Sumba, NTT, AntaraNews NTT - "Cokelat bisa dikonsumsi hampir oleh semua orang, dari anak-anak sampai lansia, itu salah satu alasan saya memilih membudidayakan tanaman kakao yang menjadi bahan utama pembuatan cokelat," tutur Aloysius Rangga Jakadana (75), petani Sumba Barat Daya.
Pensiunan guru yang mulai menanam kakao sejak tahun 2003 di Desa Mangganipi, Kecamatan Kodi Utara, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur itu, menanam 500 pohon kakao di pekarangannya.
Kini, ia sudah menikmati hasilnya untuk menambah pendapatan keluarga, bahkan bisa membantu biaya pendidikan bagi cucu-cucunya yang berjumlah 20 orang.
"Tadi saya petik delapan butir buah kakao dari pohon ini," ujarnya bangga sambil menunjuk sebatang pohon kakao rindang yang terletak di depan rumah yang menghadap ke jalan raya Kodi, sambil duduk di bangku bambu yang ditempatkan di bawah pohon tersebut.
Di belakangnya tampak ribuan kantong "polly bag" berisi anakan kakao yang siap diambil oleh pemesan, yaitu dua kelompok tani dari dua desa di sekitarnya, masing-masing memesan 2.000 dan 3.000 bibit.
Meskipun mengaku kegiatan membudidayakan kakao dilakukannya untuk perintang waktu, pria yang akrab disapa dengan Alo itu harus bekerja keras untuk merawat pohon dan menyiapkan bibit tanaman tersebut.
Tidak semua anakan yang dipetiknya dari pohon induk bisa tumbuh subur dan siap ditanam, karena beberapa di antaranya akan mati, sehingga dia harus menggantinya sampai tanaman baru itu siap untuk dijual.
"Untung banyak anakan dari pohon-pohon saya sehingga tinggal ambil dan menyiapkannya di kantong serta merawatnya sekitar 2-3 bulan untuk sampai siap dipindahkan ke lahan," kata Ketua Kelompok Belajar Kakao di Kodi Utara itu.
Harga jual bibit kakao yang tergolong unggul itu adalah Rp10.000 per kantong, sedangkan biji kakao dengan pengeringan alami biasa dibeli dengan harga Rp25.000 per kilogram.
Jika pemesannya akan mengambil, Alo mengatakan akan membeli satu tanki air dan mencelupkan kantong-kantong itu untuk melembapkannya agar siap ditanam.
Baginya bukan sekedar menjual dan memetik keuntungan, melainkan rasa cinta pada tanamanlah yang membuatnya bersedia repot-repot untuk mengurus bibit kakao agar pemesan dapat langsung menanamnya.
Alo sudah mulai melakukan fermentasi terhadap biji kakao sebelum dikeringkan dan dijual. Sedikit upaya pengelolaan pascapanen itu mampu meningkatkan kualitas panen dan memberikan keuntungan baginya karena selain harganya tinggi, bobot kakao fermentasi lebih tinggi dibandingkan dengan biji kakao yang dikeringkan secara alami.
Sejak mengetahui keunggulan pohon kakao yang mampu berbuah tanpa mengenal musim, Alo mengurangi pohon jambu mete yang dahulu banyak di lahannya.
"Kakao seperti kelapa, tidak kenal musim dan terus menerus berbuah apalagi bila perawatannya bagus," tutur pria yang memiliki tujuh anak itu.
Selain Alo, di Mangganipi juga ada pria lain yang mulai mengolah lahannya dengan budi daya kakao, juga setelah purnatugas sebagai seorang pegawai negeri.
Bimbingan
Paulus Ramone baru memulai menanam kakao di lahan di samping rumahnya dengan luas kurang dari satu hektare pada tahun 2013, di bawah bimbingan Yayasan Pengembangan Kemanusiaan Donders.
Kebunnya yang terlihat dirawat dengan baik, mampu menghasilkan buah-buah unggul yang dapat dijual dengan harga Rp25.000 per kilogram biji kering.
"Saya tidak menghitung berapa kilo hasil panen rata-rata tiap tahun atau tiap bulan. Namun sekali menjual rata-rata antara 3-5 kg," ujarnya.
Kebun ini dirawat dengan baik dan menghasilkan buah unggul, tutur Pater Rivan Narang, CS.s.R, dari YPK Donders sebagai pendamping petani kakao.
Pohon-pohon ditanam rapi dan setiap celah dari empat pohon disediakan tanah galian untuk menampung air dan daun-daun kering yang menjadi sumber makanan bagi pohon-pohon tersebut.
Kakao dikenal sebagai tanaman yang setia, yaitu akan berbunga pada tempat yang sama, sehingga untuk memanen buahnya harus hati-hati dan menggunakan gunting serta menyisakan sebagian tangkai yang menempel di batang.
Rivan Narang,CS.sR pendamping petani kakao di Sumba Barat Daya sedang merawat tanaman kakao (Foto ANTARA/Maria D Adriana)
Rivan Narang memperagakan teknik memanen buah atau membuang buah-buah yang rusak kering dan busuk, agar di tempat yang sama akan tumbuh bakal bunga dan buah yang baru.
Beberapa buah terlihat dipenuhi semut, hewan predator yang membantu mengusir ulat-ulat dari buah kakao.
"Semakin banyak semutnya akan semakin baik agar ulat tidak bersarang di buah dan pohon," katanya.
Pohon kakao juga memerlukan perawatan yaitu pemangkasan dahan-dahan yang tidak diperlukan, misalnya dahan yang merupakan tiang air, karena dahan tersebut tumbuh subur menyerap banyak air dan nutrisi lain sehingga membuat pohon malas berbuah.
Dahan lain yang harus dipangkas adalah bila tumpang tindih atau berbalik mengarah ke batang utama pohon.
Perawatan yang baik akan membuat pohon tidak berhenti berbunga serta menghasilkan buah-buah yang bagus, yaitu yang bisa menghasilkan antara 40-50 biji kakao dalam satu butir buah.
YPK Donders melakukan pembinaan antara lain dengan membagikan bibit tanaman, bimbingan, dan penyuluhan hingga pascapanen.
Lahan di Sumba Barat Daya cocok untuk tanaman kakao kecuali di beberapa tempat yang sangat kering, karena tanaman muda memerlukan banyak air saat awal pertumbuhan.
Willem Wora Pandak, mantan kepala desa di Kampung Kenggor, Desa Onggol, Kecamatan Kodi, salah seorang petani yang menanam seribu bibit kakao pemberian pemerintah pada 2004-2005.
"Hanya 340 pohon yang hidup dan sudah menghasilkan buah dan sekarang mulai menanam lagi dengan teknik sambung (okulasi) hasil bimbingan dari YPK Donders," ujar dia.
Pada saat Willem menjadi kepala desa, pemerintah menyediakan bibir kakao namun saat itu belum banyak yang tertarik menanam.
Sekarang, ketika hasil panen kakao dipandang menguntungkan, mulai banyak petani yang melirik tanaman tersebut sehingga dia pun mengajak anak dan tetangga untuk menanamnya.
Dia membagikan 240 bibit secara gratis pada tetangga dan anaknya untuk mulai membudidayakan kakao.
"Hasilnya lumayan, seperti kemarin saya menjual enam kilo biji kakao ke Waitabula karena ada keperluan untuk anak sekolah.," ujar pria dengan tujuh anak itu.
Seorang pedagang memegang kakaop yang sudah dijemur (Foto ANTARA)
Dua dari anaknya saat ini bersekolah di Jawa, seorang belajar di akademi keperawatan di Jakarta, dan seorang lainnya di Malang, Jawa Timur belajar akutansi.
Kampung Onggol termasuk daerah yang mengamali kesulitan air, sehingga untuk awal menanam kakao dia membeli air yang dikirim dengan truk tanki, untuk menyirami tanaman setiap pagi dan sore, dan dilakukannya selama satu tahun penuh.
Pada saat tanaman sudah cukup kuat, penyiraman bisa dikurangi dan setelah dua-tiga tahun penyiraman tidak dilakukan secara khusus dan mengandalkan air hujan saja.
"Banyak petani kurang sabar pada tiga tahun pertama, padahal setelah itu tanaman kakao akan berbuah terus menerus, hanya perlu memangkas dahan dan mengusir hama ulat, jamur dengan cara-cara ramah lingkungan misalnya dengan air sabun," kata Rivan Narang.
Biji cokelat yang dihasilkan di Sumba Barat Daya selama ini dibeli dan ditampung oleh pedagang di Waitabula dengan harga Rp18.000- Rp30.000 per kilogram, sedangkan YPK Donders dengan kemitraan pernah membeli biji unggul yang difermentasi dengan harga Rp50.000 per kilogram.
Banyak petani Sumba yang mulai tertarik dan jatuh hati pada kakao, perlahan-lahan mengurangi jenis tanaman lain, seperti jambu mete, pinang, dan nangka di halaman mereka dan menanam kakao lebih banyak lagi.
"Siapa yang tidak suka cokelat, ibaratnya anak umur nol tahun sampai nenek-nenek suka cokelat, maka saya ingin menanam lebih banyak cokelat," kata Alo.
Pensiunan guru yang mulai menanam kakao sejak tahun 2003 di Desa Mangganipi, Kecamatan Kodi Utara, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur itu, menanam 500 pohon kakao di pekarangannya.
Kini, ia sudah menikmati hasilnya untuk menambah pendapatan keluarga, bahkan bisa membantu biaya pendidikan bagi cucu-cucunya yang berjumlah 20 orang.
"Tadi saya petik delapan butir buah kakao dari pohon ini," ujarnya bangga sambil menunjuk sebatang pohon kakao rindang yang terletak di depan rumah yang menghadap ke jalan raya Kodi, sambil duduk di bangku bambu yang ditempatkan di bawah pohon tersebut.
Di belakangnya tampak ribuan kantong "polly bag" berisi anakan kakao yang siap diambil oleh pemesan, yaitu dua kelompok tani dari dua desa di sekitarnya, masing-masing memesan 2.000 dan 3.000 bibit.
Meskipun mengaku kegiatan membudidayakan kakao dilakukannya untuk perintang waktu, pria yang akrab disapa dengan Alo itu harus bekerja keras untuk merawat pohon dan menyiapkan bibit tanaman tersebut.
Tidak semua anakan yang dipetiknya dari pohon induk bisa tumbuh subur dan siap ditanam, karena beberapa di antaranya akan mati, sehingga dia harus menggantinya sampai tanaman baru itu siap untuk dijual.
"Untung banyak anakan dari pohon-pohon saya sehingga tinggal ambil dan menyiapkannya di kantong serta merawatnya sekitar 2-3 bulan untuk sampai siap dipindahkan ke lahan," kata Ketua Kelompok Belajar Kakao di Kodi Utara itu.
Harga jual bibit kakao yang tergolong unggul itu adalah Rp10.000 per kantong, sedangkan biji kakao dengan pengeringan alami biasa dibeli dengan harga Rp25.000 per kilogram.
Jika pemesannya akan mengambil, Alo mengatakan akan membeli satu tanki air dan mencelupkan kantong-kantong itu untuk melembapkannya agar siap ditanam.
Baginya bukan sekedar menjual dan memetik keuntungan, melainkan rasa cinta pada tanamanlah yang membuatnya bersedia repot-repot untuk mengurus bibit kakao agar pemesan dapat langsung menanamnya.
Alo sudah mulai melakukan fermentasi terhadap biji kakao sebelum dikeringkan dan dijual. Sedikit upaya pengelolaan pascapanen itu mampu meningkatkan kualitas panen dan memberikan keuntungan baginya karena selain harganya tinggi, bobot kakao fermentasi lebih tinggi dibandingkan dengan biji kakao yang dikeringkan secara alami.
Sejak mengetahui keunggulan pohon kakao yang mampu berbuah tanpa mengenal musim, Alo mengurangi pohon jambu mete yang dahulu banyak di lahannya.
"Kakao seperti kelapa, tidak kenal musim dan terus menerus berbuah apalagi bila perawatannya bagus," tutur pria yang memiliki tujuh anak itu.
Selain Alo, di Mangganipi juga ada pria lain yang mulai mengolah lahannya dengan budi daya kakao, juga setelah purnatugas sebagai seorang pegawai negeri.
Bimbingan
Paulus Ramone baru memulai menanam kakao di lahan di samping rumahnya dengan luas kurang dari satu hektare pada tahun 2013, di bawah bimbingan Yayasan Pengembangan Kemanusiaan Donders.
Kebunnya yang terlihat dirawat dengan baik, mampu menghasilkan buah-buah unggul yang dapat dijual dengan harga Rp25.000 per kilogram biji kering.
"Saya tidak menghitung berapa kilo hasil panen rata-rata tiap tahun atau tiap bulan. Namun sekali menjual rata-rata antara 3-5 kg," ujarnya.
Kebun ini dirawat dengan baik dan menghasilkan buah unggul, tutur Pater Rivan Narang, CS.s.R, dari YPK Donders sebagai pendamping petani kakao.
Pohon-pohon ditanam rapi dan setiap celah dari empat pohon disediakan tanah galian untuk menampung air dan daun-daun kering yang menjadi sumber makanan bagi pohon-pohon tersebut.
Kakao dikenal sebagai tanaman yang setia, yaitu akan berbunga pada tempat yang sama, sehingga untuk memanen buahnya harus hati-hati dan menggunakan gunting serta menyisakan sebagian tangkai yang menempel di batang.
Rivan Narang memperagakan teknik memanen buah atau membuang buah-buah yang rusak kering dan busuk, agar di tempat yang sama akan tumbuh bakal bunga dan buah yang baru.
Beberapa buah terlihat dipenuhi semut, hewan predator yang membantu mengusir ulat-ulat dari buah kakao.
"Semakin banyak semutnya akan semakin baik agar ulat tidak bersarang di buah dan pohon," katanya.
Pohon kakao juga memerlukan perawatan yaitu pemangkasan dahan-dahan yang tidak diperlukan, misalnya dahan yang merupakan tiang air, karena dahan tersebut tumbuh subur menyerap banyak air dan nutrisi lain sehingga membuat pohon malas berbuah.
Dahan lain yang harus dipangkas adalah bila tumpang tindih atau berbalik mengarah ke batang utama pohon.
Perawatan yang baik akan membuat pohon tidak berhenti berbunga serta menghasilkan buah-buah yang bagus, yaitu yang bisa menghasilkan antara 40-50 biji kakao dalam satu butir buah.
YPK Donders melakukan pembinaan antara lain dengan membagikan bibit tanaman, bimbingan, dan penyuluhan hingga pascapanen.
Lahan di Sumba Barat Daya cocok untuk tanaman kakao kecuali di beberapa tempat yang sangat kering, karena tanaman muda memerlukan banyak air saat awal pertumbuhan.
Willem Wora Pandak, mantan kepala desa di Kampung Kenggor, Desa Onggol, Kecamatan Kodi, salah seorang petani yang menanam seribu bibit kakao pemberian pemerintah pada 2004-2005.
"Hanya 340 pohon yang hidup dan sudah menghasilkan buah dan sekarang mulai menanam lagi dengan teknik sambung (okulasi) hasil bimbingan dari YPK Donders," ujar dia.
Pada saat Willem menjadi kepala desa, pemerintah menyediakan bibir kakao namun saat itu belum banyak yang tertarik menanam.
Sekarang, ketika hasil panen kakao dipandang menguntungkan, mulai banyak petani yang melirik tanaman tersebut sehingga dia pun mengajak anak dan tetangga untuk menanamnya.
Dia membagikan 240 bibit secara gratis pada tetangga dan anaknya untuk mulai membudidayakan kakao.
"Hasilnya lumayan, seperti kemarin saya menjual enam kilo biji kakao ke Waitabula karena ada keperluan untuk anak sekolah.," ujar pria dengan tujuh anak itu.
Dua dari anaknya saat ini bersekolah di Jawa, seorang belajar di akademi keperawatan di Jakarta, dan seorang lainnya di Malang, Jawa Timur belajar akutansi.
Kampung Onggol termasuk daerah yang mengamali kesulitan air, sehingga untuk awal menanam kakao dia membeli air yang dikirim dengan truk tanki, untuk menyirami tanaman setiap pagi dan sore, dan dilakukannya selama satu tahun penuh.
Pada saat tanaman sudah cukup kuat, penyiraman bisa dikurangi dan setelah dua-tiga tahun penyiraman tidak dilakukan secara khusus dan mengandalkan air hujan saja.
"Banyak petani kurang sabar pada tiga tahun pertama, padahal setelah itu tanaman kakao akan berbuah terus menerus, hanya perlu memangkas dahan dan mengusir hama ulat, jamur dengan cara-cara ramah lingkungan misalnya dengan air sabun," kata Rivan Narang.
Biji cokelat yang dihasilkan di Sumba Barat Daya selama ini dibeli dan ditampung oleh pedagang di Waitabula dengan harga Rp18.000- Rp30.000 per kilogram, sedangkan YPK Donders dengan kemitraan pernah membeli biji unggul yang difermentasi dengan harga Rp50.000 per kilogram.
Banyak petani Sumba yang mulai tertarik dan jatuh hati pada kakao, perlahan-lahan mengurangi jenis tanaman lain, seperti jambu mete, pinang, dan nangka di halaman mereka dan menanam kakao lebih banyak lagi.
"Siapa yang tidak suka cokelat, ibaratnya anak umur nol tahun sampai nenek-nenek suka cokelat, maka saya ingin menanam lebih banyak cokelat," kata Alo.