Kupang (ANTARA) - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Johanes Tuba Helan mengatakan wacana mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode tidak perlu ditanggapi secara serius oleh para pemangku kepentingan, karena merupakan hal yang tidak rasional.
"Memang hak orang menyampaikan pendapat terkait wacana ini, tetapi tidak perlu ditanggapi serius para pemangku kepentingan karena kita semua dari level masyarakat sampai ke para pejabat atau elite politik tunduk pada aturan konstitusi," kata Johanes Tuba Helan, di Kupang, Kamis, terkait wacana mengubah masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode.
Ia mengatakan konstitusi negara sudah mengatur dengan jelas bahwa presiden dan wakil presiden menjabat selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Artinya seorang presiden atau wakil presiden hanya boleh menjabat paling banyak 2x5 tahun.
Aturan konstitusi ini, kata dia, sudah tepat dalam sebuah negara demokrasi, karena kekuasaan yang tidak dibatasi selalu memiliki kecenderungan untuk korup.
Untuk itu, katanya lagi, konstitusi Indonesia telah membatasi kekuasaan itu, sehingga tidak perlu ada gagasan untuk menambah masa jabatan kepala negara, apalagi sampai dipolemikkan berbagai pihak.
Dosen Fakultas Hukum Undana itu mengatakan, perubahan masa jabatan kepala negara bisa terjadi melalui amendemen UUD 1945, namun tidak bisa mengamendemen konstitusi hanya secara khusus mengganti masa jabatan kepala negara.
"Usia amendemen konstitusi kita baru 19 tahun, lalu mau diamendemen lagi tentu itu tidak bagus, tidak memberikan kepastian hukum," katanya pula.
Lebih lanjut Johanes mengatakan jika wacana ini digulirkan pihak tertentu dengan alasan kinerja kepala negara saat ini dinilai bagus, maka tidak tepat menjadi dasar untuk mengubah konstitusi.
"Kalau kinerja Presiden Joko Widodo saat ini dinilai bagus maka harus menjabat lagi, lalu bagaimana jika ada presiden-presiden selanjutnya korup, apakah konstitusi akan diamendemen lagi," kata dia lagi.
Konsitusi, ujar dia, mengatur hal-hal prinsip atau pokok yang perubahannya tidak boleh dilakukan secara cepat.
Karena itu, Johanes meminta para pemangku kepentingan untuk tidak menanggapi serius wacana seperti ini, karena hanya menyita waktu dan tenaga yang semestinya difokuskan untuk hal-hal lain yang lebih mendesak bagi kemajuan bangsa dan negara.
Baca juga: Kelompok tak suka Jokowi sebar narasi presiden tiga periode
"Memang hak orang menyampaikan pendapat terkait wacana ini, tetapi tidak perlu ditanggapi serius para pemangku kepentingan karena kita semua dari level masyarakat sampai ke para pejabat atau elite politik tunduk pada aturan konstitusi," kata Johanes Tuba Helan, di Kupang, Kamis, terkait wacana mengubah masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode.
Ia mengatakan konstitusi negara sudah mengatur dengan jelas bahwa presiden dan wakil presiden menjabat selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Artinya seorang presiden atau wakil presiden hanya boleh menjabat paling banyak 2x5 tahun.
Aturan konstitusi ini, kata dia, sudah tepat dalam sebuah negara demokrasi, karena kekuasaan yang tidak dibatasi selalu memiliki kecenderungan untuk korup.
Untuk itu, katanya lagi, konstitusi Indonesia telah membatasi kekuasaan itu, sehingga tidak perlu ada gagasan untuk menambah masa jabatan kepala negara, apalagi sampai dipolemikkan berbagai pihak.
Dosen Fakultas Hukum Undana itu mengatakan, perubahan masa jabatan kepala negara bisa terjadi melalui amendemen UUD 1945, namun tidak bisa mengamendemen konstitusi hanya secara khusus mengganti masa jabatan kepala negara.
"Usia amendemen konstitusi kita baru 19 tahun, lalu mau diamendemen lagi tentu itu tidak bagus, tidak memberikan kepastian hukum," katanya pula.
Lebih lanjut Johanes mengatakan jika wacana ini digulirkan pihak tertentu dengan alasan kinerja kepala negara saat ini dinilai bagus, maka tidak tepat menjadi dasar untuk mengubah konstitusi.
"Kalau kinerja Presiden Joko Widodo saat ini dinilai bagus maka harus menjabat lagi, lalu bagaimana jika ada presiden-presiden selanjutnya korup, apakah konstitusi akan diamendemen lagi," kata dia lagi.
Konsitusi, ujar dia, mengatur hal-hal prinsip atau pokok yang perubahannya tidak boleh dilakukan secara cepat.
Karena itu, Johanes meminta para pemangku kepentingan untuk tidak menanggapi serius wacana seperti ini, karena hanya menyita waktu dan tenaga yang semestinya difokuskan untuk hal-hal lain yang lebih mendesak bagi kemajuan bangsa dan negara.
Baca juga: Kelompok tak suka Jokowi sebar narasi presiden tiga periode