Kupang (AntaraNews NTT) - Hari Jumat Agung bagi umat Kristen sedunia, adalah sebuah hari yang penuh dengan permenungan, dimana semua umat berkabung dalam sepi meratapi kisah sengsara Yesus dalam perjalananNya menuju Golgota sampai wafat di atas kayu salib.
Bagi orang Kristen, salib adalah sebuah penebusan, dan mungkin juga tantangan hidup bagi mereka yang percaya kepadaNya. Hanya ketika orang Kristen menerima salib itu, Yesus akan mengubahnya menjadi sebuah penebusan, bagai sebuah firdaus yang membahagiakan.
Hukuman salib yang harus ditanggung Yesus dan kematian-Nya merupakan puncak gerakan antikekerasan yang dilancarkan Yesus demi membela rakyat yang ditindas penguasa agama yang berkonspirasi dengan penguasa politik pada saat itu.
Salib adalah risiko tertinggi yang harus ditanggung Yesus dalam kesetiaan dan konsistensi-Nya membela rakyat yang dipinggirkan, diperlakukan tidak adil, dan diperas oleh tangan-tangan kotor penguasa agama dan politik zaman itu.
Salib adalah konsekuensi logis sikap Yesus dalam kerelaan memberikan pipi kiri kepada sang penampar yang telah menghajar pipi kanan dalam rimba kebuasan manusia. Itulah bentuk perlawanan radikal yang memutus siklus kekerasan dan balas dendam dengan cara membawa perdamaian.
Ada harapan yang cerah oleh iman keparcayaan kepada Yesus, sehingga Jumat Agung yang dirayakan umat Kristen sedunia pada hari ini (Jumat, 30/3) harus diartikan sebagai semangat untuk membangkitkan dan membangun interaksi dan kebersamaan antarmanusia.
Baca juga: Umat Katolik Lakukan Jalan Salib
. Tokoh anti apartheid dari Afrika Selatan Nelson Mandela saat hendak berciuman dengan Megawati Soekarnoputri. (ANTARA Foto/dok)
Kesejatian hidup adalah hidup yang sejahtera, bukan saja dalam arti material, melainkan juga dalam arti mampu mengungkapkan dirinya sebagai citra Allah dalam membangun relasi dengan Allah, sesama manusia, serta ciptaan lain dan seluruh alam semesta.
Hidup yang semacam itulah yang hendak dicapai, namun harus diperjuangkan dengan susah payah karena masih banyak warga masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan serta masih banyak orang yang terhalang untuk menyejahterakan hidup mereka.
Pdt Midian KH Sirait, MTh dalam sebuah refleksinya melukiskan bahwa hal yang mengampuni merupakan ciri khas kekristenan, sehingga siapapun yang pernah menyakiti, mengecewakan, dan menghianati, hendaknya diampuni karena pengampunan itu lahir dari hati yang dekat kepada Tuhan yang mengerti akan kehendak-Nya.
Hal ini nampak dalam diri Nelson Mandela, pahlawan anti-apartheid dari Afrika Selatan yang pernah diangkat sepenggal kisahnya oleh Hollywood ke layar lebar lewat film Invictus (2009). Tokoh Mandela sendiri diperankan oleh seorang aktor gaek, Morgan Freeman.
Semua masyarakat dunia tahu dan mengenalnya sebagai tokoh perjuangan pembebasan manusia kulit hitam di Afrika Selatan. Mandela memang pejuang kemerdekaan rakyat kulit hitam yang tangguh.
Ia pernah ditangkap polisi penguasa kulit putih berkali-kali, dan terakhir Mandela dijebloskan ke dalam penjara seumur hidup bersama beberapa kawannya di Pulau Robben yang sangat terpencil.
Baca juga: Menteri ESDM ikut prosesi Jumat Agung Larantuka
. Yesus wafat di kayu salib (ANTARA Foto/dok)
Tetapi perjuangan anti-apartheid yang diinspirasikannya tak berhenti di situ. Perjuangan untuk merebut kedudukan warga negara yang merdeka dan terhormat di Tanah Air mereka sendiri telah menyebar.
Seluruh rakyat kulit hitam di Afrika Selatan bersatu menentang kebijakan politik menistakan martabat kemanusiaan itu. Perlahan perjuangan ini memperoleh dukungan dari dunia internasional.
Akhirnya, pada tanggal 11 Februari 1990, setelah 27 tahun hidup di penjara, Mandela dibebaskan. Pembebasan Mandela seiring dengan tekanan rakyat kulit hitam Afrika Selatan dan dunia internasional yang menuntut politik apartheid segera diakhiri.
Kini, politik apartheid sudah dihapuskan dari bumi Afrika Selatan. Tetapi, kisah perjuangan Mandela selalu menjadi pelajaran bagi setiap orang di muka Bumi.
Visinya tentang demokrasi yang ideal dan masyarakat yang bebas masih tetap relevan sepanjang zaman. Karena hanya dengan cara itulah setiap orang dapat hidup bersama secara harmonis dan dengan perlakuan yang setara.
Rela berkorban
Kisah Nelson Mandela yang sangat inspiratif itu, seakan membuat pertanyaan tersendiri, apakah ada pemimpin di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah yang rela berkorban seperti Mandela?
Beberapa tahun kemudian ketika McKinley menduduki jabatan sebagai Presiden Amerika Serikat yang ke-25, seorang merekomendasikan anggota Kongres yang tidak rela berkorban agar diangkat menjadi Dubes di salah satu negara. Tanpa pikir panjang, McKinley menolak rekomendasi tersebut.
McKinley berpikir kalau ia mengangkat pria tersebut menjadi Dubes yang mewakili negaranya, maka itu berarti dia telah mempekerjakan seorang wakil negara yang tidak memiliki kepedulian dan sikap rela berkorban. Padahal, kepedulian dan sikap rela berkorban seharusnya dimiliki oleh seorang Dubes.
Seorang yang mau diangkat menjadi pemimpin seharusnya melatih dirinya untuk berkorban dan mengesampingkan kepentingan dirinya sendiri, karena yang tersimpan di hati seorang pemimpin sejati adalah pengorbanan yang diberikannya secara tulus sehingga pasti akan memberi makna bagi hidup orang-orang yang dipimpinnya.
Semakin tinggi posisi yang dimiliki oleh seorang pemimpin maka dituntut untuk memberi pengorbanan yang semakin besar pula, seperti berkorban akan materi, waktu, mengesampingkan kepentingan pribadi, dan keluarga.
Coretta Scott King, isteri pejuang hak azasi manusia Marthin Luther King Jr kemudian memberikan gambaran tentang pengorbanan seorang pemimpin besar.
Baca juga: SAR kerahkan 25 personel kawal Prosesi Laut
. Yesus dalam kisah jalan salib di Kota Yerusalem (Dok)
"Siang malam telepon kami berdering untuk melayani rakyat dengan penuh cacian dan kata-kata kasar yang menjurus pada tindakan pembunuhan, namun hal itu membuat saya malah bersuka cita dan terinspirasi," ujarnya
Coretta mau mengatakan bahwa "Ketika Anda menjadi seorang pemimpin, Anda kehilangan hak untuk memikirkan diri Anda sendiri.? Tanpa pengorbanan maka seseorang tidak bisa disebut sebagai pemimpin yang baik, karena pengorbanan adalah suatu yang konstan dalam kepemimpinan.
Pengorbanan menjadi ciri yang melengkapi kepemimpinan. Pemimpin yang berkorban, selain tergerak oleh visi dan misinya, mereka juga adalah orang-orang memiliki empati dan berorientasi melayani orang lain lebih besar. Dan, rasa pelayanan itu adalah unsur utama dalam proses kepemimpinan.
Tampaknya, kualitas kepemimpinan semacam ini sangat langka dijumpai di negeri ini, karena lebih banyak meributkan hal yang remeh-temeh daripada hal yang mendasar dan strategis menyangkut nasib rakyat kebanyakan dan keberlangsungan bangsa dalam jangka panjang.
Dan, Jumat Agung telah menginspirasi makna pengorbanan tersebut, yang diharapkan dapat menginspirasi pulapara pemimpin di negeri ini untuk rela berkorban demi mewujudkan mimpi rakyatnya dalam menggapai gerbang sejahtera yang berkeadilan.
Baca juga: 240 personel Polri amankan prosesi Jumat Agung
. Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela (kiri) saat bertemu dengan Presiden Soeharto (kanan) di Cape Town, Afrika Selatan untuk membahas isu Timor Timur (saat itu) pada 20 November 1997. (AP Photo/Sasa Kralj)
Bagi orang Kristen, salib adalah sebuah penebusan, dan mungkin juga tantangan hidup bagi mereka yang percaya kepadaNya. Hanya ketika orang Kristen menerima salib itu, Yesus akan mengubahnya menjadi sebuah penebusan, bagai sebuah firdaus yang membahagiakan.
Hukuman salib yang harus ditanggung Yesus dan kematian-Nya merupakan puncak gerakan antikekerasan yang dilancarkan Yesus demi membela rakyat yang ditindas penguasa agama yang berkonspirasi dengan penguasa politik pada saat itu.
Salib adalah risiko tertinggi yang harus ditanggung Yesus dalam kesetiaan dan konsistensi-Nya membela rakyat yang dipinggirkan, diperlakukan tidak adil, dan diperas oleh tangan-tangan kotor penguasa agama dan politik zaman itu.
Salib adalah konsekuensi logis sikap Yesus dalam kerelaan memberikan pipi kiri kepada sang penampar yang telah menghajar pipi kanan dalam rimba kebuasan manusia. Itulah bentuk perlawanan radikal yang memutus siklus kekerasan dan balas dendam dengan cara membawa perdamaian.
Ada harapan yang cerah oleh iman keparcayaan kepada Yesus, sehingga Jumat Agung yang dirayakan umat Kristen sedunia pada hari ini (Jumat, 30/3) harus diartikan sebagai semangat untuk membangkitkan dan membangun interaksi dan kebersamaan antarmanusia.
Baca juga: Umat Katolik Lakukan Jalan Salib
Hidup yang semacam itulah yang hendak dicapai, namun harus diperjuangkan dengan susah payah karena masih banyak warga masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan serta masih banyak orang yang terhalang untuk menyejahterakan hidup mereka.
Pdt Midian KH Sirait, MTh dalam sebuah refleksinya melukiskan bahwa hal yang mengampuni merupakan ciri khas kekristenan, sehingga siapapun yang pernah menyakiti, mengecewakan, dan menghianati, hendaknya diampuni karena pengampunan itu lahir dari hati yang dekat kepada Tuhan yang mengerti akan kehendak-Nya.
Hal ini nampak dalam diri Nelson Mandela, pahlawan anti-apartheid dari Afrika Selatan yang pernah diangkat sepenggal kisahnya oleh Hollywood ke layar lebar lewat film Invictus (2009). Tokoh Mandela sendiri diperankan oleh seorang aktor gaek, Morgan Freeman.
Semua masyarakat dunia tahu dan mengenalnya sebagai tokoh perjuangan pembebasan manusia kulit hitam di Afrika Selatan. Mandela memang pejuang kemerdekaan rakyat kulit hitam yang tangguh.
Ia pernah ditangkap polisi penguasa kulit putih berkali-kali, dan terakhir Mandela dijebloskan ke dalam penjara seumur hidup bersama beberapa kawannya di Pulau Robben yang sangat terpencil.
Baca juga: Menteri ESDM ikut prosesi Jumat Agung Larantuka
Tetapi perjuangan anti-apartheid yang diinspirasikannya tak berhenti di situ. Perjuangan untuk merebut kedudukan warga negara yang merdeka dan terhormat di Tanah Air mereka sendiri telah menyebar.
Seluruh rakyat kulit hitam di Afrika Selatan bersatu menentang kebijakan politik menistakan martabat kemanusiaan itu. Perlahan perjuangan ini memperoleh dukungan dari dunia internasional.
Akhirnya, pada tanggal 11 Februari 1990, setelah 27 tahun hidup di penjara, Mandela dibebaskan. Pembebasan Mandela seiring dengan tekanan rakyat kulit hitam Afrika Selatan dan dunia internasional yang menuntut politik apartheid segera diakhiri.
Kini, politik apartheid sudah dihapuskan dari bumi Afrika Selatan. Tetapi, kisah perjuangan Mandela selalu menjadi pelajaran bagi setiap orang di muka Bumi.
Visinya tentang demokrasi yang ideal dan masyarakat yang bebas masih tetap relevan sepanjang zaman. Karena hanya dengan cara itulah setiap orang dapat hidup bersama secara harmonis dan dengan perlakuan yang setara.
Rela berkorban
Kisah Nelson Mandela yang sangat inspiratif itu, seakan membuat pertanyaan tersendiri, apakah ada pemimpin di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah yang rela berkorban seperti Mandela?
Beberapa tahun kemudian ketika McKinley menduduki jabatan sebagai Presiden Amerika Serikat yang ke-25, seorang merekomendasikan anggota Kongres yang tidak rela berkorban agar diangkat menjadi Dubes di salah satu negara. Tanpa pikir panjang, McKinley menolak rekomendasi tersebut.
McKinley berpikir kalau ia mengangkat pria tersebut menjadi Dubes yang mewakili negaranya, maka itu berarti dia telah mempekerjakan seorang wakil negara yang tidak memiliki kepedulian dan sikap rela berkorban. Padahal, kepedulian dan sikap rela berkorban seharusnya dimiliki oleh seorang Dubes.
Seorang yang mau diangkat menjadi pemimpin seharusnya melatih dirinya untuk berkorban dan mengesampingkan kepentingan dirinya sendiri, karena yang tersimpan di hati seorang pemimpin sejati adalah pengorbanan yang diberikannya secara tulus sehingga pasti akan memberi makna bagi hidup orang-orang yang dipimpinnya.
Semakin tinggi posisi yang dimiliki oleh seorang pemimpin maka dituntut untuk memberi pengorbanan yang semakin besar pula, seperti berkorban akan materi, waktu, mengesampingkan kepentingan pribadi, dan keluarga.
Coretta Scott King, isteri pejuang hak azasi manusia Marthin Luther King Jr kemudian memberikan gambaran tentang pengorbanan seorang pemimpin besar.
Baca juga: SAR kerahkan 25 personel kawal Prosesi Laut
Coretta mau mengatakan bahwa "Ketika Anda menjadi seorang pemimpin, Anda kehilangan hak untuk memikirkan diri Anda sendiri.? Tanpa pengorbanan maka seseorang tidak bisa disebut sebagai pemimpin yang baik, karena pengorbanan adalah suatu yang konstan dalam kepemimpinan.
Pengorbanan menjadi ciri yang melengkapi kepemimpinan. Pemimpin yang berkorban, selain tergerak oleh visi dan misinya, mereka juga adalah orang-orang memiliki empati dan berorientasi melayani orang lain lebih besar. Dan, rasa pelayanan itu adalah unsur utama dalam proses kepemimpinan.
Tampaknya, kualitas kepemimpinan semacam ini sangat langka dijumpai di negeri ini, karena lebih banyak meributkan hal yang remeh-temeh daripada hal yang mendasar dan strategis menyangkut nasib rakyat kebanyakan dan keberlangsungan bangsa dalam jangka panjang.
Dan, Jumat Agung telah menginspirasi makna pengorbanan tersebut, yang diharapkan dapat menginspirasi pulapara pemimpin di negeri ini untuk rela berkorban demi mewujudkan mimpi rakyatnya dalam menggapai gerbang sejahtera yang berkeadilan.
Baca juga: 240 personel Polri amankan prosesi Jumat Agung