Labuan Bajo (ANTARA) - Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) mengajak pengelola desa wisata di wilayah Flores, Alor, Lembata, Bima (Floratama) untuk memperkuat ekosistem pariwisata desa melalui branding di online atau digital era 4.0.
"Untuk desa yang berada di wilayah Floratama, branding di era 4.0 tentunya tidak sekadar akses terhadap sinyal atau internet tapi mengoptimalkan teknologi digital yang telah dikembangkan oleh pemerintah," kata Direktur Utama BPOLBF Shana Fatina di Labuan Bajo, Sabtu, (11/12).
Menurut Shana, pengoptimalan desa wisata tidak hanya terbatas pada promosi wisata, tapi juga memperkenalkan produk yang dimiliki oleh desa wisata. Sering kali desa wisata terpaku pada hasil yang dinilai bagus, padahal wisatawan membutuhkan hal lain yang bisa diperkenalkan lebih dan berbeda dengan desa wisata yang lainnya.
Pada kesempatan webinar desa wisata yang digelar BPOLBF secara daring pada Kamis lalu, Shana juga mengajak desa wisata untuk berbicara lebih fokus dan membuat branding yang jelas.
Dia menilai banyak kabupaten hanya berbicara tema besar seperti wisata alam dan budaya, tapi tidak fokus.
Shana pun menegaskan bahwa tujuan dari branding tersebut tak lain untuk memastikan wisatawan datang ke wilayah Floratama, tinggal lebih lama, belanja lebih banyak, dan memiliki kesadaran untuk melindungi lingkungan.
Sementara itu Hanif Andy Al Anshori selaku Pendiri Desa Wisata Institute yang membawakan materi tentang strategi branding desa wisata di era 4.0 dalam webinar itu menjelaskan bahwa branding bukan sekadar nama atau merek dagang, logo/slogan, dan produk atau layanan.
Ketika seseorang berbicara tentang branding, maka yang dibicarakan ialah strategi untuk menciptakan manfaat atau keunggulan yang kompetitif.
Branding adalah alat untuk menciptakan dan mempertahankan keunggulan yang kompetitif. Tentu saja branding juga strategi untuk menciptakan nilai atau harga brand yang sesuai dengan persepsi konsumen.
Hanif menerangkan branding di era digital berkaitan dengan marketing 4.0 sebagai pendekatan pemasaran yang mengombinasikan interaksi daring (online) dan luring (offline).
Pada kesempatan itu dia memberikan beberapa tips branding desa wisata yang bisa diimplementasikan oleh para pengelola desa wisata, baik kelompok sadar wisata (pokdarwis) maupun badan usaha milik desa (BUMDes).
Pertama, pengelola desa wisata harus mendengarkan apa yang menjadi kebutuhan dan kesukaan wisatawan, termasuk hal yang tidak disukai oleh wisatawan. Dari jawaban dan respon wisatawan yang dikumpulkan, pengelola desa wisata dapat memetakan kebutuhan dan karakteristik wisawatan untuk mencari strategi yang berorientasi pada pelanggan (customer oriented).
Baca juga: Investasi hotel bintang 4-5 dihentikan mulai Oktober 2022
Selanjutnya, desa wisata harus menyampaikan nilai (value) yang tidak terlihat, tapi sangat penting, seperti kualitas, keramahan, dan kearifan lokal. Brand yang memiliki inovasi konsisten juga akan memancing rasa penasaran calon wisatawan lebih tinggi.
Baca juga: Badan Otorita minta warga Wae Rebo pertahankan keaslian desa
Berikutnya, dia menyarankan agar desa wisata terbuka dengan menjalin hubungan komunikasi dengan semua pihak. Menurutnya, di era digital saat ini, desa wisata tidak bisa mempromosikan brand sendirian.
Hanif juga mengatakan bahwa percuma jika sebuah brand memiliki kesan yang baik di dunia digital tapi buruk di lapangan.
"Pencapaian brand harus dipamerkan secara kolektif," tambah dia.
"Untuk desa yang berada di wilayah Floratama, branding di era 4.0 tentunya tidak sekadar akses terhadap sinyal atau internet tapi mengoptimalkan teknologi digital yang telah dikembangkan oleh pemerintah," kata Direktur Utama BPOLBF Shana Fatina di Labuan Bajo, Sabtu, (11/12).
Menurut Shana, pengoptimalan desa wisata tidak hanya terbatas pada promosi wisata, tapi juga memperkenalkan produk yang dimiliki oleh desa wisata. Sering kali desa wisata terpaku pada hasil yang dinilai bagus, padahal wisatawan membutuhkan hal lain yang bisa diperkenalkan lebih dan berbeda dengan desa wisata yang lainnya.
Pada kesempatan webinar desa wisata yang digelar BPOLBF secara daring pada Kamis lalu, Shana juga mengajak desa wisata untuk berbicara lebih fokus dan membuat branding yang jelas.
Dia menilai banyak kabupaten hanya berbicara tema besar seperti wisata alam dan budaya, tapi tidak fokus.
Shana pun menegaskan bahwa tujuan dari branding tersebut tak lain untuk memastikan wisatawan datang ke wilayah Floratama, tinggal lebih lama, belanja lebih banyak, dan memiliki kesadaran untuk melindungi lingkungan.
Sementara itu Hanif Andy Al Anshori selaku Pendiri Desa Wisata Institute yang membawakan materi tentang strategi branding desa wisata di era 4.0 dalam webinar itu menjelaskan bahwa branding bukan sekadar nama atau merek dagang, logo/slogan, dan produk atau layanan.
Ketika seseorang berbicara tentang branding, maka yang dibicarakan ialah strategi untuk menciptakan manfaat atau keunggulan yang kompetitif.
Branding adalah alat untuk menciptakan dan mempertahankan keunggulan yang kompetitif. Tentu saja branding juga strategi untuk menciptakan nilai atau harga brand yang sesuai dengan persepsi konsumen.
Hanif menerangkan branding di era digital berkaitan dengan marketing 4.0 sebagai pendekatan pemasaran yang mengombinasikan interaksi daring (online) dan luring (offline).
Pada kesempatan itu dia memberikan beberapa tips branding desa wisata yang bisa diimplementasikan oleh para pengelola desa wisata, baik kelompok sadar wisata (pokdarwis) maupun badan usaha milik desa (BUMDes).
Pertama, pengelola desa wisata harus mendengarkan apa yang menjadi kebutuhan dan kesukaan wisatawan, termasuk hal yang tidak disukai oleh wisatawan. Dari jawaban dan respon wisatawan yang dikumpulkan, pengelola desa wisata dapat memetakan kebutuhan dan karakteristik wisawatan untuk mencari strategi yang berorientasi pada pelanggan (customer oriented).
Baca juga: Investasi hotel bintang 4-5 dihentikan mulai Oktober 2022
Selanjutnya, desa wisata harus menyampaikan nilai (value) yang tidak terlihat, tapi sangat penting, seperti kualitas, keramahan, dan kearifan lokal. Brand yang memiliki inovasi konsisten juga akan memancing rasa penasaran calon wisatawan lebih tinggi.
Baca juga: Badan Otorita minta warga Wae Rebo pertahankan keaslian desa
Berikutnya, dia menyarankan agar desa wisata terbuka dengan menjalin hubungan komunikasi dengan semua pihak. Menurutnya, di era digital saat ini, desa wisata tidak bisa mempromosikan brand sendirian.
Hanif juga mengatakan bahwa percuma jika sebuah brand memiliki kesan yang baik di dunia digital tapi buruk di lapangan.
"Pencapaian brand harus dipamerkan secara kolektif," tambah dia.