Nemberala, Rote Ndao (AntaraNews NTT) - Para petani rumput laut di Desa Nemberala, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur mengeluh karena harga rumput laut kering turun menjadi Rp15.000/kg dari sebelumnya Rp20.000/kg.
Renny Ndun (38), salah seorang petani rumput laut yang ditemui di pesisir pantai Nemberala, Minggu (29/4), mengatakan turunya harga komoditi "emas hijau" tersebut terjadi sejak pertengahan Maret 2018.
"Kami tidak tahu mengapa harganya turun, padahal sebelumnya masih berada pada level Rp20.000/kg," katanya.
Ia mengatakan jika harga rumput laut itu terus berada pada harga Rp15.000/kg, tentu para petani rumput laut sangat merugi karena mereka hanya menggantungkan nasib pada harga komoditi "emas hijau" itu.
Sementara Renny, salah seorang petani rumput laut lainnya, mengatakan budidaya rumput laut di Desa Nemberala sangat menguntungkan, sehingga dari hasil jual komoditas tersebut, dirinya bisa menguliahkan anaknya di Kupang.
Oleh karena itu, ia mengharapkan pemerintah segera membantu para petani dengan membeli rumput laut tersebut, agar tidak tertipu dengan para tengkulak.
Baca juga: NTT kembangkan dua kultur jaringan rumput laut
Jaringan rumput laut
Sementara itu, Adriana Balo (40), petani rumput laut lainnya, yang sudah membudidayakan komoditas "emas hijau" itu sejak era 1990-an menduga turunya harga komoditas tersebut karena serangan hama pada Januari 2018.
"Sejak Januari lalu memang area budidaya rumput laut di sini terserang hama, sehingga berdampak pada hasil panen dan kualitas komoditas tersebut," katanya.
Biasanya, dalam sehari ada sekitar 30-50 kilogram rumput laut dipanen dengan harga jual Rp20.000/kg. Tetapi, setelah kena hama, harganya pun turun hingga ke level Rp15.000/kg.
Adrianus Balo mengaku pada era 1990-an panenan rumput laut di Pulau Rote, gerbang terselatan Indonesia, sangat melimpah, bahkan dalam tempo sebulan para petani bisa meraup keuntungan sampai puluhan juta rupiah.
Namun, setelah wilayah budidaya rumput laut terkena tumpahan minyak mentah (crude oil) akibat meledaknya anjungan minyak Montara di Laut Timor pada Agustus 2009, usaha rumput laut mulai mengalami kemandegan.
Baca juga: Penggunaan botol plastik dilarang untuk budidaya rumput laut
Budidaya rumput laut dengan botol plastik
"Luas areal tanam juga terus berkurang, dan hasilnya pun ikut menurur. Selain itu, lokasi budidaya rumput laut menjadi sangat mudah terserang hama," katanya.
Oleh karena itu, ia juga mengharapkan bantuan pemerintah setempat untuk mencari jalan dalam membantu para petani rumput laut yang hanya mengandalkan hidupnya dari komoditi "emas hijau" tersebut.
Renny Ndun (38), salah seorang petani rumput laut yang ditemui di pesisir pantai Nemberala, Minggu (29/4), mengatakan turunya harga komoditi "emas hijau" tersebut terjadi sejak pertengahan Maret 2018.
"Kami tidak tahu mengapa harganya turun, padahal sebelumnya masih berada pada level Rp20.000/kg," katanya.
Ia mengatakan jika harga rumput laut itu terus berada pada harga Rp15.000/kg, tentu para petani rumput laut sangat merugi karena mereka hanya menggantungkan nasib pada harga komoditi "emas hijau" itu.
Sementara Renny, salah seorang petani rumput laut lainnya, mengatakan budidaya rumput laut di Desa Nemberala sangat menguntungkan, sehingga dari hasil jual komoditas tersebut, dirinya bisa menguliahkan anaknya di Kupang.
Oleh karena itu, ia mengharapkan pemerintah segera membantu para petani dengan membeli rumput laut tersebut, agar tidak tertipu dengan para tengkulak.
Baca juga: NTT kembangkan dua kultur jaringan rumput laut
"Sejak Januari lalu memang area budidaya rumput laut di sini terserang hama, sehingga berdampak pada hasil panen dan kualitas komoditas tersebut," katanya.
Biasanya, dalam sehari ada sekitar 30-50 kilogram rumput laut dipanen dengan harga jual Rp20.000/kg. Tetapi, setelah kena hama, harganya pun turun hingga ke level Rp15.000/kg.
Adrianus Balo mengaku pada era 1990-an panenan rumput laut di Pulau Rote, gerbang terselatan Indonesia, sangat melimpah, bahkan dalam tempo sebulan para petani bisa meraup keuntungan sampai puluhan juta rupiah.
Namun, setelah wilayah budidaya rumput laut terkena tumpahan minyak mentah (crude oil) akibat meledaknya anjungan minyak Montara di Laut Timor pada Agustus 2009, usaha rumput laut mulai mengalami kemandegan.
Baca juga: Penggunaan botol plastik dilarang untuk budidaya rumput laut
Oleh karena itu, ia juga mengharapkan bantuan pemerintah setempat untuk mencari jalan dalam membantu para petani rumput laut yang hanya mengandalkan hidupnya dari komoditi "emas hijau" tersebut.