Kupang (AntaraNews NTT) - Para nelayan tangkap di Kota Kupang mengaku resah dengan kehadiran kapal-kapal nelayan dengan alat tangkap purse seine (melingkari gelombang ikan dengan jaring) dari Bali yang beroperasi di wilayah perairan Nusa Tenggara Timur.
"Kehadiran kapal-kapal purse seine dari Bali di wilayah perairan selatan Pulau Timor dan sekitarnya sudah sangat meresahkan karena hasil tangkapan kami berkurang drastis," kata seorang nelayan tangkap yang berbasis di TPI Tenau Kupang, Jois Latuparisa kepada Antara di Kupang, Kamis (27/9).
Purse Seine disebut juga pukat cincin karena alat tangkap jenis ini dilengkapi pula dengan cincin sebagai tali kerut yang dilakukan di dalam kapal terutama pada saat pengoperasian jaring. Dengan adanya tali kerut tersebut jaring yang tadinya tidak berkantong akan terbentuk pada tiap akhir penangkapan.
Prinsip menangkap ikan dengan purse seine adalah melingkari suatu gerombolan ikan dengan jaring, setelah itu jaring bagian bawah dikerucutkan, sehingga semua jenis ikan, baik kecil maupun besar, terkumpul di bagian kantong tersebut.
Dengan kata lain dengan memperkecil ruang lingkup gerak ikan, ikan-ikan tidak dapat melarikan diri dan akhirnya tertangkap. Fungsi mata jaring dan jaring adalah sebagai dinding penghadang, dan bukan sebagai pengerat ikan.
Para nelayan di Kota Kupang dan sekitarnya menjadi resah terhadap beroperasinya kapal-kapal purse seine dari Bali yang beroperasi di wilayah perairan selatan Pulau Timor yang kaya akan ikan tuna, cakalang, belang kuning serta ikan-ikan dasar.
Baca juga: PSDKP tangkap dua kapal nelayan asal Bali
"Semua jenis ikan yang ada di sekitarnya pastik akan dilingkar habis. Inilah yang membuat kami khawatir dan resah terhadap kapal-kapal purse seine dari Bali yang beroperasi selama ini, tapi nyaris tak pernah di sentuh oleh aparat berwenang," ujarnya.
Ia mengatakan, kapal-kapal nelayan dari Bali yang menggunakan alat tangkap purse seine besar, umumnya melingkar di sekitar rumpon-rumpon yang telah dipasang.
Menurutnya, cara penangkapan seperti ini membuat ikan-ikan terkumpul pada satu titik dalam jumlah banyak yang sekali dilingkar dengan pukat cincin bisa meraup paling kurang 50 ton.
"Sementara jumlah kapal purse seine yang beroperasi lebih dari 40 unit, bayangkan saja berapa ton ikan yang diraup sekali melingkar. Kapal-kapal purse seine inilah yang tidak ramah lingkungan yang harus diberantas oleh otoritas keamanan laut setempat," katanya menegaskan.
Ia mengatakan, bagi nelayan tangkap pancing ulur (hand line) yang beroperasi di perairan Teluk Kupang dan sekitarnya sangat terdampak karena ikan-ikan tidak bergerak ke areal penangkapan, karena semuanya telah dilingkar habis oleh kapal-kapal purse seine tersebut.
Menurut Jois, sebelumnya nelayan setempat sudah menyampaikan keluhan ini kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan petugasnya sempat melakukan penertiban terhadap rumpon-rumpon yang dipasang di wilayah perairan NTT.
"Tapi sekarang mulai banyak lagi kapal-kapal purse seine dari Bali yang beroperasi sehingga nelayan lokal sangat menyesalkan ini, kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus," katanya.
Baca juga: Nelayan Kupang kesulitan mendapat umpan
Ketua Kelompok Nelayan Suku Bersatu Kota Kupang Anis Taufan mengatakan, sudah lama nelayan setempat menolak kehadiran kapal-kapal purse seine dari Bali di sekitar wilayah perairan NTT.
Menurutnya, kapal-kapal tersebut tidak hanya merugikan nelayan lokal, namun tidak memberikan kontribusi apapun bagi pendapatan pemerintah di daerah setempat.
"Sekali beroperasi mereka meraup ratusan hingga ribuan ton ikan dan langsung diangkut pulang ke daerah mereka, jadi kontribusi mereka tidak ada sama sekali untuk daerah kita," katanya.
Ia mengatakan, kapal-kapal purse seine dari Bali itu tidak hanya menggunakan pukat cincin untuk meraup semua jenis ikan yang ada di wilayah perairan NTT, tetapi juga menggunakan pukat harimau yang tidak ramah lingkungan itu untuk menggerek ikan-ikan dari perairan NTT.
"Kalau sekali melingkar dengan pukat harimau ini bisa mengeruk semua hasil laut yang ada di dalamnya, sehingga terumbu karang dan ekosistem lainnya yang menjadi tempat bertelur dan pengembiakan ikan, rusak dan ikut terbawa semuanya," demikian Anis Taufan.
Kapal-kapal patroli dari Lantamal VII/Kupang saat melakukan operasi di wilayah perairan NTT. (ANTARA Foto/Kornelis Kaha)
"Kehadiran kapal-kapal purse seine dari Bali di wilayah perairan selatan Pulau Timor dan sekitarnya sudah sangat meresahkan karena hasil tangkapan kami berkurang drastis," kata seorang nelayan tangkap yang berbasis di TPI Tenau Kupang, Jois Latuparisa kepada Antara di Kupang, Kamis (27/9).
Purse Seine disebut juga pukat cincin karena alat tangkap jenis ini dilengkapi pula dengan cincin sebagai tali kerut yang dilakukan di dalam kapal terutama pada saat pengoperasian jaring. Dengan adanya tali kerut tersebut jaring yang tadinya tidak berkantong akan terbentuk pada tiap akhir penangkapan.
Prinsip menangkap ikan dengan purse seine adalah melingkari suatu gerombolan ikan dengan jaring, setelah itu jaring bagian bawah dikerucutkan, sehingga semua jenis ikan, baik kecil maupun besar, terkumpul di bagian kantong tersebut.
Dengan kata lain dengan memperkecil ruang lingkup gerak ikan, ikan-ikan tidak dapat melarikan diri dan akhirnya tertangkap. Fungsi mata jaring dan jaring adalah sebagai dinding penghadang, dan bukan sebagai pengerat ikan.
Para nelayan di Kota Kupang dan sekitarnya menjadi resah terhadap beroperasinya kapal-kapal purse seine dari Bali yang beroperasi di wilayah perairan selatan Pulau Timor yang kaya akan ikan tuna, cakalang, belang kuning serta ikan-ikan dasar.
Baca juga: PSDKP tangkap dua kapal nelayan asal Bali
"Semua jenis ikan yang ada di sekitarnya pastik akan dilingkar habis. Inilah yang membuat kami khawatir dan resah terhadap kapal-kapal purse seine dari Bali yang beroperasi selama ini, tapi nyaris tak pernah di sentuh oleh aparat berwenang," ujarnya.
Ia mengatakan, kapal-kapal nelayan dari Bali yang menggunakan alat tangkap purse seine besar, umumnya melingkar di sekitar rumpon-rumpon yang telah dipasang.
Menurutnya, cara penangkapan seperti ini membuat ikan-ikan terkumpul pada satu titik dalam jumlah banyak yang sekali dilingkar dengan pukat cincin bisa meraup paling kurang 50 ton.
"Sementara jumlah kapal purse seine yang beroperasi lebih dari 40 unit, bayangkan saja berapa ton ikan yang diraup sekali melingkar. Kapal-kapal purse seine inilah yang tidak ramah lingkungan yang harus diberantas oleh otoritas keamanan laut setempat," katanya menegaskan.
Ia mengatakan, bagi nelayan tangkap pancing ulur (hand line) yang beroperasi di perairan Teluk Kupang dan sekitarnya sangat terdampak karena ikan-ikan tidak bergerak ke areal penangkapan, karena semuanya telah dilingkar habis oleh kapal-kapal purse seine tersebut.
Menurut Jois, sebelumnya nelayan setempat sudah menyampaikan keluhan ini kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan petugasnya sempat melakukan penertiban terhadap rumpon-rumpon yang dipasang di wilayah perairan NTT.
"Tapi sekarang mulai banyak lagi kapal-kapal purse seine dari Bali yang beroperasi sehingga nelayan lokal sangat menyesalkan ini, kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus," katanya.
Baca juga: Nelayan Kupang kesulitan mendapat umpan
Ketua Kelompok Nelayan Suku Bersatu Kota Kupang Anis Taufan mengatakan, sudah lama nelayan setempat menolak kehadiran kapal-kapal purse seine dari Bali di sekitar wilayah perairan NTT.
Menurutnya, kapal-kapal tersebut tidak hanya merugikan nelayan lokal, namun tidak memberikan kontribusi apapun bagi pendapatan pemerintah di daerah setempat.
"Sekali beroperasi mereka meraup ratusan hingga ribuan ton ikan dan langsung diangkut pulang ke daerah mereka, jadi kontribusi mereka tidak ada sama sekali untuk daerah kita," katanya.
Ia mengatakan, kapal-kapal purse seine dari Bali itu tidak hanya menggunakan pukat cincin untuk meraup semua jenis ikan yang ada di wilayah perairan NTT, tetapi juga menggunakan pukat harimau yang tidak ramah lingkungan itu untuk menggerek ikan-ikan dari perairan NTT.
"Kalau sekali melingkar dengan pukat harimau ini bisa mengeruk semua hasil laut yang ada di dalamnya, sehingga terumbu karang dan ekosistem lainnya yang menjadi tempat bertelur dan pengembiakan ikan, rusak dan ikut terbawa semuanya," demikian Anis Taufan.