DKP NTT: Nelayan tak boleh menebar jaring di wilayah terumbu karang
...Jika para nelayan menebar jaring di pesisir pantai tentu sudah melanggar ketentuan yang berlaku, kata Andy Amuntoda ketika dihubungi dari Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, Rabu, (14/8)
Maumere (ANTARA) - Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengingatkan nelayan untuk mematuhi aturan penangkapan ikan yang telah ditetapkan, salah satunya tidak boleh menebar jaring di pesisir pantai yang menjadi wilayah perlindungan terumbu karang.
Hal itu ditegaskan Kepala Kantor Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT Wilayah Kabupaten Lembata, Flores Timur, dan Sikka, Andy Amuntoda karena adanya aktivitas menebar jaring (pukat) yang merusak terumbu karang di Kabupaten Flores Timur.
"Jika para nelayan menebar jaring di pesisir pantai tentu sudah melanggar ketentuan yang berlaku," kata Andy Amuntoda ketika dihubungi dari Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, Rabu, (14/8).
Ia menjelaskan telah menerima laporan dari Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Sandominggo di Larantuka bahwa adanya aktivitas menebar pukat di kawasan perlindungan terumbu karang.
Selain pukat yang tersangkut pada terumbu karang, ada pula Hiu Tokek (Leopard epaulette shark) yang dilindungi yang ikut terjaring dalam pukat.
Andy menjelaskan semua aktivitas yang terjadi di wilayah laut di bawah 12 mil menjadi kewenangan pengelolaan pemerintah provinsi.
Untuk wilayah perairan Larantuka, upaya operasi pengawasan dan pembinaan kepada nelayan telah dilakukan dengan membentuk kelompok masyarakat yang ikut berpartisipasi menjaga dan mengamankan laut.
Andy menegaskan agar nelayan mematuhi regulasi dalam aktivitas penangkapan ikan sehingga nelayan bisa mendapatkan ikan yang baik dan ekosistem laut tetap terjaga.
Jika ditemukan nelayan yang menebar jaring di bawah 4 mil laut, tentunya akan diproses sesuai ketentuan yang berlaku.
"Apalagi aktivitas menebar pukat yang hanyut dan menjaring terumbu karang itu bisa merusak ekosistem laut," ucapnya.
Dalam keterangan resmi yang diterima dari Pokmaswas Sandominggo Larantuka, evakuasi pukat hanyut sebanyak tiga buah di tepi kawasan perlindungan terumbu karang Larantuka hingga ke laut Kelurahan Pantai Besar, Kecamatan Larantuka telah dilakukan pada Senin (12/8).
Anggota Pokmaswas Sandominggo, Marselinus Doren menjelaskan tim evakuasi yang terdiri dari anggota Pokmaswas Sandominggo dan Relawan BERGUNA melakukan proses evakuasi jaring pukat yang banyak tersangkut pada terumbu karang.
Tim evakuasi menyelam untuk melepaskan jaring dari terumbu karang dengan cara digunting agar tidak merusak terumbu karang.
Dari banyaknya ikan yang tersangkut pukat tersebut, terjaring seekor Hiu Tokek yang kemudian dilepaskan dari jaring pukat.
Baca juga: DKP NTT sebut 3.185 nelayan di Flotim telah miliki Kartu Kusuka
Hiu tokek merupakan salah satu jenis hiu yang sering ditemukan dalam kawasan perlindungan terumbu karang Larantuka dan memiliki status perlindungan penuh sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2023
Baca juga: DKP: Hiu paus terdampar di Larantuka dilepaskan kembali ke laut
Adapun pukat yang dievakuasi diduga milik nelayan yang secara diam-diam dipasang, namun terpaksa harus ditinggal karena adanya aktivitas patroli pengawasan oleh anggota Pokmaswas Sandominggo.*
Hal itu ditegaskan Kepala Kantor Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT Wilayah Kabupaten Lembata, Flores Timur, dan Sikka, Andy Amuntoda karena adanya aktivitas menebar jaring (pukat) yang merusak terumbu karang di Kabupaten Flores Timur.
"Jika para nelayan menebar jaring di pesisir pantai tentu sudah melanggar ketentuan yang berlaku," kata Andy Amuntoda ketika dihubungi dari Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, Rabu, (14/8).
Ia menjelaskan telah menerima laporan dari Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Sandominggo di Larantuka bahwa adanya aktivitas menebar pukat di kawasan perlindungan terumbu karang.
Selain pukat yang tersangkut pada terumbu karang, ada pula Hiu Tokek (Leopard epaulette shark) yang dilindungi yang ikut terjaring dalam pukat.
Andy menjelaskan semua aktivitas yang terjadi di wilayah laut di bawah 12 mil menjadi kewenangan pengelolaan pemerintah provinsi.
Untuk wilayah perairan Larantuka, upaya operasi pengawasan dan pembinaan kepada nelayan telah dilakukan dengan membentuk kelompok masyarakat yang ikut berpartisipasi menjaga dan mengamankan laut.
Andy menegaskan agar nelayan mematuhi regulasi dalam aktivitas penangkapan ikan sehingga nelayan bisa mendapatkan ikan yang baik dan ekosistem laut tetap terjaga.
Jika ditemukan nelayan yang menebar jaring di bawah 4 mil laut, tentunya akan diproses sesuai ketentuan yang berlaku.
"Apalagi aktivitas menebar pukat yang hanyut dan menjaring terumbu karang itu bisa merusak ekosistem laut," ucapnya.
Dalam keterangan resmi yang diterima dari Pokmaswas Sandominggo Larantuka, evakuasi pukat hanyut sebanyak tiga buah di tepi kawasan perlindungan terumbu karang Larantuka hingga ke laut Kelurahan Pantai Besar, Kecamatan Larantuka telah dilakukan pada Senin (12/8).
Anggota Pokmaswas Sandominggo, Marselinus Doren menjelaskan tim evakuasi yang terdiri dari anggota Pokmaswas Sandominggo dan Relawan BERGUNA melakukan proses evakuasi jaring pukat yang banyak tersangkut pada terumbu karang.
Tim evakuasi menyelam untuk melepaskan jaring dari terumbu karang dengan cara digunting agar tidak merusak terumbu karang.
Dari banyaknya ikan yang tersangkut pukat tersebut, terjaring seekor Hiu Tokek yang kemudian dilepaskan dari jaring pukat.
Baca juga: DKP NTT sebut 3.185 nelayan di Flotim telah miliki Kartu Kusuka
Hiu tokek merupakan salah satu jenis hiu yang sering ditemukan dalam kawasan perlindungan terumbu karang Larantuka dan memiliki status perlindungan penuh sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2023
Baca juga: DKP: Hiu paus terdampar di Larantuka dilepaskan kembali ke laut
Adapun pukat yang dievakuasi diduga milik nelayan yang secara diam-diam dipasang, namun terpaksa harus ditinggal karena adanya aktivitas patroli pengawasan oleh anggota Pokmaswas Sandominggo.*