Kupang (AntaraNews NTT) - Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) Provinsi Nusa Tenggara Timur, Bobby Pitoby mengatakan tingginya biaya perolehan hak tanah dan bangunan (BPHTB) menjadi penyebab utama minimnya penyerapan rumah subsidi maupun komersil di wilayah itu.
"Pajak daerah ini masih sangat tinggi sehingga calon pembeli harus menyiapkan dana yang cukup besar di awal untuk dapat membeli rumah," kata Bobby Pitoby kepada Antara di Kupang, Senin (29/10), terkait minimnya penyerapan rumah sibsidi dan komersil di NTT.
Menurut dia, pajak daerah menjadi kendala dalam mendapatkan rumah bagi MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) meskipun mereka mampu membayar angsuran pada setiap bulannya.
Padahal, pemerintah sendiri telah memberikan kelonggaran bagi masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah untuk mendapatkan rumah tanpa uang muka.
Mengenai besarannya BPHTP, dia mengatakan, tergantung harga jual rumahnya berdasarkan type. "Tetapi rumus BPHTP adalah lima persen dari harga jual rumah dikurangi Rp60 juta," katanya
Untuk rumah subsidi misalnya harga di NTT Rp148,5 juta - Rp60 jutax5 persen dan menjadi Rp 4.425.000.
"Biaya BPHTP ini lumayan besar untuk ukuran masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di NTT, sedangkan DP bisa nol persen," katanya.
Baca juga: Pemkot Kupang bangun 102 unit rumah MBR
Faktor lain adalah minimnya penjualan rumah subsidi di daerah itu karena masih banyak masyarakat yang belum tahu tentang rumah subsidi.
"Hanya 20-30 persen masyarakat yang tahu informasi tentang rumah subsidi. Saya keliling NTT untuk menyampaikan informasi rumah subsidi. Di tempat-tempat yang saya masuk, 95 persen masyarakat tidak tahu tentang rumah bersubsidi," katanya.
Menurut dia, informasi tentang rumah subsidi belum familiar di tengah masyarakat. Selain itu, orang masih takut berkomitmen untuk membeli rumah sebagai tempat tinggal.
"Orang takut tidak bisa membayar cicilan setiap bulan. Pola pikir ini harus diubah karena dengan cicilan Rp900 ribu lebih itu, sangat kecil," katanya.
Dia mengatakan, pada cicilan dua tahun pertama memang terasa berat, tetapi setelah itu akan terasa kecil karena pendapatan terus meningkat, dan nilai uang makin turun, sementara cicilan itu flat.
"Ini juga menjadi alasan REI membuat expo satu tahun tiga kali karena masih banyak masyarakat belum tahu tentang rumah subsidi. Jangankan masyarakat desa, masyarakat kota Kupang saja masih belum tahu tentang rumah subsidi," kata Bobby.
Baca juga: Program Sejuta Rumah Tingkatkan Perekonomian Daerah
"Pajak daerah ini masih sangat tinggi sehingga calon pembeli harus menyiapkan dana yang cukup besar di awal untuk dapat membeli rumah," kata Bobby Pitoby kepada Antara di Kupang, Senin (29/10), terkait minimnya penyerapan rumah sibsidi dan komersil di NTT.
Menurut dia, pajak daerah menjadi kendala dalam mendapatkan rumah bagi MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) meskipun mereka mampu membayar angsuran pada setiap bulannya.
Padahal, pemerintah sendiri telah memberikan kelonggaran bagi masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah untuk mendapatkan rumah tanpa uang muka.
Mengenai besarannya BPHTP, dia mengatakan, tergantung harga jual rumahnya berdasarkan type. "Tetapi rumus BPHTP adalah lima persen dari harga jual rumah dikurangi Rp60 juta," katanya
Untuk rumah subsidi misalnya harga di NTT Rp148,5 juta - Rp60 jutax5 persen dan menjadi Rp 4.425.000.
"Biaya BPHTP ini lumayan besar untuk ukuran masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di NTT, sedangkan DP bisa nol persen," katanya.
Baca juga: Pemkot Kupang bangun 102 unit rumah MBR
Faktor lain adalah minimnya penjualan rumah subsidi di daerah itu karena masih banyak masyarakat yang belum tahu tentang rumah subsidi.
"Hanya 20-30 persen masyarakat yang tahu informasi tentang rumah subsidi. Saya keliling NTT untuk menyampaikan informasi rumah subsidi. Di tempat-tempat yang saya masuk, 95 persen masyarakat tidak tahu tentang rumah bersubsidi," katanya.
Menurut dia, informasi tentang rumah subsidi belum familiar di tengah masyarakat. Selain itu, orang masih takut berkomitmen untuk membeli rumah sebagai tempat tinggal.
"Orang takut tidak bisa membayar cicilan setiap bulan. Pola pikir ini harus diubah karena dengan cicilan Rp900 ribu lebih itu, sangat kecil," katanya.
Dia mengatakan, pada cicilan dua tahun pertama memang terasa berat, tetapi setelah itu akan terasa kecil karena pendapatan terus meningkat, dan nilai uang makin turun, sementara cicilan itu flat.
"Ini juga menjadi alasan REI membuat expo satu tahun tiga kali karena masih banyak masyarakat belum tahu tentang rumah subsidi. Jangankan masyarakat desa, masyarakat kota Kupang saja masih belum tahu tentang rumah subsidi," kata Bobby.
Baca juga: Program Sejuta Rumah Tingkatkan Perekonomian Daerah