Kupang (ANTARA) - Polemik seputar rencana pelabelan Bisfenol A (BPA) hingga saat ini masih terjadi. Setidaknya ada 7 organisasi dan lembaga yang menyatakan tidak setuju dengan wacana itu karena menilai bersifat diskriminatif.
Sebagai kementerian yang mengkoordinasikan penyelesaian persoalan-persoalan ekonomi di negara ini, Kemenko Perekonomian termasuk yang tidak setuju dengan rencana pelabelan BPA ini.
Asisten Deputi Pangan Kemenko Bidang Perekonomian, Muhammad Saifulloh meminta agar dalam menyusun kebijakan pelabelan BPA ini harus dilihat juga keseimbangan usaha di Indonesia. "Apalagi, saat ini kan masih dalam masa pemulihan ekonomi akibat dampak pandemi Covid-19," katanya dalam rilis yang diterima di Kupang, Senin.
Karenanya, dia menyampaikan agar kebijakan itu dibuat secara ideal dan real. Menurutnya, belum ada bukti sama sekali bahwa konsumen yang minum air dari kemasan berbahan BPA ini yang meninggal. "Apalagi air galon ini kan sudah dikonsumsi masyarakat sejak puluhan tahun lamanya," ujarnya.
Asdep Penguatan Pasar Dalam Negeri Kemenko Bidang Perekonomian Evita Mantovani menambahkan masih terdapat perbedaan pandangan dari berbagai pemangku kepentingan terkait urgensi penerbitan pelabelan BPA pada air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang berbahan polikarbonat (PC) ini. Karenanya, dia meminta agar wacana ini perlu dikaji ulang dan dibahas lebih mendalam dengan semua pihak.
Menurut Evita, Kemenko Perekonomian pernah membuat Focus Group Discussion (FGD) terkait perlu tidaknya pelabelan BPA pada 27 Januari 2022 lalu dengan menghadirkan seluruh stakeholder.
Ada tiga solusi alternatif yang diputuskan dalam FDG itu. Pertama, agar disusun sebuah pedoman teknis penggunaan kemasan mengandung BPA yang benar dan meningkatkan edukasinya ke masyarakat. Solusi kedua adalah parameter BPA itu dimasukkan saja dalam syarat mutu SNI AMDK yang berlaku wajib. Kemudian yang ketiga, semua AMDK yang berbahan polycarbonat maupun non polikarbonat yang memenuhi ketentuan migrasi BPA dan limit of detection dapat memasang label yang AMDK tersebut aman dikonsumsi.
Senada dengan Kemenko Bidang Perekonomian, Kemenperin juga tidak setuju dengan wacana pelabelan BPA ini. Kemenperin mempertanyakan adanya wacana tentang rencana BPOM yang akan mengeluarkan kebijakan soal pelabelan BPA ini.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin Edy Sutopo, mengatakan perlu mempertimbangkan beberapa hal sebelum membuat wacana pelabelan itu.
Misalnya, kata Edy, harus melihat negara mana yang sudah meregulasi terkait BPA ini, adakah kasus yang menonjol yang terjadi di Indonesia ataupun di dunia terkait dengan kemasan yang mengandung BPA ini, serta adakah bukti empiris yang didukung scientific evidence, dan apakah sudah begitu urgen kebijakan ini dilakukan.
"Itu pertimbangan yang perlu dilakukan sebelum mewacanakan kebijakan terkait kemasan pangan yang mengandung BPA itu. Dalam situasi pandemi, dimana ekonomi sedang terjadi kontraksi secara mendalam, patutkah kita menambah masalah baru yang tidak benar-benar urgen?” tukasnya.
Dia juga menyoroti dampak yang akan ditimbulkan kebijakan itu nantinya terhadap investasi kemasan galon guna ulang yang existing yang jumlahnya tidak sedikit dan terhadap psikologis konsumen.
"Bagaimana dampaknya terhadap investasi kemasan galon guna ulang yang existing yang jumlahnya tidak sedikit? Bagaimana dengan dampak psikologis masyarakat yang selama ini mengkonsumsi kemasan guna ulang?,” ucapnya.
Seharusnya, kata Edy, BPOM perlu lebih berhati-hati dalam melakukan setiap kebijakan yang akan berdampak luas terhadap masyarakat. “
"Mestinya setiap kebijakan harus ada RIA (Risk Impact Analysis) yang mempertimbangkan berbagai dampak, antara lain teknis, kesehatan, keekonomian, sosial, dan lain-lain,” tukasnya.
Pandangan serupa juga dilontarkan Badan Standardisasi Nasional (BSN). Direktur Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan dan Halal BSN, Heru Suseno, mengatakan sampai sejauh ini belum ada permintaan dari pihak manapun untuk mengubah acuan terhadap standar keamanan kemasan galon berbahan polycarbonat hingga saat ini.
Dia mengatakan AMDK galon guna ulang adalah kemasan yang sudah bersertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI) dari Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro). “Produk yang sudah ada SNI-nya itu lebih nyaman dan sudah aman untuk digunakan dan dikonsumsi,” ucapnya.
Komisi Pengawas Persaingan usaha (KPPU) juga menduga ada unsur persaingan usaha di balik wacana pelabelan BPA ini. Komisioner KPPU, Chandra Setiawan melihat polemik kontaminasi BPA yang berujung pada upaya pelabelan produk air galon guna ulang ini berpotensi mengandung diskriminasi yang dilarang dalam hukum persaingan usaha.
"Sebabnya 99,9 persen industri ini menggunakan galon tersebut, dan hanya satu yang menggunakan galon sekali pakai,” katanya.
Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) adalah salah satu asosiasi dunia usaha yang menolak keras wacana pelabelan BPA ini. Mereka menilai, rencana pelabelan risiko BPA pada air minum kemasan akan berdampak pada matinya industri AMDK.
"Galon isi ulang sudah digunakan hampir 40 tahun, tidak saja oleh rumah tangga di perkotaan tetapi juga di sub-urban, termasuk di institusi pemerintah, rumah sakit, kantor dan lainnya,” ujar Ketua Umum Aspadin, Rachmat Hidayat.
Asosiasi di Bidang Pengawasan dan Perlindungan terhadap Para Pengusaha Depot Air Minum (Asdamindo) bahkan dengan tegas menolak wacana pelabelan BPA ini.
Ketua Asdamindo, Erik Garnadi, mengatakan galon guna ulang ini sudah digunakan sejak puluhan tahun lalu dan belum ada laporan itu berbahaya. BPOM juga sudah melakukan uji klinis terhadap galon itu dan dinyatakan lulus uji dan aman dikonsumsi baik bayi dan ibu hamil.
"Tapi kenapa sekarang ini tiba-tiba galon berbahan BPA ini kok dipermasalahkan dan malah ada wacana pelabelan BPA? Ini seperti ada persaingan bisnis di dalamnya. Kalau dilihat dari kacamata saya,” tukasnya.
Erik menegaskan wacana pelabelan BPA terhadap kemasan galon guna ulang ini jelas-jelas sangat merugikan para pengusaha depot air minum isi ulang. Para pengusaha depot akan banyak yang tutup usahanya. Sementara, pemerintah menggembor-gemborkan pengentasan kemiskinan, apalagi di tengah pandemi Covid-19 saat ini.
“Jadi, saya berharap permasalahan-permasalahan ini segera diselesaikan secara tuntas. Yang jelas, Asdamindo sangat tidak setuju dengan aturan tersebut,” ucapnya.
Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) ikut mencemaskan dampak rencana pelabelan wajib BPA pada galon guna ulang berbahan polikarbonat terhadap eksistensi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pasalnya, dampaknya itu pasti akan merembet pada pebisnis kelas kecil yang kini banyak terjun ke industri pengisian air minum.
Sekjen Ikappi, Reynaldi Sarijowan, mengatakan pada tahap awal, pelabelan BPA itu memang akan berdampak langsung terhadap bisnis industri besar, mengingat galon yang digunakan dalam pengisian ulang diproduksi oleh korporasi kelas atas.
"Namun, dalam jangka panjang kebijakan ini pasti berpotensi mereduksi skala bisnis UMKM. Apalagi, saat ini banyak masyarakat telah membuka usaha pengisian air minum dengan kemasan galon," tuturnya.
Sebagai kementerian yang mengkoordinasikan penyelesaian persoalan-persoalan ekonomi di negara ini, Kemenko Perekonomian termasuk yang tidak setuju dengan rencana pelabelan BPA ini.
Asisten Deputi Pangan Kemenko Bidang Perekonomian, Muhammad Saifulloh meminta agar dalam menyusun kebijakan pelabelan BPA ini harus dilihat juga keseimbangan usaha di Indonesia. "Apalagi, saat ini kan masih dalam masa pemulihan ekonomi akibat dampak pandemi Covid-19," katanya dalam rilis yang diterima di Kupang, Senin.
Karenanya, dia menyampaikan agar kebijakan itu dibuat secara ideal dan real. Menurutnya, belum ada bukti sama sekali bahwa konsumen yang minum air dari kemasan berbahan BPA ini yang meninggal. "Apalagi air galon ini kan sudah dikonsumsi masyarakat sejak puluhan tahun lamanya," ujarnya.
Asdep Penguatan Pasar Dalam Negeri Kemenko Bidang Perekonomian Evita Mantovani menambahkan masih terdapat perbedaan pandangan dari berbagai pemangku kepentingan terkait urgensi penerbitan pelabelan BPA pada air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang berbahan polikarbonat (PC) ini. Karenanya, dia meminta agar wacana ini perlu dikaji ulang dan dibahas lebih mendalam dengan semua pihak.
Menurut Evita, Kemenko Perekonomian pernah membuat Focus Group Discussion (FGD) terkait perlu tidaknya pelabelan BPA pada 27 Januari 2022 lalu dengan menghadirkan seluruh stakeholder.
Ada tiga solusi alternatif yang diputuskan dalam FDG itu. Pertama, agar disusun sebuah pedoman teknis penggunaan kemasan mengandung BPA yang benar dan meningkatkan edukasinya ke masyarakat. Solusi kedua adalah parameter BPA itu dimasukkan saja dalam syarat mutu SNI AMDK yang berlaku wajib. Kemudian yang ketiga, semua AMDK yang berbahan polycarbonat maupun non polikarbonat yang memenuhi ketentuan migrasi BPA dan limit of detection dapat memasang label yang AMDK tersebut aman dikonsumsi.
Senada dengan Kemenko Bidang Perekonomian, Kemenperin juga tidak setuju dengan wacana pelabelan BPA ini. Kemenperin mempertanyakan adanya wacana tentang rencana BPOM yang akan mengeluarkan kebijakan soal pelabelan BPA ini.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin Edy Sutopo, mengatakan perlu mempertimbangkan beberapa hal sebelum membuat wacana pelabelan itu.
Misalnya, kata Edy, harus melihat negara mana yang sudah meregulasi terkait BPA ini, adakah kasus yang menonjol yang terjadi di Indonesia ataupun di dunia terkait dengan kemasan yang mengandung BPA ini, serta adakah bukti empiris yang didukung scientific evidence, dan apakah sudah begitu urgen kebijakan ini dilakukan.
"Itu pertimbangan yang perlu dilakukan sebelum mewacanakan kebijakan terkait kemasan pangan yang mengandung BPA itu. Dalam situasi pandemi, dimana ekonomi sedang terjadi kontraksi secara mendalam, patutkah kita menambah masalah baru yang tidak benar-benar urgen?” tukasnya.
Dia juga menyoroti dampak yang akan ditimbulkan kebijakan itu nantinya terhadap investasi kemasan galon guna ulang yang existing yang jumlahnya tidak sedikit dan terhadap psikologis konsumen.
"Bagaimana dampaknya terhadap investasi kemasan galon guna ulang yang existing yang jumlahnya tidak sedikit? Bagaimana dengan dampak psikologis masyarakat yang selama ini mengkonsumsi kemasan guna ulang?,” ucapnya.
Seharusnya, kata Edy, BPOM perlu lebih berhati-hati dalam melakukan setiap kebijakan yang akan berdampak luas terhadap masyarakat. “
"Mestinya setiap kebijakan harus ada RIA (Risk Impact Analysis) yang mempertimbangkan berbagai dampak, antara lain teknis, kesehatan, keekonomian, sosial, dan lain-lain,” tukasnya.
Pandangan serupa juga dilontarkan Badan Standardisasi Nasional (BSN). Direktur Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan dan Halal BSN, Heru Suseno, mengatakan sampai sejauh ini belum ada permintaan dari pihak manapun untuk mengubah acuan terhadap standar keamanan kemasan galon berbahan polycarbonat hingga saat ini.
Dia mengatakan AMDK galon guna ulang adalah kemasan yang sudah bersertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI) dari Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro). “Produk yang sudah ada SNI-nya itu lebih nyaman dan sudah aman untuk digunakan dan dikonsumsi,” ucapnya.
Komisi Pengawas Persaingan usaha (KPPU) juga menduga ada unsur persaingan usaha di balik wacana pelabelan BPA ini. Komisioner KPPU, Chandra Setiawan melihat polemik kontaminasi BPA yang berujung pada upaya pelabelan produk air galon guna ulang ini berpotensi mengandung diskriminasi yang dilarang dalam hukum persaingan usaha.
"Sebabnya 99,9 persen industri ini menggunakan galon tersebut, dan hanya satu yang menggunakan galon sekali pakai,” katanya.
Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) adalah salah satu asosiasi dunia usaha yang menolak keras wacana pelabelan BPA ini. Mereka menilai, rencana pelabelan risiko BPA pada air minum kemasan akan berdampak pada matinya industri AMDK.
"Galon isi ulang sudah digunakan hampir 40 tahun, tidak saja oleh rumah tangga di perkotaan tetapi juga di sub-urban, termasuk di institusi pemerintah, rumah sakit, kantor dan lainnya,” ujar Ketua Umum Aspadin, Rachmat Hidayat.
Asosiasi di Bidang Pengawasan dan Perlindungan terhadap Para Pengusaha Depot Air Minum (Asdamindo) bahkan dengan tegas menolak wacana pelabelan BPA ini.
Ketua Asdamindo, Erik Garnadi, mengatakan galon guna ulang ini sudah digunakan sejak puluhan tahun lalu dan belum ada laporan itu berbahaya. BPOM juga sudah melakukan uji klinis terhadap galon itu dan dinyatakan lulus uji dan aman dikonsumsi baik bayi dan ibu hamil.
"Tapi kenapa sekarang ini tiba-tiba galon berbahan BPA ini kok dipermasalahkan dan malah ada wacana pelabelan BPA? Ini seperti ada persaingan bisnis di dalamnya. Kalau dilihat dari kacamata saya,” tukasnya.
Erik menegaskan wacana pelabelan BPA terhadap kemasan galon guna ulang ini jelas-jelas sangat merugikan para pengusaha depot air minum isi ulang. Para pengusaha depot akan banyak yang tutup usahanya. Sementara, pemerintah menggembor-gemborkan pengentasan kemiskinan, apalagi di tengah pandemi Covid-19 saat ini.
“Jadi, saya berharap permasalahan-permasalahan ini segera diselesaikan secara tuntas. Yang jelas, Asdamindo sangat tidak setuju dengan aturan tersebut,” ucapnya.
Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) ikut mencemaskan dampak rencana pelabelan wajib BPA pada galon guna ulang berbahan polikarbonat terhadap eksistensi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pasalnya, dampaknya itu pasti akan merembet pada pebisnis kelas kecil yang kini banyak terjun ke industri pengisian air minum.
Sekjen Ikappi, Reynaldi Sarijowan, mengatakan pada tahap awal, pelabelan BPA itu memang akan berdampak langsung terhadap bisnis industri besar, mengingat galon yang digunakan dalam pengisian ulang diproduksi oleh korporasi kelas atas.
"Namun, dalam jangka panjang kebijakan ini pasti berpotensi mereduksi skala bisnis UMKM. Apalagi, saat ini banyak masyarakat telah membuka usaha pengisian air minum dengan kemasan galon," tuturnya.