Kupang (AntaraNews NTT) - Montara Task Force atau Satuan Tugas Montara adalah suatu lembaga yang dibentuk Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan untuk mengambilalih kasus pencemaran minyak di Laut Timor yang terjadi pada 21 Agustus 2009.
Satgas Montara yang dibentuk pada 13 Agustus 2017 itu bertugas memonitor, mencermati, dan berdialog dengan semua pihak untuk menyelesaikan kasus tumpahan minyak di Laut Timor secara menyeluruh dan tuntas.
Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Montara Ferdi Tanoni mengatakan sikap tegas Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dengan membentuk Montara Task Force itu untuk mendorong Australia agar bisa bekerja sama dalam mencari solusi penyelesaian kasus Montara.
Lembaga yang dibentuk ini merupakan representasi dari pemerintah dan rakyat korban Montara di Nusa Tenggara Timur agar kasus pencemaran yang sudah berjalan hampir sembilan tahun lamanya itu segera diselesaikan.
Menteri Luar Negeri Australia Julie Isabel Bishop telah memberikan respons yang positif terhadap permintaan Menko Luhut Pandjaitan, dan memberikan tanggapan positif terhadap permintaan rakyat korban melalui sebuah surat tertanggal 7 Pebruari 2018.
Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan (ANTARA Foto)
Dengan demikian, Montara Task Force harus segera dan secepatnya mengambialih seluruh urusan kasus pencemaran Laut Timor secara menyeluruh dan tuntas.
"Pemerintah Australia tidak bisa melakukan partisipasi secara maksimal dalam penyelesaian kasus Montara, karena Pemerintah Indonesia sedang menggugat PTTEP di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," kata Julie Bishop.
Namun, gugatan tersebut sudah dicabut kembali setelah rakyat korban Montara mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mencabutnya sejak 6 Februari 2018.
"Dengan dicabutnya gugatan tersebut, kami mendesak Jakarta segera berkoordinasi dengan Pemda NTT dan rakyat korban untuk menyelesaikan kasus tersebut," kata Tanoni.
Atas dasar itu, Menko Kemaritiman selaku Ketua Montara Task Force dapat bersikap tegas terhadap Menteri LHK untuk mengambi alih seluruh urusan kasus pencemaran Laut Timor agar tidak membingungkan Pemerintah Australia.
Pemerintah Australia saat ini sedang menunggu sikap tegas Menko Luhut Pandjaitan dalam penyelesaian kasus ini agar tidak mengganggu hubungan bilateral kedua negara.
"Kasus tumpahan minyak ini akan segera terselesaikan hanya menunggu sikap tegas dari Menko Kemaritiman untuk memberikan kuasa penuh kepada Montara Task Force untuk melanjutkan langkah-langkah penyelesaiannya," ujar Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Australia itu.
Upaya penyelesaian terhadap pencemaran minyak di Laut Timor ini benar-benar menguras tenaga dan pikiran, karena pemerintah Indonesia terkesan apatis dan membiarkan sekelompok masyarakat di bawah pimpinan Ferdi Tanoni untuk berjuang sendiri hingga saat ini.
Antropolog Budaya dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Pater Gregor Neonbasu SVD, PhD melukiskan kasus pencemaran Laut Timor akibat meledaknya anjungan minyak Montara pada 2009 lalu merupakan sebuah pengkhianatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
"Sudah sembilan tahun dampak meledaknya minyak itu masih menyisahkan penderitaan bagi masyarakat di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur, khususnya para petani rumput laut, nelayan serta masyarakat pesisir," katanya.
Rohaniwan Katolik itu mengatakan kerugian ekonomi sudah pasti ada karena mereka kehilangan sumber mata pencaharian di laut, selain itu banyak pula menderita berbagai penyakit sebagai dampak langsung pencemaran tersebut.
Nyanyian sunyi
Neonbasu yang juga Ketua Dewan Riset Daerah NTT itu juga berharap ada progres pembicaraan yang serius di tingkat pemerintahan antarnegara (Indonesia dan Australia) agar persoalan yang sudah berjalan sembilan tahun ini menemukan titik terang penyelesaiannya.
Pater Gregor Neonbasu SVD, PhD (ANTARA Foto)
"Bapak Presiden Jokowi mesti membicarakan ini secara serius sebagai bentuk penghormatan harga diri manusia NTT yang hingga saat ini masih menderita akibat pencemaran itu," ujarnya.
Lawatan kepala negara ke Negeri Kanguru itu telah berakhir, namun Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nusa Tenggara Timur mengharapkan kasus pencemaran Laut Timor dapat dibahas oleh Presiden Jokowi bersama Pemerintah Australia secara tuntas dan menyeluruh.
"Kami berharap masalah Montara tidak dilupakan saat Bapak Presiden Jokowi melawat ke Australia, sebab sudah sembilan tahun lamanya, masyarakat termasuk umat muslim yang tinggal di pesisir pulau-pulau di NTT menderita kerugian besar akibat pencemaran tersebut," kata Ketua MUI NTT H Abdul Kadir Makarim.
Dalam pandangan MUI, kasus Montara merupakan malapetaka besar yang menimpa ratusan ribu masyarakat, terutama umat muslim yang umumnya tinggal di pesisir pulau-pulau di NTT.
Sumber mata pencaharian mereka di laut hilang karena laut yang tercemar, sementara mereka berada dalam ketidakpastian akan mendapatkan ganti rugi yang cukup atas kerugian yang dialami.
"Rumput laut, hasil ikan, dan kekayaan laut yang sebelumnya melimpah dan menjadi andalan hidup umat, kini terus merosot dan punah akibat pencemaran minyak itu," katanya.
Rasanya tidak terlalu berlebihan jika MUI NTT meminta Presiden Jokowi untuk merundingkannya dengan Australia dan perusahaan pencemar PTTEP Australasia yang terkesan apatis hingga saat ini.
"Kami menaruh harapan yang besar kepada Bapak Presiden Jokowi, agar kasus pencemaran yang sudah berlangsung sekitar sembilan tahun ini segera menemukan solusinya, agar umat kami di wilayah pesisir segera keluar dari bingkai penderitaan yang panjang," ujarnya.
Pater Gregor Neonbasu melukiskan tragedi Montara itu sebagai sebuah nyanyian sunyi di Laut Timor, karena baik pemerintah daerah NTT maupun pemerintah pusat, praktis tak menganggapnya sebagai sebuah peristiwa kemanusiaan yang maha dahsyat.
Namun, dengan terbentuknya Montara Task Force di bawah kendali Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, kasus Montara diharapkan dapat membawa suatu optimisme bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur yang menjadi korban selama ini.
Konferensi pers usai gugatan "Class Action" di Pengadilan Federal Australia (ANTARA Foto/dok)
Satgas Montara yang dibentuk pada 13 Agustus 2017 itu bertugas memonitor, mencermati, dan berdialog dengan semua pihak untuk menyelesaikan kasus tumpahan minyak di Laut Timor secara menyeluruh dan tuntas.
Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Montara Ferdi Tanoni mengatakan sikap tegas Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dengan membentuk Montara Task Force itu untuk mendorong Australia agar bisa bekerja sama dalam mencari solusi penyelesaian kasus Montara.
Lembaga yang dibentuk ini merupakan representasi dari pemerintah dan rakyat korban Montara di Nusa Tenggara Timur agar kasus pencemaran yang sudah berjalan hampir sembilan tahun lamanya itu segera diselesaikan.
Menteri Luar Negeri Australia Julie Isabel Bishop telah memberikan respons yang positif terhadap permintaan Menko Luhut Pandjaitan, dan memberikan tanggapan positif terhadap permintaan rakyat korban melalui sebuah surat tertanggal 7 Pebruari 2018.
"Pemerintah Australia tidak bisa melakukan partisipasi secara maksimal dalam penyelesaian kasus Montara, karena Pemerintah Indonesia sedang menggugat PTTEP di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," kata Julie Bishop.
Namun, gugatan tersebut sudah dicabut kembali setelah rakyat korban Montara mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mencabutnya sejak 6 Februari 2018.
"Dengan dicabutnya gugatan tersebut, kami mendesak Jakarta segera berkoordinasi dengan Pemda NTT dan rakyat korban untuk menyelesaikan kasus tersebut," kata Tanoni.
Atas dasar itu, Menko Kemaritiman selaku Ketua Montara Task Force dapat bersikap tegas terhadap Menteri LHK untuk mengambi alih seluruh urusan kasus pencemaran Laut Timor agar tidak membingungkan Pemerintah Australia.
Pemerintah Australia saat ini sedang menunggu sikap tegas Menko Luhut Pandjaitan dalam penyelesaian kasus ini agar tidak mengganggu hubungan bilateral kedua negara.
"Kasus tumpahan minyak ini akan segera terselesaikan hanya menunggu sikap tegas dari Menko Kemaritiman untuk memberikan kuasa penuh kepada Montara Task Force untuk melanjutkan langkah-langkah penyelesaiannya," ujar Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Australia itu.
Upaya penyelesaian terhadap pencemaran minyak di Laut Timor ini benar-benar menguras tenaga dan pikiran, karena pemerintah Indonesia terkesan apatis dan membiarkan sekelompok masyarakat di bawah pimpinan Ferdi Tanoni untuk berjuang sendiri hingga saat ini.
Antropolog Budaya dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Pater Gregor Neonbasu SVD, PhD melukiskan kasus pencemaran Laut Timor akibat meledaknya anjungan minyak Montara pada 2009 lalu merupakan sebuah pengkhianatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
"Sudah sembilan tahun dampak meledaknya minyak itu masih menyisahkan penderitaan bagi masyarakat di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur, khususnya para petani rumput laut, nelayan serta masyarakat pesisir," katanya.
Rohaniwan Katolik itu mengatakan kerugian ekonomi sudah pasti ada karena mereka kehilangan sumber mata pencaharian di laut, selain itu banyak pula menderita berbagai penyakit sebagai dampak langsung pencemaran tersebut.
Nyanyian sunyi
Neonbasu yang juga Ketua Dewan Riset Daerah NTT itu juga berharap ada progres pembicaraan yang serius di tingkat pemerintahan antarnegara (Indonesia dan Australia) agar persoalan yang sudah berjalan sembilan tahun ini menemukan titik terang penyelesaiannya.
Lawatan kepala negara ke Negeri Kanguru itu telah berakhir, namun Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nusa Tenggara Timur mengharapkan kasus pencemaran Laut Timor dapat dibahas oleh Presiden Jokowi bersama Pemerintah Australia secara tuntas dan menyeluruh.
"Kami berharap masalah Montara tidak dilupakan saat Bapak Presiden Jokowi melawat ke Australia, sebab sudah sembilan tahun lamanya, masyarakat termasuk umat muslim yang tinggal di pesisir pulau-pulau di NTT menderita kerugian besar akibat pencemaran tersebut," kata Ketua MUI NTT H Abdul Kadir Makarim.
Dalam pandangan MUI, kasus Montara merupakan malapetaka besar yang menimpa ratusan ribu masyarakat, terutama umat muslim yang umumnya tinggal di pesisir pulau-pulau di NTT.
Sumber mata pencaharian mereka di laut hilang karena laut yang tercemar, sementara mereka berada dalam ketidakpastian akan mendapatkan ganti rugi yang cukup atas kerugian yang dialami.
"Rumput laut, hasil ikan, dan kekayaan laut yang sebelumnya melimpah dan menjadi andalan hidup umat, kini terus merosot dan punah akibat pencemaran minyak itu," katanya.
Rasanya tidak terlalu berlebihan jika MUI NTT meminta Presiden Jokowi untuk merundingkannya dengan Australia dan perusahaan pencemar PTTEP Australasia yang terkesan apatis hingga saat ini.
"Kami menaruh harapan yang besar kepada Bapak Presiden Jokowi, agar kasus pencemaran yang sudah berlangsung sekitar sembilan tahun ini segera menemukan solusinya, agar umat kami di wilayah pesisir segera keluar dari bingkai penderitaan yang panjang," ujarnya.
Pater Gregor Neonbasu melukiskan tragedi Montara itu sebagai sebuah nyanyian sunyi di Laut Timor, karena baik pemerintah daerah NTT maupun pemerintah pusat, praktis tak menganggapnya sebagai sebuah peristiwa kemanusiaan yang maha dahsyat.
Namun, dengan terbentuknya Montara Task Force di bawah kendali Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, kasus Montara diharapkan dapat membawa suatu optimisme bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur yang menjadi korban selama ini.