendorong terjadinya percepatan pengembangan dan perluasan cakupan infrastruktur telekomunikasi, perlu dipastikan adanya persaingan usaha yang sehat antar operator telekomunikasi.
"Apa yang baik di negeri lain belum tentu baik diterapkan di Indonesia. Sehingga KPPU tak hanya memandang 'sharing economy' itu sebagai industri yang besar dan efesien. Namun KPPU melihat tujuan dari 'sharing economy' juga harus meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia," kata Guntur.
Sementara itu, pengamat telekomunikasi Nonot Harsono, mengatakan" sharing economy" dalam bentuk "Sharing" infrastruktur di industri telekomunikasi sudah terjadi.
Mantan Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) itu mengingatkan bahwa saat ini "Sharing" di industri telekomunikasi hanya sebatas "sharing" infrastruktur pasif seperti menara, backbone dan ducting. Sedangkan sharing infrastruktur aktif belum diperkenankan diberlakukan di Indonesia.
Saat ini, untuk "sharing" infrastruktur aktif seperti Open Access Networks (OAN) dan Mobile Virtual Network Operator (MVNO) belum dapat diterapkan di Indonesia.
Sharing hanya dapat dilakukan di jaringan backbone dengan skema sewa. Regulasi telekomunikasi Indonesia masih menggunakan UU 36/1999 yang berbasis kompetisi terbuka.
"Dalam konsep ini setiap perusahaan harus membangun jaringannya masing-masing. Dengan diwajibkan memenuhi komitmen pembangunan. Mereka harus melakukan efesiensi sendiri. Sehingga konsep sharing tidak bisa dijalankan," ujar Nonot.
Nonot menilai sharing infrastruktur aktif telekomunikasi tidak mendorong penggelaran infrastruktur telekomunikasi sehingga tidak sejalan dengan upaya pemerintah dalam memperluas jangkauan dan meningkatkan bandwidth jaringan telekomunikasi.
Agar tujuan pemerintah untuk memperluas jangkauan dan meningkatkan bandwidth jaringan telekomunikasi tercapai, Nonot menyarankan agar pemerintah dapat mengimplementasikan sharing pada teknologi baru.
"Ini disebabkan teknologi baru belum dimulainya investasi dan tidak ada kompetisinya. Dalam penerapan teknologi existing dimana telah terdapat investasi dan kompetisi, kebijakan sharing akan merugikan pihak yang telah berinvestasi," kata Nonot.
Baca juga: Presiden: Asumsi RAPBN 2021 optimistis tapi tetap realistis
Selain itu, lanjut Nonot, sharing juga bisa dilakukan di calon ibukota baru. Pemerintah dapat mendesain sejak awal jaringan telekomunikasi di ibukota baru, termasuk untuk kebutuhan pemerintah dan masyarakat umum.
Komisioner KPPU Guntur Saragih dalam keterangan di Jakarta, Kamis, (30/7) mengatakan "sharing economy" di industri telekomunikasi justru harus bisa menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat dan menumbuhkan investasi.
Baca juga: Kemenkominfo bangun fasilitas telekomunikasi untuk KTT G-20
Baca juga: Presiden Jokowi: Jika kuartal III ekonomi tidak naik, situasi lebih sulit
"Beberapa perusahaan yang menerapkan 'sharing economy' telah diberikan sanksi. Di luar negeri pernah ada Amazon dan Grab di Singapura, Malaysia serta Indonesia yang diberikan sanksi oleh pengawas persaingan usaha. Kita berharap manfaat dari 'sharing economy' dapat semaksimal mungkin dengan dampak persaingan usaha yang seminimal mungkin," ujar Guntur.
Dalam "sharing economy", lanjutnya, yang harus diperhatikan agar tak menjadi pelanggaran adalah tidak boleh ada pengaturan harga, pengaturan alat produksi atau sumberdaya untuk berproduksi sehingga menimbulkan kenaikkan harga, dan pengaturan area pemasaran. Tujuannya agar tidak terjadi kartel.
"Pelaku usaha tidak boleh melanggar aturan tersebut. Termasuk ketika ingin melakukan 'sharing economy' di industri telekomunikasi. Jika ingin melakukan 'sharing economy' di pasar yang bersangkutan, maka harus membuat 'joint venture'. Boleh melakukan pengaturan produksi namun harus melakukan 'joint venture'," ujar Guntur.
Guntur mengakui bahwa" sharing economy" merupakan keniscayaan. Namun di berbagai negara, pelaku usaha yang ingin melakukan "sharing economy" dengan mekanisme "joint venture" atau kerja sama operasi, diwajibkan untuk melapor kepada komisi persaingan usaha setempat.
Selain itu, melihat tantangan pengembangan dan perluasan cakupan infrastruktur telekomunikasi yang memerlukan investasi besar, Guntur menyampaikan bahwa investasi-investasi terbaik terjadi di negara-negara yang memiliki iklim persaingan usaha yang bagus.
Untuk itu, guna mendorong terjadinya percepatan pengembangan dan perluasan cakupan infrastruktur telekomunikasi, perlu dipastikan adanya persaingan usaha yang sehat antar operator telekomunikasi.
"Apa yang baik di negeri lain belum tentu baik diterapkan di Indonesia. Sehingga KPPU tak hanya memandang 'sharing economy' itu sebagai industri yang besar dan efesien. Namun KPPU melihat tujuan dari 'sharing economy' juga harus meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia," kata Guntur.
Sementara itu, pengamat telekomunikasi Nonot Harsono, mengatakan" sharing economy" dalam bentuk "Sharing" infrastruktur di industri telekomunikasi sudah terjadi.
Mantan Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) itu mengingatkan bahwa saat ini "Sharing" di industri telekomunikasi hanya sebatas "sharing" infrastruktur pasif seperti menara, backbone dan ducting. Sedangkan sharing infrastruktur aktif belum diperkenankan diberlakukan di Indonesia.
Saat ini, untuk "sharing" infrastruktur aktif seperti Open Access Networks (OAN) dan Mobile Virtual Network Operator (MVNO) belum dapat diterapkan di Indonesia.
Sharing hanya dapat dilakukan di jaringan backbone dengan skema sewa. Regulasi telekomunikasi Indonesia masih menggunakan UU 36/1999 yang berbasis kompetisi terbuka.
"Dalam konsep ini setiap perusahaan harus membangun jaringannya masing-masing. Dengan diwajibkan memenuhi komitmen pembangunan. Mereka harus melakukan efesiensi sendiri. Sehingga konsep sharing tidak bisa dijalankan," ujar Nonot.
Nonot menilai sharing infrastruktur aktif telekomunikasi tidak mendorong penggelaran infrastruktur telekomunikasi sehingga tidak sejalan dengan upaya pemerintah dalam memperluas jangkauan dan meningkatkan bandwidth jaringan telekomunikasi.
Agar tujuan pemerintah untuk memperluas jangkauan dan meningkatkan bandwidth jaringan telekomunikasi tercapai, Nonot menyarankan agar pemerintah dapat mengimplementasikan sharing pada teknologi baru.
"Ini disebabkan teknologi baru belum dimulainya investasi dan tidak ada kompetisinya. Dalam penerapan teknologi existing dimana telah terdapat investasi dan kompetisi, kebijakan sharing akan merugikan pihak yang telah berinvestasi," kata Nonot.
Baca juga: Presiden: Asumsi RAPBN 2021 optimistis tapi tetap realistis
Selain itu, lanjut Nonot, sharing juga bisa dilakukan di calon ibukota baru. Pemerintah dapat mendesain sejak awal jaringan telekomunikasi di ibukota baru, termasuk untuk kebutuhan pemerintah dan masyarakat umum.