Jakarta (ANTARA) - Para First Responder dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT), berlatih teknik penanganan mamalia laut terdampar guna meningkatkan harapan hidup satwa laut yang sering terdampar di sana.
Kepala Kantor Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan NTT Wilayah Kabupaten Alor Muhammad Saleh Goro dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis, (18/11) mengatakan pelatihan itu dapat meningkatkan survival rate atau harapan hidup bagi mamalia laut yang terdampar.
“Harapannya, jika ditemukan kasus terdampar, First Responder dapat ke lokasi secepat mungkin untuk melakukan penilaian kondisi dan melakukan koordinasi dengan jejaring penanganan kejadian mamalia laut terdampar untuk mengurangi risiko kematian," ujar dia.
Lebih lanjut, Saleh menyampaikan saat ini sedang dilakukan review dokumen Rencana Pengelolaan dan Zonasi (RPZ). Melihat potensi yang ada, cetacea atau mamalia laut akan diusulkan sebagai salah satu target konservasi yang akan dikelola di dalam kawasan.
Dalam lima tahun terakhir, dari 2017 sampai September 2021, tercatat 29 kali kasus kejadian mamalia laut terdampar di perairan NTT, baik dalam jumlah tunggal maupun massal, hidup atau mati. Ada tiga kasus terdampar, di antaranya terjadi di perairan Alor, tepatnya seekor paus sperma di Pantai Deere tahun 2018, dua ekor lumba-lumba di Desa Fenating tahun 2019, dan di Kolana Utara tahun 2020.
Itu bukan jumlah yang sedikit untuk kasus dalam sebuah kawasan kepulauan. Untuk itu, diperlukan perhatian serius terutama menyiapkan sumber daya manusia yang terlatih dalam penanganan mamalia laut terdampar.
“Sejak tahun 2013 hingga sekarang, setidaknya terdapat 1.200 orang di berbagai wilayah Indonesia yang telah berkompeten sebagai tenaga 'First Responder',” kata salah satu dokter hewan yang menjadi penyuluh dalam kegiatan pelatihan tersebut Drh. Dwi Suprapti, M.Si.
Menurut dia, pelatihan itu penting dilakukan bagi tenaga First Responder karena penanganan yang tidak tepat dapat membahayakan satwa, maupun diri mereka sendiri.
Materi pelatihan berfokus pada pengenalan kejadian mamalia laut terdampar, teknik penanganan, identifikasi jenis mamalia laut, regulasi konservasi mamalia laut, hingga pemaparan aspek medis dan rekomendasi pemusnahan dan diakhiri dengan materi teknik penanganan kasus terjaring tidak sengaja atau bycatch.
Pelatihan yang dilakukan bersama Yayasan WWF Indonesia itu juga fokus pada praktik pengumpulan data dan pengambilan dokumentasi, morfometri hingga simulasi dari kejadian terdampar (kondisi mati, hidup, terperangkap jaring).
Baca juga: Seeokor mamalia laut jenis dugong terdampar di Sabu Raijua
Baca juga: 11 paus pilot terdampar di perairan Sabu Raijua
Kepala Kantor Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan NTT Wilayah Kabupaten Alor Muhammad Saleh Goro dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis, (18/11) mengatakan pelatihan itu dapat meningkatkan survival rate atau harapan hidup bagi mamalia laut yang terdampar.
“Harapannya, jika ditemukan kasus terdampar, First Responder dapat ke lokasi secepat mungkin untuk melakukan penilaian kondisi dan melakukan koordinasi dengan jejaring penanganan kejadian mamalia laut terdampar untuk mengurangi risiko kematian," ujar dia.
Lebih lanjut, Saleh menyampaikan saat ini sedang dilakukan review dokumen Rencana Pengelolaan dan Zonasi (RPZ). Melihat potensi yang ada, cetacea atau mamalia laut akan diusulkan sebagai salah satu target konservasi yang akan dikelola di dalam kawasan.
Dalam lima tahun terakhir, dari 2017 sampai September 2021, tercatat 29 kali kasus kejadian mamalia laut terdampar di perairan NTT, baik dalam jumlah tunggal maupun massal, hidup atau mati. Ada tiga kasus terdampar, di antaranya terjadi di perairan Alor, tepatnya seekor paus sperma di Pantai Deere tahun 2018, dua ekor lumba-lumba di Desa Fenating tahun 2019, dan di Kolana Utara tahun 2020.
Itu bukan jumlah yang sedikit untuk kasus dalam sebuah kawasan kepulauan. Untuk itu, diperlukan perhatian serius terutama menyiapkan sumber daya manusia yang terlatih dalam penanganan mamalia laut terdampar.
“Sejak tahun 2013 hingga sekarang, setidaknya terdapat 1.200 orang di berbagai wilayah Indonesia yang telah berkompeten sebagai tenaga 'First Responder',” kata salah satu dokter hewan yang menjadi penyuluh dalam kegiatan pelatihan tersebut Drh. Dwi Suprapti, M.Si.
Menurut dia, pelatihan itu penting dilakukan bagi tenaga First Responder karena penanganan yang tidak tepat dapat membahayakan satwa, maupun diri mereka sendiri.
Materi pelatihan berfokus pada pengenalan kejadian mamalia laut terdampar, teknik penanganan, identifikasi jenis mamalia laut, regulasi konservasi mamalia laut, hingga pemaparan aspek medis dan rekomendasi pemusnahan dan diakhiri dengan materi teknik penanganan kasus terjaring tidak sengaja atau bycatch.
Pelatihan yang dilakukan bersama Yayasan WWF Indonesia itu juga fokus pada praktik pengumpulan data dan pengambilan dokumentasi, morfometri hingga simulasi dari kejadian terdampar (kondisi mati, hidup, terperangkap jaring).
Baca juga: Seeokor mamalia laut jenis dugong terdampar di Sabu Raijua
Baca juga: 11 paus pilot terdampar di perairan Sabu Raijua