Jakarta (ANTARA) - Para pelaku industri wisata di Bali dan Nusa Tenggara Timur yang mengandalkan pendapatan dari turis domestik dan mancanegara pusing tujuh keliling ketika pandemi COVID-19 menerpa. Wisatawan mancanegara sama sekali tidak boleh masuk selama pembatasan wilayah, membuat para pelaku wisata gigit jari.
Mereka tidak lama bermuram durja karena harus segera mencari jalan keluar. Apa yang dianggap sebagai musibah rupanya diam-diam membawa berkah.
Bony Oldam Romas, pengusaha kopi “Kopi Mane” di Manggarai Timur, awalnya hanya mengandalkan penjualan langsung di gerai kopi miliknya. Jenama yang artinya "Kopi Sore" ini berdiri sejak 2014 dan kini bisa ditemui di Ruteng, Manggarai juga Labuan Bajo serta Maumere.
"Pukulan COVID-19 terasa sekali di Labuan Bajo, selama empat bulan total lockdown, tidak ada tamu yang masuk dan kafe tutup," dia mengisahkan saat berbicara di webinar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif “Bertahan atau Pasrah? Apa Kata Pengusaha Kecil Sektor Pariwisata di Indonesia? Studi Kasus Labuan Bajo, Bali & Lombok”, Rabu, (2/12).
Di Ruteng, nasibnya sedikit lebih baik karena masih ada pelanggan lokal yang setia mencicipi lezatnya kopi di sana. Walau tetap saja jumlah pengunjung juga menurun drastis. Selama tiga bulan awal pandemi, maksimal omzet yang didapat 20 persen dari biasa.
"Omzet tiga bulan dari Maret turun, 0 persen karena tidak dibuka, di Ruteng bisa 20-30 persen," ungkap dia.
Secercah harapan muncul ketika dia memutuskan untuk berjualan lebih luas melalui dunia maya. Penjualan daring jadi jawaban untuk keluar dari kenestapaan. Ditambah lagi ada rekan-rekan dari Jakarta yang mengajukan diri untuk menjual kembali produk-produk kopinya (reseller).
Baca juga: Pariwisata premium harus didukung teknologi informasi
Pembeli yang tidak bisa mampir langsung ke Kopi Mane akhirnya dapat menyesap minuman pahit di rumah masing-masing, entah dari pulau Kalimantan hingga pulau Jawa.
Dia berharap ke depannya kopi bisa jadi daya tarik baru untuk wisatawan sehingga ada banyak alasan, di luar melihat komodo, untuk mampir ke daerah indah di Timur sana.
Sembari menunggu suasana kembali kondusif, Bony juga membuat pelatihan-pelatihan agar anak muda setempat bisa lihai bekerja sebagai barista. Begitu pula dengan warga binaan dari Lembaga Pemasyarakatan, sehingga mereka bisa mengubah nasib dengan berwirausaha di bidang kopi.
Dia getol mendorong anak-anak muda setempat untuk menguasai ilmu meracik kopi mengingat itulah salah satu sumber daya alam yang menonjol di sana. "Bisa jadi tuan rumah di daerah sendiri.
Kisah pemilik "Krisna"
Wisatawan yang berkunjung ke pulau Dewata hampir tak mungkin melewatkan toko oleh-oleh Krisna yang ternama di Bali. Bisa ditebak, bisnis ini begitu terpukul ketika pandemi melanda.
I Gusti Ngurah Anom, Pemilik Krisna Oleh-oleh Khas Bali, memiliki total 2500 karyawan yang bekerja di 32 outlet. Dia menuturkan, sebanyak 2000 karyawan sempat dirumahkan selama pandemi karena toko-toko tidak bisa beroperasi. Untungnya, sejak beberapa bulan lalu bisnis kembali merangkak meski belum optimal.
"November, karyawan sudah kembali bekerja 60 persen," kata dia, menambahkan semuanya berkat turis domestik yang mulai memberanikan diri untuk berlibur kembali.
"Sebelum pandemi omzet luar biasa, di masa pandemi Krisna dan bisnis pariwisata lain terdampak sekali. Sekarang sudah 40 persen, saya optimistis 2021 omzet Krisna kembali lagi ke 100 persen."
Penyesuaian yang dilakukan di Krisna meliputi penerapan protokol kesehatan di seluruh toko, mulai dari kewajiban mencuci tangan, memakai masker, pengukuran suhu tubuh sebelum pembeli masuk hingga penyediaan hand santiizer. "Krisna sudah siap dikunjungi," ajak dia.
Bulan-bulan pertama virus corona melanda, kesedihan dan tekanan betul-betul dia rasakan. Namun dia tak mau berlama-lama terpuruk. "Bulan Mei akhir saya berpikir harus bangkit," katanya.
Keluarganya punya latar belakang pertanian, jadi I Gusti Ngurah Anom memilih menunggu pandemi berakhir dengan mengolah lahan seluas 23 hektare di daerah Bali Utara. Bersama dengan tim, dia mulai berkebun dan menanam aneka tumbuhan, mulai dari kacang, pisang hingga nanas.
Aktivitas barunya membawa berkah. Dari situ dia berpikir untuk menciptakan produk baru yang bisnisnya dia urus dari hulu ke hilir. Lahirlah camilan-camilan baru yang bahannya berasal dari perkebunannya sendiri. Lagipula, camilan merupakan salah satu produk yang digemari pembeli di Krisna.
"Kacang ditanam selama tiga bulan, panen bulan Juli delapan hektare, sekarang Krisna bikin produk baru, produksi kacang kapri, bakpia, pie susu, pia kukus. Saya jadi punya produk COVID baru," tutur dia.
Krisna juga semakin gencar berjualan secara daring, meski jumlahnya belum menyamai besaran penjualan langsung di toko karena orang biasa berbelanja untuk oleh-oleh selepas berlibur. Namun setidaknya COVID-19 membuahkan varian baru untuk bisnisnya.
Baca juga: ASITA: Pelaku wisata NTT mulai layani kunjungan wisatawan
Sekretaris Umum Perhimpunan Usaha Taman Rekreasi Indonesia Jaya Purnawijaya menuturkan beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pelaku wisata untuk merebut kembali kepercayaan masyarakat.
Di antaranya adalah mendapatkan sertifikasi CHSE (Clean, Health, Safety & Environment) atau Kebersihan, Kesehatan, Keselamatan, dan Kelestarian Lingkungan. Sertifikasi ini berfungsi sebagai jaminan kepada masyarakat bahwa pelayanan yang mereka berikan sudah sesuai dengan protokol yang diwajibkan.
Sertifikasi ini membuat wisatawan bebas dari rasa was-was dan lebih yakin untuk memilih layanan tersebut. "Jangan lupa berpromosi di media sosial," imbuh Jaya.
Promosi melalui media sosial juga dinilai efektif karena banyak wisatawan yang mencari referensi untuk berlibur melalui dunia maya. Ulasan positif hingga foto menarik bisa jadi konten yang membuat wisatawan tergiur untuk berlibur ke sana.
Baca juga: Artikel- Kisah UKM Karolina bertahan di tengah pandemi
Kisah-kisah pelaku industri wisata, termasuk di subsektor kuliner, dari Laboan Bajo dan Bali itu membuktikan bahwa di antara kesulitan pasti ada peluang, dan beradaptasi dengan dunia digital adalah salah satu solusi mujarab untuk bertahan di tengah pandemi.
Mereka tidak lama bermuram durja karena harus segera mencari jalan keluar. Apa yang dianggap sebagai musibah rupanya diam-diam membawa berkah.
Bony Oldam Romas, pengusaha kopi “Kopi Mane” di Manggarai Timur, awalnya hanya mengandalkan penjualan langsung di gerai kopi miliknya. Jenama yang artinya "Kopi Sore" ini berdiri sejak 2014 dan kini bisa ditemui di Ruteng, Manggarai juga Labuan Bajo serta Maumere.
"Pukulan COVID-19 terasa sekali di Labuan Bajo, selama empat bulan total lockdown, tidak ada tamu yang masuk dan kafe tutup," dia mengisahkan saat berbicara di webinar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif “Bertahan atau Pasrah? Apa Kata Pengusaha Kecil Sektor Pariwisata di Indonesia? Studi Kasus Labuan Bajo, Bali & Lombok”, Rabu, (2/12).
Di Ruteng, nasibnya sedikit lebih baik karena masih ada pelanggan lokal yang setia mencicipi lezatnya kopi di sana. Walau tetap saja jumlah pengunjung juga menurun drastis. Selama tiga bulan awal pandemi, maksimal omzet yang didapat 20 persen dari biasa.
"Omzet tiga bulan dari Maret turun, 0 persen karena tidak dibuka, di Ruteng bisa 20-30 persen," ungkap dia.
Secercah harapan muncul ketika dia memutuskan untuk berjualan lebih luas melalui dunia maya. Penjualan daring jadi jawaban untuk keluar dari kenestapaan. Ditambah lagi ada rekan-rekan dari Jakarta yang mengajukan diri untuk menjual kembali produk-produk kopinya (reseller).
Baca juga: Pariwisata premium harus didukung teknologi informasi
Pembeli yang tidak bisa mampir langsung ke Kopi Mane akhirnya dapat menyesap minuman pahit di rumah masing-masing, entah dari pulau Kalimantan hingga pulau Jawa.
Dia berharap ke depannya kopi bisa jadi daya tarik baru untuk wisatawan sehingga ada banyak alasan, di luar melihat komodo, untuk mampir ke daerah indah di Timur sana.
Sembari menunggu suasana kembali kondusif, Bony juga membuat pelatihan-pelatihan agar anak muda setempat bisa lihai bekerja sebagai barista. Begitu pula dengan warga binaan dari Lembaga Pemasyarakatan, sehingga mereka bisa mengubah nasib dengan berwirausaha di bidang kopi.
Dia getol mendorong anak-anak muda setempat untuk menguasai ilmu meracik kopi mengingat itulah salah satu sumber daya alam yang menonjol di sana. "Bisa jadi tuan rumah di daerah sendiri.
Kisah pemilik "Krisna"
Wisatawan yang berkunjung ke pulau Dewata hampir tak mungkin melewatkan toko oleh-oleh Krisna yang ternama di Bali. Bisa ditebak, bisnis ini begitu terpukul ketika pandemi melanda.
I Gusti Ngurah Anom, Pemilik Krisna Oleh-oleh Khas Bali, memiliki total 2500 karyawan yang bekerja di 32 outlet. Dia menuturkan, sebanyak 2000 karyawan sempat dirumahkan selama pandemi karena toko-toko tidak bisa beroperasi. Untungnya, sejak beberapa bulan lalu bisnis kembali merangkak meski belum optimal.
"November, karyawan sudah kembali bekerja 60 persen," kata dia, menambahkan semuanya berkat turis domestik yang mulai memberanikan diri untuk berlibur kembali.
"Sebelum pandemi omzet luar biasa, di masa pandemi Krisna dan bisnis pariwisata lain terdampak sekali. Sekarang sudah 40 persen, saya optimistis 2021 omzet Krisna kembali lagi ke 100 persen."
Penyesuaian yang dilakukan di Krisna meliputi penerapan protokol kesehatan di seluruh toko, mulai dari kewajiban mencuci tangan, memakai masker, pengukuran suhu tubuh sebelum pembeli masuk hingga penyediaan hand santiizer. "Krisna sudah siap dikunjungi," ajak dia.
Bulan-bulan pertama virus corona melanda, kesedihan dan tekanan betul-betul dia rasakan. Namun dia tak mau berlama-lama terpuruk. "Bulan Mei akhir saya berpikir harus bangkit," katanya.
Keluarganya punya latar belakang pertanian, jadi I Gusti Ngurah Anom memilih menunggu pandemi berakhir dengan mengolah lahan seluas 23 hektare di daerah Bali Utara. Bersama dengan tim, dia mulai berkebun dan menanam aneka tumbuhan, mulai dari kacang, pisang hingga nanas.
Aktivitas barunya membawa berkah. Dari situ dia berpikir untuk menciptakan produk baru yang bisnisnya dia urus dari hulu ke hilir. Lahirlah camilan-camilan baru yang bahannya berasal dari perkebunannya sendiri. Lagipula, camilan merupakan salah satu produk yang digemari pembeli di Krisna.
"Kacang ditanam selama tiga bulan, panen bulan Juli delapan hektare, sekarang Krisna bikin produk baru, produksi kacang kapri, bakpia, pie susu, pia kukus. Saya jadi punya produk COVID baru," tutur dia.
Krisna juga semakin gencar berjualan secara daring, meski jumlahnya belum menyamai besaran penjualan langsung di toko karena orang biasa berbelanja untuk oleh-oleh selepas berlibur. Namun setidaknya COVID-19 membuahkan varian baru untuk bisnisnya.
Baca juga: ASITA: Pelaku wisata NTT mulai layani kunjungan wisatawan
Sekretaris Umum Perhimpunan Usaha Taman Rekreasi Indonesia Jaya Purnawijaya menuturkan beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pelaku wisata untuk merebut kembali kepercayaan masyarakat.
Di antaranya adalah mendapatkan sertifikasi CHSE (Clean, Health, Safety & Environment) atau Kebersihan, Kesehatan, Keselamatan, dan Kelestarian Lingkungan. Sertifikasi ini berfungsi sebagai jaminan kepada masyarakat bahwa pelayanan yang mereka berikan sudah sesuai dengan protokol yang diwajibkan.
Sertifikasi ini membuat wisatawan bebas dari rasa was-was dan lebih yakin untuk memilih layanan tersebut. "Jangan lupa berpromosi di media sosial," imbuh Jaya.
Promosi melalui media sosial juga dinilai efektif karena banyak wisatawan yang mencari referensi untuk berlibur melalui dunia maya. Ulasan positif hingga foto menarik bisa jadi konten yang membuat wisatawan tergiur untuk berlibur ke sana.
Baca juga: Artikel- Kisah UKM Karolina bertahan di tengah pandemi
Kisah-kisah pelaku industri wisata, termasuk di subsektor kuliner, dari Laboan Bajo dan Bali itu membuktikan bahwa di antara kesulitan pasti ada peluang, dan beradaptasi dengan dunia digital adalah salah satu solusi mujarab untuk bertahan di tengah pandemi.