Kupang (ANTARA) - Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Nusa Tenggara Timur menerapkan restorative justice di sejumlah lembaga pemasyarakatan (lapas) atau rumah tahanan (rutan) untuk mencegah terjadinya kelebihan kapasitas warga binaan pemasyarakatan.
Kepala Kanwil Kemenkumham Nusa Tenggara Timur Marciana D Jone kepada ANTARA di Kupang, Kamis, (29/9/2022) mengatakan bahwa restorative justice itu sendiri diartikan sebagai pemindahan WBP dengan mengutamakan keadilan bagi korban dan pelaku tindak pidana.
“Artinya pemberian hak-hak integrasi seperti pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan cuti menjelang pembebasan serta pemberian remisi hari raya Ini untuk mengurangi terjadinya kelebihan kapasitas WBP di Lapas dan Rutan,” katanya.
Ia mengatakan bahwa saat ini jumlah WBP di 18 unit pelaksana teknis (UPT) di bawah Kanwil Kemenkumham NTT mencapai 313 WBP, baik di lapas maupun di rutan.
Sementara kapasitas daya tampung hanya 289 orang. Dengan jumlah itu maka kini terjadi kelebihan WBP di beberapa lapas dan rutan di beberapa UPT dengan persentase mencapai 8,21 persen saja.
Secara umum ujar dia, seluruh lapas dan rutan di bawah Kanwil Kemenkumham NTT sudah dinyatakan layak karena berbagai pelayanan dan pembinaan bagi WBP sudah layak.
Beberapa hal yang bisa dikatakan sejumlah lapas dan rutan sudah layak karena, saat ini pembinaan kepada WBP terus dilakukan.
Baca juga: Kemenkumham gelar DJKI Mengajar pada lima sekolah di Kota Kupang
Pembinaan yang dilakukan itu, dalam hal pelatihan-pelatihan keterampilan, pembudidayaan tanaman hortikultura dan sebagainya.
Selain itu juga penataan lapas dan rutan yang rapi dan nyaman membuat WBP tidak merasa bahwa tempat mereka dibina itu adalah tempat yang menyeramkan.
Baca juga: Kemenkmuham sosialisasi RKUHP daring/luring jaring aspirasi masyarakat NTT
Sementara itu terkait pemodelan yang ideal dalam pengelolaan lapas dan rutan selain penerapan restorative justive, dilakukan juga pembinaan kemandirian serta pelayanan kesehatan kepada WBP.
Kepala Kanwil Kemenkumham Nusa Tenggara Timur Marciana D Jone kepada ANTARA di Kupang, Kamis, (29/9/2022) mengatakan bahwa restorative justice itu sendiri diartikan sebagai pemindahan WBP dengan mengutamakan keadilan bagi korban dan pelaku tindak pidana.
“Artinya pemberian hak-hak integrasi seperti pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan cuti menjelang pembebasan serta pemberian remisi hari raya Ini untuk mengurangi terjadinya kelebihan kapasitas WBP di Lapas dan Rutan,” katanya.
Ia mengatakan bahwa saat ini jumlah WBP di 18 unit pelaksana teknis (UPT) di bawah Kanwil Kemenkumham NTT mencapai 313 WBP, baik di lapas maupun di rutan.
Sementara kapasitas daya tampung hanya 289 orang. Dengan jumlah itu maka kini terjadi kelebihan WBP di beberapa lapas dan rutan di beberapa UPT dengan persentase mencapai 8,21 persen saja.
Secara umum ujar dia, seluruh lapas dan rutan di bawah Kanwil Kemenkumham NTT sudah dinyatakan layak karena berbagai pelayanan dan pembinaan bagi WBP sudah layak.
Beberapa hal yang bisa dikatakan sejumlah lapas dan rutan sudah layak karena, saat ini pembinaan kepada WBP terus dilakukan.
Baca juga: Kemenkumham gelar DJKI Mengajar pada lima sekolah di Kota Kupang
Pembinaan yang dilakukan itu, dalam hal pelatihan-pelatihan keterampilan, pembudidayaan tanaman hortikultura dan sebagainya.
Selain itu juga penataan lapas dan rutan yang rapi dan nyaman membuat WBP tidak merasa bahwa tempat mereka dibina itu adalah tempat yang menyeramkan.
Baca juga: Kemenkmuham sosialisasi RKUHP daring/luring jaring aspirasi masyarakat NTT
Sementara itu terkait pemodelan yang ideal dalam pengelolaan lapas dan rutan selain penerapan restorative justive, dilakukan juga pembinaan kemandirian serta pelayanan kesehatan kepada WBP.