Artikel - Anatomi konflik Sudan
Jika berkaca dari perjalanan konflik di Sudan sebelum ini, konflik sepertinya tak bisa segera diatasi, kecuali dua kubu yang bertikai sepakat bahwa perseteruan terus menerus antar-mereka hanya menyengsarakan Sudan dan membuat negara ini kehilangan mo
Jakarta (ANTARA) - Sejak merdeka dari Inggris pada 1956, Sudan terus dibelit konflik yang tak ada habisnya.
Negara ini bahkan terpecah menjadi dua pada 2011 ketika bagian selatannya yang kaya minyak dan berpenduduk mayoritas beragama non Islam memisahkan diri menjadi Republik Sudan Selatan.
Pemisahan diri itu adalah puncak dari perang saudara 22 tahun yang berlangsung dalam dua babak, yakni pada 1955-1972, dan pada 1983-2005.
Enam tahun setelah perang saudara itu berakhir, pemerintahan Jenderal Omar Hassan Ahmad al-Bashir menggelar referendum pada 2011 di mana 98 persen penduduk Sudan Selatan memilih menjadi negara tersendiri.
Bashir awalnya berkuasa lewat kudeta 1989 yang menggulingkan pemerintahan Perdana Menteri Sadiq al-Mahdi.
Setelah menjadi presiden yang terpilih lewat pemilihan umum, Bashir mengupayakan referendum Sudan Selatan yang tadinya diharapkan menutup babak kelam dalam sejarah Sudan.
Ternyata konflik di negara yang berbatasan dengan tujuh negara Afrika lainnya dan bertepi Laut Merah itu terus terjadi, yang acap karena kesenjangan pusat dan daerah, perbedaan etnis, termasuk antara etnis Arab dengan non Arab.
Pemerintah Sudan kembali menghadapi pemberontakan di Darfur yang berada di Sudan barat daya.
Guna menghadapi pemberontakan ini, pemerintahan Bashir mempersenjatai milisi Janjaweed yang berada di Sudan Barat dan Chad timur.
Milisi ini terkenal bengis sampai digolongkan masyarakat internasional sebagai pelaku genosida sehingga Dewan Keamanan PBB pun menyeru Janjaweed dilucuti. Bashir sendiri dianggap penjahat perang oleh PBB dan Barat.
Lama tak aktif, anasir-anasir Janjaweed dilembagakan dalam Pasukan Bantuan Cepat (RSF) oleh pemerintah Bashir pada 2013.
Mereka diaktifkan untuk memerangi gerakan-gerakan antipemerintah di Darfur, Kordofan Selatan, dan beberapa provinsi yang dilalui Sungai Nil Biru.
Sifatnya sebagai pasukan bantuan membuat RSF tak dalam komando angkatan bersenjata Sudan (SAF), melainkan di bawah badan intelijen negara (NISS) yang amat berkuasa.
RSF sendiri dipimpin oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo yang akrab disapa "Hemetti".
Pada 19 Desember 2018, terjadi unjuk rasa besar-besaran di Sudan akibat kenaikan harga bahan pokok yang disebabkan krisis inflasi dan mata uang.
Massa menuntut Presiden Bashir yang sudah berkuasa selama 30 tahun, agar mundur.
Bashir menolak dan penolakan ini malah mempersatukan semua kelompok oposisi untuk menggulingkan Bashir.
Terutama setelah tindakan keji rezim Bashir yang menggunakan RSF untuk menindas demonstran, angkatan bersenjata Sudan (SAF) turun tangan menyingkirkan Bashir dari kekuasaan pada 11 April 2019.
Pecah kongsi
Negara ini bahkan terpecah menjadi dua pada 2011 ketika bagian selatannya yang kaya minyak dan berpenduduk mayoritas beragama non Islam memisahkan diri menjadi Republik Sudan Selatan.
Pemisahan diri itu adalah puncak dari perang saudara 22 tahun yang berlangsung dalam dua babak, yakni pada 1955-1972, dan pada 1983-2005.
Enam tahun setelah perang saudara itu berakhir, pemerintahan Jenderal Omar Hassan Ahmad al-Bashir menggelar referendum pada 2011 di mana 98 persen penduduk Sudan Selatan memilih menjadi negara tersendiri.
Bashir awalnya berkuasa lewat kudeta 1989 yang menggulingkan pemerintahan Perdana Menteri Sadiq al-Mahdi.
Setelah menjadi presiden yang terpilih lewat pemilihan umum, Bashir mengupayakan referendum Sudan Selatan yang tadinya diharapkan menutup babak kelam dalam sejarah Sudan.
Ternyata konflik di negara yang berbatasan dengan tujuh negara Afrika lainnya dan bertepi Laut Merah itu terus terjadi, yang acap karena kesenjangan pusat dan daerah, perbedaan etnis, termasuk antara etnis Arab dengan non Arab.
Pemerintah Sudan kembali menghadapi pemberontakan di Darfur yang berada di Sudan barat daya.
Guna menghadapi pemberontakan ini, pemerintahan Bashir mempersenjatai milisi Janjaweed yang berada di Sudan Barat dan Chad timur.
Milisi ini terkenal bengis sampai digolongkan masyarakat internasional sebagai pelaku genosida sehingga Dewan Keamanan PBB pun menyeru Janjaweed dilucuti. Bashir sendiri dianggap penjahat perang oleh PBB dan Barat.
Lama tak aktif, anasir-anasir Janjaweed dilembagakan dalam Pasukan Bantuan Cepat (RSF) oleh pemerintah Bashir pada 2013.
Mereka diaktifkan untuk memerangi gerakan-gerakan antipemerintah di Darfur, Kordofan Selatan, dan beberapa provinsi yang dilalui Sungai Nil Biru.
Sifatnya sebagai pasukan bantuan membuat RSF tak dalam komando angkatan bersenjata Sudan (SAF), melainkan di bawah badan intelijen negara (NISS) yang amat berkuasa.
RSF sendiri dipimpin oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo yang akrab disapa "Hemetti".
Pada 19 Desember 2018, terjadi unjuk rasa besar-besaran di Sudan akibat kenaikan harga bahan pokok yang disebabkan krisis inflasi dan mata uang.
Massa menuntut Presiden Bashir yang sudah berkuasa selama 30 tahun, agar mundur.
Bashir menolak dan penolakan ini malah mempersatukan semua kelompok oposisi untuk menggulingkan Bashir.
Terutama setelah tindakan keji rezim Bashir yang menggunakan RSF untuk menindas demonstran, angkatan bersenjata Sudan (SAF) turun tangan menyingkirkan Bashir dari kekuasaan pada 11 April 2019.
Pecah kongsi