Artikel - Anatomi konflik Sudan

id Konflik Sudan,RSF vs SAF,Mohamed Hamdan Dagalo,Abdel Fattah al-Burhan,artikel perang Oleh Jafar M Sidik

Artikel - Anatomi konflik Sudan

Seorang pria berjalan dengan latar belakang acap membumbug di atas gedung-gedung yang dibombardir dari udara di Khartoum Utara, Sudan, 1 Mei 2023, setelah Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) berkonflik dengan Pasukan Bantuan Bantuan Cepat (RSF). (REUTERS/MOHAMED NURELDIN ABDALLAH)

Jika berkaca dari perjalanan konflik di Sudan sebelum ini, konflik sepertinya tak bisa segera diatasi, kecuali dua kubu yang bertikai sepakat bahwa perseteruan terus menerus antar-mereka hanya menyengsarakan Sudan dan membuat negara ini kehilangan mo
Unjuk rasa massa berhenti setelah kelompok-kelompok politik yang mengorganisasi protes terhadap Bashir dan Dewan Peralihan Militer menandatangani Kesepakatan Politik Juli dan Rancangan Konstitusi dalam tahun itu juga.

Ini membuka bagi hadirnya pemerintahan sipil di Sudan.

Namun, konflik sipil dan militer kembali pecah pada Oktober 2021 ketika SAF yang dipimpin Jenderal Abdel Fattah al-Burhan membubarkan pemerintahan Perdana Menteri Abdalla Hamdok.

Kudeta ini juga dibantu RSF. Burhan dan Hemetti lalu menjadi ketua dan wakil ketua dewan transisi sipil Sudan, yang otomatis menjadi para pemimpin de facto di negara itu.

Harmoni itu tak lama karena pada Februari 2023, Burhan dan Hemetti pecah kongsi yang berpangkal dari soal menentukan kerangka waktu integrasi RSF ke dalam SAF.

Pada 15 April 2023, pertempuran pecah antara RSF dan SAF setelah RSF memobilisasi pasukan di seluruh Sudan, termasuk di Darfur.

SAF dan junta Sudan pimpinan Burhan menyebut tindakan RSF itu sebagai pemberontakan.

Konflik pun pecah untuk menyengsarakan rakyat Sudan dan sekaligus membuat misi-misi diplomatik asing di sana ramai-ramai mengungsikan warganya dari Sudan, termasuk Indonesia.

Dari siklus konflik itu sendiri, terlihat jelas konflik Sudan senantiasa melibatkan pihak-pihak yang tadinya bersekutu, namun akhirnya saling memerangi.

Konflik menjadi semakin rumit karena tidak saja melibatkan RSF dan SAF, namun juga negara-negara lain, terlebih karena posisi Sudan yang strategis di tepi Laut Merah yang vital bagi jalur perdagangan dan pelayaran dunia.

Titik pangkal konflik ini sendiri adalah bagaimana mengintegrasikan RSF dalam SAF, selain proses transisi pemerintahan sipil yang semakin rumit dan terpolitisasi.

Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemetti yang memimpin RSF, menginginkan integrasi dengan SAF dilakukan bertahap.

Sebaliknya, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan yang memimpin SAF dan pemimpin de facto Sudan sebagai presiden negara ini, menginginkan integrasi itu dilakukan sesegera mungkin.

Sejumlah kalangan menilai Hemetti khawatir tak bisa menggunakan RFS sebagai tunggangan politiknya jika cepat dilebur ke dalam SAF. Hemmeti juga menganggap SAF telah dikendalikan oleh anasir-anasir fundamentalis dari sisa-sisa pemerintahan Omar al-Bashir.

Unikya, Mesir yang diperintah militer dan sangat anti terhadap fundamentalisme, malah memihak SAF.

Mesir agaknya melihat SAF sebagai kekuatan militer yang sah di Sudan, sedangkan RSF hanyalah milisi dan kekuatan pendukung dalam sebuah sistem angkatan bersenjata.

Mesir adalah salah satu dari tujuh negara yang berbatasan langsung dengan Sudan.

RSF sendiri disebut-sebut mendapatkan dukungan dari negara-negara Arab Teluk, khususnya Uni Emirat Arab.


Kian pelik