Seni tenun adalah budaya tua yang ditekuni manusia untuk menghasilkan busana dan merupakan peradaban yang hampir merata ditemukan di seluruh pelosok bumi.
Pada masa modern ini pun ketika pabrik pemintalan benang mampu menghasilkan ribuan, bahkan jutaan meter tekstil dengan cara yang praktis, tradisi memintal benang untuk membuat kain masih ditekuni di beberapa tempat, tak terkecuali di Pulau Sumba, satu daratan kecil di Nusa Tenggara Timur.
Presiden Joko Widodo yang hadir dan mengenakan ikat kepala dan berselempang kain tenun menyaksikan festival tenun dan kuda sandelwood di lapangan Galatama, Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), NTT, Rabu (12/7).
Bagi orang Sumba, memiliki dan mengenakan kain serta sarung dari tenun ikat merupakan suatu "keharusan" karena kain tenun adalah busana penting yang dikenakan pada acara adat, seperti menghadiri pesta pernikahan, upacara kematian, dan beribadah.
Menurut Mikhael Molan Keraf, CSsR, Direktur Yayasan Sosial Donders, kaum perempuan di perdesaan menenun kain sebagai ibadah, untuk memuji kebesaran Tuhan yang diwujudkan dalam motif-motif bentuk hewan, alam, dan benda-benda yang lekat dalam kehidupan keseharian.
Sejak mengetahui hal itu, dia lebih menghargai kain tenun dan lebih berhati-hati memakainya. Misalnya, tidak lagi menggunting kain.
Meskipun berasal dari Desa Lamalera, Kabupaten Lembata, Flores Timur, tokoh yang lebih dikenal dengan sapaan Pater Mike Keraf ini sekarang lebih sering berpakaian ala pria Sumba dengan memakai ikat kepala serta kain tenun yang melilit pinggangnya.
Memaknai kain sebagai bagian dari ibadah juga diakui oleh Angela Lele Biri, perempuan Sumba yang bekerja di Kantor Dinas Agama Kabupaten Sumba Barat.
Proses panjang menenun pada masa lalu diawali dengan memilih kapas yang dipintal menjadi benang, kemudian diikat untuk membentuk gambar dan dilanjutkan dengan pencelupan warna sesuai rancangan yang telah dipilih baru terakhir ditenun.
Berdasar pepahamnya, tenun Sumba adalah rajutan hari-hari orang Sumba yang dilukiskan melalui tenun dan merupakan doa pujian yang harus didaraskan setiap hari.
"Ketika memakai kain atau sarung Sumba, kita merenungi makna kehidupan," kata Angela. Mengenakan sarung pun sebenarnya merupakan cara untuk menjaga martabat diri dengan memakainya secara patut.
Angela menerawang, terkenang akan kakeknya, Yosep Nudu yang selalu marah ketika melihat orang membetulkan sarung yang dipakainya di depan umum, seperti yang saat ini lazim dilakukan banyak orang.
"Membenahi sarung di muka umum menurut kakek Nudu sama dengan memperbaiki rok dalam (tidak patut dilakukan di depan orang banyak)," katanya.
Dikenal Mahal
Tenun ikat dari NTT dikenal mahal harganya jika dibanding dengan kain-kain bikinan pabrik. Namun, ada yang setara dengan kain songket dari Jambi, batik tulis yang bermutu tinggi atau kain sutra Sulawesi.
Harga termurah kain tenun sekitar Rp250.000 selembar untuk jenis kain yang terbuat dari benang pabrik dengan memakai celup pewarna buatan pabrik juga. Akan tetapi, ada pula kain yang harganya mencapai sepuluh juta rupiah bila terbuat dari benang kapas yang dipintal tangan dan dicelup dengan pewarna alami.
"Harga kain tidak sama karena dari tangan penenun kain-kain bisa melalui banyak tangan lain sebelum mencapai ke tangan pembeli. Harga bisa berlipat ganda," kata Felicitas Ambukaka, perempuan dari etnis Kodi, Sumba yang kini merintis usaha pemasaran tenun Sumba.
Felicitas mencoba memangkas harga jual dengan cara berhubungan secara langsung dengan penenun di kampung-kampung sehingga harga dan ongkos bisa ditekan.
Rerata kain yang dipasarkannya berharga antara Rp200.000 dan Rp2 juta. Dengan harga ini, mampu bersaing dengan harga di tempat penjualan yang lain, bahkan kini relatif banyak toko oleh-oleh yang memesan kain tenun darinya. "Bagi saya untung sedikit-sedikit tidak apa-apa agar makin banyak laku dan makin banyak orang memakai tenun Sumba," katanya.
Tenun ikat Sumba sangat unik, punya daya tarik tersendiri dari sisi warna dan motif dan juga cocok dimodifikasi untuk busana modern. Dengan demikian, bisa makin melekat di hati.
Adalah jamak terlihat perempuan dan laki-laki Sumba mengenakan kain atau sarung tenun kebanggaan mereka untuk sehari-hari, apalagi pada hari khusus, bahkan anak-anak dan remaja juga sudah memakainya.
Kain-kain dengan pewarna modern terlihat lebih cerah dan warna-warni, sedangkan kain dengan bahan alami memiliki warna yang lembut. Para pencintanya akan memilih sesuai dengan selera dan kemampuan kantong.
"Saya sudah mulai mengenakan kain ikat pada usia 5 tahun dan saat ini saya merasa bangga serta percaya diri bila memakai tenun ikat," kata Anggriani Irwanto, perempuan Sumba yang berdinas sebagai pegawai negeri sipil di Kabupaten Sumba Barat Daya dan pernah lama berkarier di Jakarta.
Sejak kembali ke Sumba beberapa tahun lalu, Anggriani mengaku lebih suka mengenakan sarung Sumba pada peristiwa-peristiwa khusus ketimbang memakai busana pesta modern atau dari daerah lain. Baginya, memakai tenun ikat Sumba membuatnya tampil lebih menarik sekaligus menunjukkan jati diri etnis.
Sumber Kehidupan
Menenun kain, selain perwujudan ibadah juga menjadi sumber nafkah bagi banyak perempuan Sumba meskipun mereka baru bisa merajut helai demi helai benang setelah selesai mengerjakan tugas rumah tangga.
"Pendapatan kami sangat bergantung pada hasil tenun," ujar Debora Kali, penenun asal Desa Weri B, Kecamatan Kodi Timur, Sumba Barat Daya.
Debora sudah mulai menenun sejak usia 8 tahun dengan cara belajar melihat orang-orang dewasa menenun, tahap berikutnya belajar menggulung benang dan dilakukan setiap hari.
Di kampungnya, menenun lebih banyak dilakukan oleh kaum perempuan tetapi tidak tabu bagi pria, seperti yang terlihat siang itu saat sekelompok pengrajin menenun bersama-sama bukan hanya perempuan, melainkan juga pria, ada yang menggulung benang, ada yang mengikat dan ada yang mulai menenun.
Motif-motif yang sering mereka rajut adalah belah ketupat, mamuli yaitu perhiasan lambang kesuburan yang biasa digunakan sebagai mas kawin atau belis, gambar rumah adat dengan atap gaya Marapu yang runcing, gambar-gambar hewan, seperti kuda, ular, ayam, kura-kura, burung.
Debora yang menggantungkan periuknya pada tenun mengatakan bahwa dirinya bisa menghasilkan selembar kain dalam 1 minggu untuk motif yang sederhana. Ia juga sanggup menerima pesanan untuk pilihan warna dan gambar.
Maria Kaka, penenun lain juga sudah bergelut dengan benang, alat-alat tenun, seperti pakan, lungsing sejak umur 10 tahun, usia yang ideal untuk mulai belajar. "Bila sudah besar baru belajar biasanya tidak bisa," katanya sambil memperagakan jemari saat memadatkan benang.
Dewasa ini, Debora, Maria, dan Yosefina Piromete dari kampung Kalenarongo lebih memilih menenun dengan benang dan pewarna yang dibeli di took karena prosesnya lebih praktis.
"Saya tidak penah belajar memintal benang, jadi saya memakai benang jadi dan jenis benang ini tidak bisa menyerap pewarna alami sehingga harus memakai pewarna buatan," kata Yosefina. Penghasilan dari menjual kain tenun menjadi sumber nafkah utama bagi mereka, selain beternak.
Mengenai jumlahnya, mereka hanya menjawab: "Cukup untuk biaya hidup." Meskipun bagi pendatang, khususnya dari Jawa, harga kain tenun dianggap relatif mahal, para perajin yang setiap bulan menjual hasil karyanya, tetap hidup dalam kesederhanaan. Mereka menempati rumah-rumah panggung dari bambu dan kayu dan nyaris tidak memiliki benda berharga.
Bahan baku untuk membuat selembar kain yang kelak dijual di toko dengan harga sekitar Rp200.000 rata-rata bernilai Rp100.000, belum dihitung ongkos belanja membeli benang, uang lelah, dan ongkos mengirim kain tenun ke pasar.
Kain tenun dengan motif yang lebih rumit dan dijual dengan harga antara Rp500.000 hingga sejuta rupiah memakai bahan yang lebih banyak untuk variasi sulam dan waktu pengerjaan sekitar 1 bulan.
"Cukup untuk hidup" adalah Bahasa bijak yang mereka sampaikan ketimbang mengungkapkan besaran rupiah yang mereka raup melalui hasil tenun-tenun itu.
Menghormati Tamu
Orang Sumba membeli tenun ikat tidak hanya untuk dipakai sendiri, tetapi juga membeli untuk hadiah bagi keluarga dan kerabat pada hari-hari khusus dan juga untuk menghormati tamu.
Hari itu Thomas Iwan, warga kota Mataram sedang berlibur ke Sumba dan mengunjungi rumah Ima Nudu, tokoh perempuan dan penggagas pemekaran kabupaten Sumba Barat Daya.
Thomas bersama istri dan dua anaknya masing-masing disambut di ambang pintu dengan penyelempangan kain tenun. "Baru datang sudah dapat hadiah indah seperti ini," kata istrinya dengan terharu.
Cara menyambut tamu seperti itu merupakan kelaziman. Bila tidak dilakukan, akan membuat tuan rumah merasa tidak enak hati. Membawa hantaran berupa tenun ikat juga dilakukan untuk menghadiri pernikahan, melayat ke rumah duka, saat bayi lahir, dan peristiwa penting lain.
"Biasanya kami memiliki persediaan kain. Akan tetapi, bila tidak kain akan mudah dibeli di pasar dan di toko-toko," kata Anggriani. Ia menambahkan bahwa cara tersebut memang menghabiskan uang, tetapi membuat tenun ikat makin lekat memikat hati orang Sumba.
Menggelar festival tenun yang akan diikuti 2.017 penenun tidaklah sulit karena hampir semua perempuan di desa mempunyai kemampuan menenun. Setidaknya hampir di setiap kampung ada pengrajin tenun. Tenun ikat yang melekat di hati orang Sumba pun kini memikat orang-orang luar Sumba.