Jakarta (ANTARA) - Wajah cemas dan perasaan takut terpancar dari warga yang mendiami Desa Pululera, Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur pada Jumat (8/11) sore, saat melihat Gunung Api Lewotobi Laki-laki, kembali mengeluarkan abu yang tinggi menjulang.
Gunung berketinggian 1.584 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu telah mengalami erupsi sebanyak lebih dari 900 kali, pada 2024 ini.
"Cepat, pakai sepatu, kemasi barang yang perlu, kita semua mengungsi! Jangan panik!" kata seorang petugas di Pos Pengamatan Gunung Api Lewotobi Laki-laki, yang terletak di pintu masuk desa yang berjarak sekitar 7 kilometer ke arah utara.
Pada saat yang sama, petugas lainnya juga tengah mempersiapkan alat-alat yang akan mereka selamatkan, seperti alat pemantauan gunung api secara portabel, yang memungkinkan mereka untuk tetap mengamati aktivitas gunung sembari mengungsi.
Mengetahui para petugas pengamat gunung api yang akan mengungsi rasanya menjadi pemicu adrenalin ANTARA yang saat itu berkesempatan untuk meliput langsung. Sebab, tak pernah terbayangkan dalam benak kami bahwa para "penjaga terakhir" gunung api ini juga akan ikut mengungsi.
'Akan sebahaya apa bencana yang akan kami alami ini, jika para penjaganya saja juga sampai mengungsi," kira-kira itu yang kami pikirkan saat itu.
Tak lama setelah itu, kami bergegas menuju ke sepeda motor yang kami gunakan untuk berlindung dan mencari tempat berteduh yang lebih aman. Pada saat itu pula, hujan abu dan pasir vulkanis mulai turun.
Hujan pasir yang terjadi memaksa kami untuk tidak memacu sepeda motor yang kami gunakan dengan kecepatan di atas 20 km per jam, itu pun dilakukan sembari mengernyitkan dahi dan memperkecil bukaan mata untuk mengantisipasi masuknya pasir yang bisa membahayakan kami.
Hanya sekitar lima menit, kami tiba di Kantor Desa Pululera untuk bertahan dari hujan pasir vulkanis yang intensitasnya kian meningkat.
"Seeessss", bunyi pasir yang jatuh di atas atap seng bangunan itu sayup-sayup terdengar oleh kami dan beberapa pengungsi lainnya. Kami menunggu di kantor desa selama sekitar dua jam. Namun, kondisinya terlihat tak kunjung membaik.
Kondisi yang mulai gelap, hujan pasir yang belum mereda, serta Jalan Nasional Trans Flores sebagai satu-satunya akses yang masuk zona merah (berada di radius 3-5km) membuat kami mengurungkan niat untuk turun dan kembali.
Bagi kami, memaksa untuk menerobos berbagai kondisi tersebut dengan sepeda motor menuju ke Posko Pengungsian di Desa Lewolaga, Titehena, Flores Timur yang kami tempati sebelumnya adalah hal konyol yang bisa membahayakan nyawa kami.
Kondisi itu juga menjadikan Desa Pululera seakan terisolasi, sehingga para warga kebanyakan mengungsi secara mandiri. "Warga di sini semua naik ke atas mas, ke utara sekitar 3-4 km dari sini, ikuti saja jalan ini, nanti warga yang berteduh sementara di sini juga semua akan ke sana" kata Kepala Desa Pululera, Paulus Soni Tukan yang berjaga di kantor desa itu.
Oleh karena itu, kemudian kami juga beranjak menuju lokasi pengungsian mandiri yang dimaksud. Seperti sebelumnya, secara perlahan kami menembus wilayah desa yang sudah diselimuti oleh pasir itu. Semakin ke utara, medan yang kami tempuh semakin terjal, hingga akhirnya kami menemukan wilayah yang secara samar kami lihat sebagai wilayah hutan.
Sesuai arahan kepala desa, kami hanya mengikuti jalan desa beraspal hotmix itu, sembari menengok ke kanan dan ke kiri, mencari di mana letak adanya pos pengungsian itu.
Menjadi pengungsi