Jambi (ANTARA) - "Satu Bumi untuk Masa Depan" menjadi tema sekaligus sebagai refleksi masyarakat internasional dalam memperingati hari lingkungan yang jatuh pada 5 Juni. Hari Lingkungan Hidup ditetapkan saat Konferensi Stockholm pada tahun 1972 silam.
Penetapan hari lingkungan hidup bertujuan menegaskan kembali kepedulian terhadap pelestarian dan peningkatan lingkungan, dengan maksud untuk meningkatkan kesadaran lingkungan. Maknanya, satu bumi untuk masa depan, merawat bumi yang satu-satunya sebagai ruang hidup untuk kehidupan masa depan.
"Membicarakan lingkungan hidup, saat ini bumi dan lingkungan hidup kita mengalami tiga krisis, diantaranya perubahan iklim, kerusakan alam selaras dengan berkurangnya keanekaragaman hayati, dan polusi," kata Direktur KKI Warsi, Rudy Syaf, Ahad (5/6).
Perubahan iklim yang merupakan buntut dari pemanasan global, mengakibatkan peningkatan suhu di seluruh dunia, perubahan cuaca, meningkatnya suhu air laut hingga mencairnya es yang ada di kutub sana.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan Indonesia mengalami tren kenaikan suhu di wilayah Indonesia barat dan tengah, tertinggi kenaikan suhu 0,95 derajat celcius per dekade. Kondisi ini sejalan dengan banyaknya pertanyaan sejumlah masyarakat, yang merasakan suhu panas di sejumlah wilayah sejak awal Mei 2022.
"Ancaman perubahan iklim nyata, yang memicu bencana ekologi dan hidrologi dengan beragam turunannya, penyakit kekurangan pangan dan lainnya,” kata Rudi Syaf.
Ancaman itu juga sudah dipublikasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahwa 98 persen bencana alam di Indonesia dalam satu dekade terakhir terkait dengan aspek meteorologi seperti curah hujan, kelembaban udara, temperatur, dan angin yang disertai kilat dan petir.
Pemanasan global
Menengok akhir tahun lalu, Indonesia dihadapkan dengan cuaca hujan yang ekstrim dan peningkatan intensitas hujan. Peningkatan curah hujan hingga mencapai 20-70 persen yang mengakibatkan banjir bandang di beberapa wilayah Indonesia diantaranya, Sumatra bagian selatan, Jawa, Bali, NTT, Kalimantan bagian selatan, dan Sulawesi bagian selatan.
Pada 2021 total bencana di Indonesia ada sebanyak 5.402 kejadian yang di dominasi banjir dan cuaca ekstrem. Menyusul pada 2020 tercatat 4.650 bencana didominasi banjir 1.518 kejadian dan puting beliung 1.386 kejadian.
Sementara itu, menurut Catatan Akhir Tahun Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi 2021, bencana ekologis beberapa kali terjadi di Jambi dan Sumatera Barat. Tercatat 20 kali terjadi banjir di beberapa Kota Jambi, Kabupaten Batanghari, Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Kerinci.
Sedangkan di Sumatera Barat (Sumbar), tercatat terjadi bencana 11 kali banjir di Solok Selatan, Kota Solok, Padang Panjang, Pesisir Selatan, Kabupaten Solok, Sijunjung, Kota Padang, dan Siberut. Bencana longsor terjadi delapan kali sepanjang 2021, di antara Padang Pariaman, Dharmasraya, Bukittinggi, Agam, Payakumbuh, dan Solok.
Bencana hidrologi yang terjadi di Provinsi Jambi mengakibatkan dua orang meninggal dunia, 6.265 rumah terendam, 635 hektar lahan terendam. Sementara di Sumbar, dampak dari bencana itu sembilan orang meninggal dunia dan 3.181 rumah terendam banjir.
Baca juga: Artikel - Mengenal teknologi mitigasi bencana karya Indonesia
"Kerentanan bencana ekologi berbarengan dengan perubahan tutupan hutan akibat aktivitas manusia. Perambahan hutan, penambangan ilegal dalam hutan, dan pencurian kayu turut menjadi penyebab dan pengundang bencana ekologi," kata Rudi Syaf.
Kawasan hutan yang seharusnya dapat meminimalisir efek dari gas rumah kaca seperti tak berdaya untuk dapat mengurangi dampak yang terjadi, akibat kerusakan yang tidak terkendali. Sejatinya, keberadaan pohon yang ada di kawasan hutan sebenarnya diharapkan dapat mengikat karbon dioksida pembentuk gas rumah kaca yang ada di udara.
Sehingga tidak lepas ke atmosfer yang akan membuat lapisan ozon menipis dan mengakibatkan pemanasan global dan berujung pada perubahan iklim.
Tutupan perhutanan sosial
Hutan yang menjadi tumpuan penjaga iklim, namun mengalami degradasi dan deforestasi dari tahun ke tahun karena kebakaran hutan dan pembukaan lahan baik secara legal maupun ilegal.
Berdasarkan data Global Forest Watch (GFW), Indonesia memiliki lahan hutan primer seluas 93,8 juta ha pada 2001. Jumlah tersebut lebih dari separuh luas daratan. Namun, sepanjang periode 2002-2020, Indonesia telah kehilangan sekitar 9,75 juta ha lahan hutan primer.
Kondisi tersebut membuat Indonesia kehilangan 36 persen lahan tutupan pohon pada periode yang sama. Kondisi ini bila dibiarkan berlarut akan mengancam keberlangsungan kehidupan di bumi.
Baca juga: Artikel - Memahami keunggulan rumah tahan gempa RISHA di Indonesia
Mengingat hutan yang memiliki peran kunci untuk meminimalisir terjadinya pemanasan global, maka seharusnya keberadaan hutan harus menjadi perhatian utama bagi negara-negara yang masih memiliki kawasan hutan yang luas, seperti Indonesia.
"Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk berperan dalam menjaga bumi kita. Penguatan fungsi hutan dengan melakukan pemulihan di kawasan hutan yang tersisa dan selain itu penguatan fungsi ekologi hutan salah satunya dengan skema perhutanan sosial seperti yang dilakukan KKI Warsi," kata Rudi.
Dikatakannya dengan menyerahkan kelola hutan hingga bisa diakses masyarakat menumbuhkan rasa kepemilikan dalam penjagaan hutan.
"Pengalaman baik di Jambi, merujuk catatan KKI Warsi tahun 2021, tutupan di kawasan perhutanan sosial mengalami kenaikan hal ini dibuktikan melalui analisis citra sentinel, ditemukan ada kenaikan tutupan hutan seluas 14.390 ha di kawasan perhutanan sosial di Jambi," kata Rudy Syaf.
Jaga keanekaragaman hayati
Perbaikan kawasan ini salah satunya disumbangkan oleh aktivitas pemanfaatan dan kelola oleh masyarakat melalui penerapan agroforest dalam kawasan perhutanan sosial.
Meskipun demikian, pemulihan kawasan hutan tidak serta merta mengandalkan aktivitas di perhutanan sosial saja. Diperlukan keterlibatan banyak pihak untuk penjagaan kawasan hutan dengan langkah pemulihan kembali, pencegahan kebakaran hutan, dan pemulihan di sekitar daerah aliran sungai (DAS).
Oleh karena itu, mari kembali ke hutan. Hutan menjadi satu-satunya yang dapat meminimalisir dampak dari pemanasan.
Baca juga: Artikel - Menyiapkan hutan Bowosie jadi destinasi wisata alam NTT
Pembangunan yang dilakukan jika bersentuhan dengan kawasan hutan pun sebaiknya tetap berorientasi pada lingkungan dan harus berkelanjutan.
Jangan sampai akibat dari tidak seriusnya semua pihak dalam melihat isu hutan sebagai faktor kunci dalam pengendalian pemanasan global, malah akan berdampak pada kehidupan kita serta anak cucu kita kelak.
Perubahan iklim merupakan ancaman utama bagi lingkungan hidup, dan hutan juga merupakan salah satu komponen di dalam lingkungan hidup. Dengan menjaga satu komponen itu, maka sudah menjaga lingkungan hidup itu sendiri dengan segala keanekaragaman hayati di dalamnya.
Selamat Hari Lingkungan Hidup.
Penetapan hari lingkungan hidup bertujuan menegaskan kembali kepedulian terhadap pelestarian dan peningkatan lingkungan, dengan maksud untuk meningkatkan kesadaran lingkungan. Maknanya, satu bumi untuk masa depan, merawat bumi yang satu-satunya sebagai ruang hidup untuk kehidupan masa depan.
"Membicarakan lingkungan hidup, saat ini bumi dan lingkungan hidup kita mengalami tiga krisis, diantaranya perubahan iklim, kerusakan alam selaras dengan berkurangnya keanekaragaman hayati, dan polusi," kata Direktur KKI Warsi, Rudy Syaf, Ahad (5/6).
Perubahan iklim yang merupakan buntut dari pemanasan global, mengakibatkan peningkatan suhu di seluruh dunia, perubahan cuaca, meningkatnya suhu air laut hingga mencairnya es yang ada di kutub sana.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan Indonesia mengalami tren kenaikan suhu di wilayah Indonesia barat dan tengah, tertinggi kenaikan suhu 0,95 derajat celcius per dekade. Kondisi ini sejalan dengan banyaknya pertanyaan sejumlah masyarakat, yang merasakan suhu panas di sejumlah wilayah sejak awal Mei 2022.
"Ancaman perubahan iklim nyata, yang memicu bencana ekologi dan hidrologi dengan beragam turunannya, penyakit kekurangan pangan dan lainnya,” kata Rudi Syaf.
Ancaman itu juga sudah dipublikasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahwa 98 persen bencana alam di Indonesia dalam satu dekade terakhir terkait dengan aspek meteorologi seperti curah hujan, kelembaban udara, temperatur, dan angin yang disertai kilat dan petir.
Pemanasan global
Menengok akhir tahun lalu, Indonesia dihadapkan dengan cuaca hujan yang ekstrim dan peningkatan intensitas hujan. Peningkatan curah hujan hingga mencapai 20-70 persen yang mengakibatkan banjir bandang di beberapa wilayah Indonesia diantaranya, Sumatra bagian selatan, Jawa, Bali, NTT, Kalimantan bagian selatan, dan Sulawesi bagian selatan.
Pada 2021 total bencana di Indonesia ada sebanyak 5.402 kejadian yang di dominasi banjir dan cuaca ekstrem. Menyusul pada 2020 tercatat 4.650 bencana didominasi banjir 1.518 kejadian dan puting beliung 1.386 kejadian.
Sementara itu, menurut Catatan Akhir Tahun Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi 2021, bencana ekologis beberapa kali terjadi di Jambi dan Sumatera Barat. Tercatat 20 kali terjadi banjir di beberapa Kota Jambi, Kabupaten Batanghari, Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Kerinci.
Sedangkan di Sumatera Barat (Sumbar), tercatat terjadi bencana 11 kali banjir di Solok Selatan, Kota Solok, Padang Panjang, Pesisir Selatan, Kabupaten Solok, Sijunjung, Kota Padang, dan Siberut. Bencana longsor terjadi delapan kali sepanjang 2021, di antara Padang Pariaman, Dharmasraya, Bukittinggi, Agam, Payakumbuh, dan Solok.
Bencana hidrologi yang terjadi di Provinsi Jambi mengakibatkan dua orang meninggal dunia, 6.265 rumah terendam, 635 hektar lahan terendam. Sementara di Sumbar, dampak dari bencana itu sembilan orang meninggal dunia dan 3.181 rumah terendam banjir.
Baca juga: Artikel - Mengenal teknologi mitigasi bencana karya Indonesia
"Kerentanan bencana ekologi berbarengan dengan perubahan tutupan hutan akibat aktivitas manusia. Perambahan hutan, penambangan ilegal dalam hutan, dan pencurian kayu turut menjadi penyebab dan pengundang bencana ekologi," kata Rudi Syaf.
Kawasan hutan yang seharusnya dapat meminimalisir efek dari gas rumah kaca seperti tak berdaya untuk dapat mengurangi dampak yang terjadi, akibat kerusakan yang tidak terkendali. Sejatinya, keberadaan pohon yang ada di kawasan hutan sebenarnya diharapkan dapat mengikat karbon dioksida pembentuk gas rumah kaca yang ada di udara.
Sehingga tidak lepas ke atmosfer yang akan membuat lapisan ozon menipis dan mengakibatkan pemanasan global dan berujung pada perubahan iklim.
Tutupan perhutanan sosial
Hutan yang menjadi tumpuan penjaga iklim, namun mengalami degradasi dan deforestasi dari tahun ke tahun karena kebakaran hutan dan pembukaan lahan baik secara legal maupun ilegal.
Berdasarkan data Global Forest Watch (GFW), Indonesia memiliki lahan hutan primer seluas 93,8 juta ha pada 2001. Jumlah tersebut lebih dari separuh luas daratan. Namun, sepanjang periode 2002-2020, Indonesia telah kehilangan sekitar 9,75 juta ha lahan hutan primer.
Kondisi tersebut membuat Indonesia kehilangan 36 persen lahan tutupan pohon pada periode yang sama. Kondisi ini bila dibiarkan berlarut akan mengancam keberlangsungan kehidupan di bumi.
Baca juga: Artikel - Memahami keunggulan rumah tahan gempa RISHA di Indonesia
Mengingat hutan yang memiliki peran kunci untuk meminimalisir terjadinya pemanasan global, maka seharusnya keberadaan hutan harus menjadi perhatian utama bagi negara-negara yang masih memiliki kawasan hutan yang luas, seperti Indonesia.
"Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk berperan dalam menjaga bumi kita. Penguatan fungsi hutan dengan melakukan pemulihan di kawasan hutan yang tersisa dan selain itu penguatan fungsi ekologi hutan salah satunya dengan skema perhutanan sosial seperti yang dilakukan KKI Warsi," kata Rudi.
Dikatakannya dengan menyerahkan kelola hutan hingga bisa diakses masyarakat menumbuhkan rasa kepemilikan dalam penjagaan hutan.
"Pengalaman baik di Jambi, merujuk catatan KKI Warsi tahun 2021, tutupan di kawasan perhutanan sosial mengalami kenaikan hal ini dibuktikan melalui analisis citra sentinel, ditemukan ada kenaikan tutupan hutan seluas 14.390 ha di kawasan perhutanan sosial di Jambi," kata Rudy Syaf.
Jaga keanekaragaman hayati
Perbaikan kawasan ini salah satunya disumbangkan oleh aktivitas pemanfaatan dan kelola oleh masyarakat melalui penerapan agroforest dalam kawasan perhutanan sosial.
Meskipun demikian, pemulihan kawasan hutan tidak serta merta mengandalkan aktivitas di perhutanan sosial saja. Diperlukan keterlibatan banyak pihak untuk penjagaan kawasan hutan dengan langkah pemulihan kembali, pencegahan kebakaran hutan, dan pemulihan di sekitar daerah aliran sungai (DAS).
Oleh karena itu, mari kembali ke hutan. Hutan menjadi satu-satunya yang dapat meminimalisir dampak dari pemanasan.
Baca juga: Artikel - Menyiapkan hutan Bowosie jadi destinasi wisata alam NTT
Pembangunan yang dilakukan jika bersentuhan dengan kawasan hutan pun sebaiknya tetap berorientasi pada lingkungan dan harus berkelanjutan.
Jangan sampai akibat dari tidak seriusnya semua pihak dalam melihat isu hutan sebagai faktor kunci dalam pengendalian pemanasan global, malah akan berdampak pada kehidupan kita serta anak cucu kita kelak.
Perubahan iklim merupakan ancaman utama bagi lingkungan hidup, dan hutan juga merupakan salah satu komponen di dalam lingkungan hidup. Dengan menjaga satu komponen itu, maka sudah menjaga lingkungan hidup itu sendiri dengan segala keanekaragaman hayati di dalamnya.
Selamat Hari Lingkungan Hidup.