Jakarta (ANTARA) - Diskusi Imparsial yang mengundang sejumlah ahli, tokoh masyarakat, dan juru damai awal minggu ini menguak kenyataan bahwa pembangunan bukan jawaban mengakhiri konflik dan menciptakan perdamaian di Papua.
Alat mencapai tujuan itu adalah dialog antarpemangku kepentingan bersama seluruh elemen masyarakat.
Dalam berbagai diskusi mengenai konflik di Papua, kemiskinan kerap jadi sorotan karena diyakini sebagai salah satu akar masalah. Namun, problemnya kemiskinan kemudian dipahami secara sempit sebagai kurangnya pembangunan infrastruktur di Papua.
Dengan demikian, Pemerintah pun menggelontorkan triliunan rupiah untuk membangun berbagai macam infrastruktur, seperti jembatan, jalan, sekolah, rumah sakit, bandara, renovasi pasar, stadion, pos lintas batas negara, dan pelabuhan.
Ragam bangunan itu mengandung asa dapat meningkatkan aktivitas perekonomian di Papua sehingga dapat menekan tingkat kemiskinan dan masyarakat makin sejahtera. Jika misi itu tercapai, tujuan utama menciptakan perdamaian di tanah Papua pun bakal terwujud.
Namun, asumsi itu luput mempertimbangkan akar masalah konflik di Papua, bukan hanya kemiskinan. Ada banyak isu yang menurut para peneliti tidak hanya terkait dengan masalah ekonomi, tetapi juga politik, sosial, hukum, dan budaya.
Kompleksitas akar konflik itu perlu diakui bersama sehingga upaya menciptakan perdamaian di Papua tidak lagi mengandalkan kebijakan dan program pembangunan infrastruktur, tetapi mempertimbangkan faktor-faktor lain di luar itu.
Irine Morada Santiago, juru runding perdamaian asal Filipina, pada acara diskusi yang digelar oleh Imparsial sebagaimana diakses di Jakarta, Senin (18/4), mengingatkan banyak pihak salah kaprah saat menyamakan pembangunan sebagai alat mewujudkan perdamaian.
Pembangunan (development) bukan perdamaian, dan perdamaian bukan pembangunan. Peacebuilding (upaya menciptakan perdamaian), kata Irine, adalah sebuah proses yang bertujuan memperbanyak titik temu (connectors) dan mengurangi pemecah belah (dividers) sehingga pembangunan dapat berlangsung. Sementara itu, pembangunan adalah proses meningkatkan kapasitas dan mengurangi kerentanan yang dialami masyarakat.
Pembangunan juga harus dipahami sebagai upaya memperluas akses dan memperbanyak pilihan yang dapat diambil oleh masyarakat dalam melanjutkan hidup dan menentukan nasibnya sendiri.
Dalam praktiknya, pembangunan dan upaya menciptakan perdamaian (peacebuilding) sering beririsan. Namun, situasi itu tidak boleh jadi pembenaran bahwa pembangunan adalah satu-satunya jalan untuk mewujudkan perdamaian.
"Harus punya pemahaman soal definisi yang jelas, teori-teori yang jelas, dan rencana perubahan yang jelas (untuk mewujudkan perdamaian di daerah konflik)," kata Irine Santiago, negosiator damai yang punya pengalaman lebih dari 20 tahun membantu penyelesaian konflik di Filipina.
Baca juga: Moeldoko tekankan Otsus Papua semata-mata untuk kemakmuran rakyat
Pendapat Irine itu kemudian ditambahkan oleh Delsy Ronnie, praktisi dan peneliti yang fokus mempelajari resolusi konflik.
Ia mengajak para pembuat keputusan untuk mengevaluasi kembali pembangunan seperti apa yang telah berjalan di Papua. Alasannya, ada jenis pembangunan yang justru memperkeruh konflik dan tidak berkontribusi terhadap upaya menciptakan perdamaian.
Ronnie, yang punya pengalaman terlibat dalam penyelesaian konflik di Aceh, menyampaikan pembangunan harus memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Jika pembangunan itu tidak mampu menumbuhkan kepercayaan masyarakat, berbagai bangunan fisik itu tidak banyak berkontribusi pada upaya mewujudkan perdamaian di Papua.
Ia menyebutkan beberapa jenis pembangunan justru berpeluang memperburuk ketegangan, misalnya pembangunan infrastruktur yang tidak menguntungkan masyarakat setempat, program-program pelayanan yang memperkuat praktik diskriminasi, proyek yang mendukung kekerasan terus berlanjut, dan pembangunan infrastruktur yang diprotes masyarakat.
Di sisi lain, pembangunan yang berkontribusi positif pada upaya perdamaian, antara lain, penguatan layanan kesehatan, pendidikan, dan layanan publik lainnya yang mengikutsertakan masyarakat yang terdampak oleh konflik, para eks pemberontak dan kelompok minoritas lainnya. Ronnie menyebut itu sebagai pembangunan yang transformatif.
Pembangunan transformatif, menurut Ronnie, juga dapat dilakukan melalui program-program yang melibatkan partisipasi kelompok masyarakat lebih luas, terutama terkait dengan pengelolaan dana subsidi/bantuan.
Suara Orang Papua
Ketua Jaringan Damai Papua Pastor John Bunay sependapat dengan pemikiran Irine dan Ronnie. Ia menyampaikan pembangunan fisik terbukti tidak berhasil membantu upaya menciptakan perdamaian.
John Bunay mengingatkan ada sentimen yang tumbuh di masyarakat bahwa jembatan dan jalan yang dibangun bukan untuk kesejahteraan orang asli Papua (OAP), melainkan untuk kepentingan elite pengusaha. Ada anggapan bahwa aktivitas ekonomi elite pengusaha itu tidak sejalan dengan nilai-nilai masyarakat Papua yang ingin merawat dan melestarikan lingkungan sebagai alam hidupnya.
Baca juga: Kasad biayai sekolah dua putra Babinsa tertembak di Papua
"Masyarakat Papua, yang mereka butuhkan pendidikan yang baik, kesehatan, perekonomian baik. Masyarakat lebih membutuhkan itu," ujar dia.
Namun, perbaikan layanan publik itu merupakan langkah kedua. Langkah pertama, John Bunay memandang perlu ada dialog atau langkah-langkah yang mampu memetakan masalah di akar rumput. Ia pun mengusulkan kepada Presiden RI Joko Widodo dan pemerintah membentuk tim khusus yang terdiri atas anggota Majelis Rakyat Papua (MRP).
Tim khusus itu nantinya bekerja sama dengan tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat setempat, membangun dialog demi mendengar kebutuhan dan aspirasi orang asli Papua (OAP).
Ia meyakini satu-satunya jalan mewujudkan perdamaian yang abadi di Papua melalui jalur dialog. Namun, dialog hanya mungkin terwujud jika para pengambil keputusan di Jakarta mendengar aspirasi dan keinginan masyarakat Papua.
Pemikiran Irine dalam paparannya saat diskusi sejalan dengan John Bunay. Irine mengingatkan sering kali para pengambil keputusan memikirkan strategi jangka panjang yang rumit untuk menciptakan perdamaian.
Padahal, langkah awal yang dibutuhkan adalah membuka ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi dan kebutuhannya mengingat selama ini mereka bungkam akibat kekerasan dan konflik berkepanjangan.
Irine menceritakan pengalamannya saat berupaya membangun perdamaian di Davao, kota di Mindanao yang selama puluhan tahun terjebak konflik antara pemberontak dan militer.
Langkah pertama saat itu membuka kanal aduan bagi masyarakat dan memperbanyak ruang dialog di akar rumput sehingga pemerintah lantas mengetahui ada dua masalah yang perlu diselesaikan secepatnya.
Rasa takut dan lapar, hanya ada dua itu yang butuh diselesaikan segera. Masyarakat merasa mereka terjebak di antara dua kubu, yaitu pemberontak dan militer. Pihaknya tidak dapat berbuat apa-apa dengan pemberontak sehingga berbicara dengan militer.
Komandan batalion saat itu mendukung langkah perdamaian pemerintah dan mereka tidak lagi menunjukkan wajah yang dingin dan kasar, tetapi bersahabat kepada masyarakat.
Para prajurit, kata Irine, memeriksa warga dengan rasa hormat saat mereka melintas di pos jaga, tidak ada sekolah dan rumah yang dibakar, para tentara juga membantu masyarakat membangun kembali rumah dan sekolah.
Baca juga: Paripurna setujui tiga RUU DOB di Papua menjadi usul inisiatif DPR
Dalam waktu beberapa bulan, setelah wajah militer tidak lagi keras terhadap warga, kebutuhan pangan terpenuhi, dan suara mereka didengar oleh Pemerintah, kepercayaan masyarakat terhadap militer dan pemerintah pun tumbuh. Perlahan, kelompok pemberontak pun kehilangan pengaruh.
"Kami punya sejarah konflik 50 tahun, tetapi dalam sembilan bulan itu berakhir. Pemberontak berusaha kembali, tetapi masyarakat mengusir mereka. Jadi, menurut saya, pemberontakan tidak dapat tumbuh tanpa dukungan masyarakat," ujar Irine Santiago.
Berbekal pengalaman itu, dia mengusulkan upaya menciptakan perdamaian di Papua juga harus melalui langkah-langkah kecil yang menyasar masyarakat di akar rumput.
Adanya dialog antara pemerintah dan orang-orang berpengaruh di tengah masyarakat Papua, kemudian memperluas jangkauan dialog sampai menyentuh ke lebih banyak orang dari berbagai lapisan. Makin banyak yang terlibat, yang berpartisipasi dalam dialog, maka itu lebih baik.
Alat mencapai tujuan itu adalah dialog antarpemangku kepentingan bersama seluruh elemen masyarakat.
Dalam berbagai diskusi mengenai konflik di Papua, kemiskinan kerap jadi sorotan karena diyakini sebagai salah satu akar masalah. Namun, problemnya kemiskinan kemudian dipahami secara sempit sebagai kurangnya pembangunan infrastruktur di Papua.
Dengan demikian, Pemerintah pun menggelontorkan triliunan rupiah untuk membangun berbagai macam infrastruktur, seperti jembatan, jalan, sekolah, rumah sakit, bandara, renovasi pasar, stadion, pos lintas batas negara, dan pelabuhan.
Ragam bangunan itu mengandung asa dapat meningkatkan aktivitas perekonomian di Papua sehingga dapat menekan tingkat kemiskinan dan masyarakat makin sejahtera. Jika misi itu tercapai, tujuan utama menciptakan perdamaian di tanah Papua pun bakal terwujud.
Namun, asumsi itu luput mempertimbangkan akar masalah konflik di Papua, bukan hanya kemiskinan. Ada banyak isu yang menurut para peneliti tidak hanya terkait dengan masalah ekonomi, tetapi juga politik, sosial, hukum, dan budaya.
Kompleksitas akar konflik itu perlu diakui bersama sehingga upaya menciptakan perdamaian di Papua tidak lagi mengandalkan kebijakan dan program pembangunan infrastruktur, tetapi mempertimbangkan faktor-faktor lain di luar itu.
Irine Morada Santiago, juru runding perdamaian asal Filipina, pada acara diskusi yang digelar oleh Imparsial sebagaimana diakses di Jakarta, Senin (18/4), mengingatkan banyak pihak salah kaprah saat menyamakan pembangunan sebagai alat mewujudkan perdamaian.
Pembangunan (development) bukan perdamaian, dan perdamaian bukan pembangunan. Peacebuilding (upaya menciptakan perdamaian), kata Irine, adalah sebuah proses yang bertujuan memperbanyak titik temu (connectors) dan mengurangi pemecah belah (dividers) sehingga pembangunan dapat berlangsung. Sementara itu, pembangunan adalah proses meningkatkan kapasitas dan mengurangi kerentanan yang dialami masyarakat.
Pembangunan juga harus dipahami sebagai upaya memperluas akses dan memperbanyak pilihan yang dapat diambil oleh masyarakat dalam melanjutkan hidup dan menentukan nasibnya sendiri.
Dalam praktiknya, pembangunan dan upaya menciptakan perdamaian (peacebuilding) sering beririsan. Namun, situasi itu tidak boleh jadi pembenaran bahwa pembangunan adalah satu-satunya jalan untuk mewujudkan perdamaian.
"Harus punya pemahaman soal definisi yang jelas, teori-teori yang jelas, dan rencana perubahan yang jelas (untuk mewujudkan perdamaian di daerah konflik)," kata Irine Santiago, negosiator damai yang punya pengalaman lebih dari 20 tahun membantu penyelesaian konflik di Filipina.
Baca juga: Moeldoko tekankan Otsus Papua semata-mata untuk kemakmuran rakyat
Pendapat Irine itu kemudian ditambahkan oleh Delsy Ronnie, praktisi dan peneliti yang fokus mempelajari resolusi konflik.
Ia mengajak para pembuat keputusan untuk mengevaluasi kembali pembangunan seperti apa yang telah berjalan di Papua. Alasannya, ada jenis pembangunan yang justru memperkeruh konflik dan tidak berkontribusi terhadap upaya menciptakan perdamaian.
Ronnie, yang punya pengalaman terlibat dalam penyelesaian konflik di Aceh, menyampaikan pembangunan harus memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Jika pembangunan itu tidak mampu menumbuhkan kepercayaan masyarakat, berbagai bangunan fisik itu tidak banyak berkontribusi pada upaya mewujudkan perdamaian di Papua.
Ia menyebutkan beberapa jenis pembangunan justru berpeluang memperburuk ketegangan, misalnya pembangunan infrastruktur yang tidak menguntungkan masyarakat setempat, program-program pelayanan yang memperkuat praktik diskriminasi, proyek yang mendukung kekerasan terus berlanjut, dan pembangunan infrastruktur yang diprotes masyarakat.
Di sisi lain, pembangunan yang berkontribusi positif pada upaya perdamaian, antara lain, penguatan layanan kesehatan, pendidikan, dan layanan publik lainnya yang mengikutsertakan masyarakat yang terdampak oleh konflik, para eks pemberontak dan kelompok minoritas lainnya. Ronnie menyebut itu sebagai pembangunan yang transformatif.
Pembangunan transformatif, menurut Ronnie, juga dapat dilakukan melalui program-program yang melibatkan partisipasi kelompok masyarakat lebih luas, terutama terkait dengan pengelolaan dana subsidi/bantuan.
Suara Orang Papua
Ketua Jaringan Damai Papua Pastor John Bunay sependapat dengan pemikiran Irine dan Ronnie. Ia menyampaikan pembangunan fisik terbukti tidak berhasil membantu upaya menciptakan perdamaian.
John Bunay mengingatkan ada sentimen yang tumbuh di masyarakat bahwa jembatan dan jalan yang dibangun bukan untuk kesejahteraan orang asli Papua (OAP), melainkan untuk kepentingan elite pengusaha. Ada anggapan bahwa aktivitas ekonomi elite pengusaha itu tidak sejalan dengan nilai-nilai masyarakat Papua yang ingin merawat dan melestarikan lingkungan sebagai alam hidupnya.
Baca juga: Kasad biayai sekolah dua putra Babinsa tertembak di Papua
"Masyarakat Papua, yang mereka butuhkan pendidikan yang baik, kesehatan, perekonomian baik. Masyarakat lebih membutuhkan itu," ujar dia.
Namun, perbaikan layanan publik itu merupakan langkah kedua. Langkah pertama, John Bunay memandang perlu ada dialog atau langkah-langkah yang mampu memetakan masalah di akar rumput. Ia pun mengusulkan kepada Presiden RI Joko Widodo dan pemerintah membentuk tim khusus yang terdiri atas anggota Majelis Rakyat Papua (MRP).
Tim khusus itu nantinya bekerja sama dengan tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat setempat, membangun dialog demi mendengar kebutuhan dan aspirasi orang asli Papua (OAP).
Ia meyakini satu-satunya jalan mewujudkan perdamaian yang abadi di Papua melalui jalur dialog. Namun, dialog hanya mungkin terwujud jika para pengambil keputusan di Jakarta mendengar aspirasi dan keinginan masyarakat Papua.
Pemikiran Irine dalam paparannya saat diskusi sejalan dengan John Bunay. Irine mengingatkan sering kali para pengambil keputusan memikirkan strategi jangka panjang yang rumit untuk menciptakan perdamaian.
Padahal, langkah awal yang dibutuhkan adalah membuka ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi dan kebutuhannya mengingat selama ini mereka bungkam akibat kekerasan dan konflik berkepanjangan.
Irine menceritakan pengalamannya saat berupaya membangun perdamaian di Davao, kota di Mindanao yang selama puluhan tahun terjebak konflik antara pemberontak dan militer.
Langkah pertama saat itu membuka kanal aduan bagi masyarakat dan memperbanyak ruang dialog di akar rumput sehingga pemerintah lantas mengetahui ada dua masalah yang perlu diselesaikan secepatnya.
Rasa takut dan lapar, hanya ada dua itu yang butuh diselesaikan segera. Masyarakat merasa mereka terjebak di antara dua kubu, yaitu pemberontak dan militer. Pihaknya tidak dapat berbuat apa-apa dengan pemberontak sehingga berbicara dengan militer.
Komandan batalion saat itu mendukung langkah perdamaian pemerintah dan mereka tidak lagi menunjukkan wajah yang dingin dan kasar, tetapi bersahabat kepada masyarakat.
Para prajurit, kata Irine, memeriksa warga dengan rasa hormat saat mereka melintas di pos jaga, tidak ada sekolah dan rumah yang dibakar, para tentara juga membantu masyarakat membangun kembali rumah dan sekolah.
Baca juga: Paripurna setujui tiga RUU DOB di Papua menjadi usul inisiatif DPR
Dalam waktu beberapa bulan, setelah wajah militer tidak lagi keras terhadap warga, kebutuhan pangan terpenuhi, dan suara mereka didengar oleh Pemerintah, kepercayaan masyarakat terhadap militer dan pemerintah pun tumbuh. Perlahan, kelompok pemberontak pun kehilangan pengaruh.
"Kami punya sejarah konflik 50 tahun, tetapi dalam sembilan bulan itu berakhir. Pemberontak berusaha kembali, tetapi masyarakat mengusir mereka. Jadi, menurut saya, pemberontakan tidak dapat tumbuh tanpa dukungan masyarakat," ujar Irine Santiago.
Berbekal pengalaman itu, dia mengusulkan upaya menciptakan perdamaian di Papua juga harus melalui langkah-langkah kecil yang menyasar masyarakat di akar rumput.
Adanya dialog antara pemerintah dan orang-orang berpengaruh di tengah masyarakat Papua, kemudian memperluas jangkauan dialog sampai menyentuh ke lebih banyak orang dari berbagai lapisan. Makin banyak yang terlibat, yang berpartisipasi dalam dialog, maka itu lebih baik.