Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, kami melihat cahaya dari kejauhan, namun kami tak yakin karena sumber cahaya tersebut bersumber dari balik semak-semak dan pepohonan yang juga tak bisa kami lihat secara jelas karena pada saat itu sudah tidak ada lagi sinar mentari yang menyinari.
Tiba-tiba, terdengar suara seorang laki-laki yang berteriak. "Ayo mas, cepat ke sini, hati-hati langkahnya," kata seorang pengungsi sembari menyoroti kami dengan cahaya yang bersumber dari senter.
Ternyata beliau adalah Konstantinus Balo, warga sekaligus Kepala Dusun A, Desa Pululera yang telah berada di sana sejak erupsi dahsyat Gunung Lewotobi Laki-laki yang terjadi pada Minggu malam (3/11). Ia bercerita, para warga telah berada di lokasi tersebut sejak erupsi besar yang melanda, karena warga takut akan lontaran batu pijar hasil erupsi.
Menurutnya, para warga saat itu sudah mulai terbiasa dengan hujan pasir vulkanis yang menimpa desa mereka, karena aktivitas Gunung Lewotobi Laki-laki yang tinggi. Namun, adanya lontaran batu membuat mereka takut dan memilih untuk menetap di wilayah yang berjarak sekitar 10 km dari puncak gunung tersebut.
Alhasil, sekitar 700 warga desa mengungsi ke lokasi ini, dengan menempati tenda-tenda sederhana berukuran sekitar 3x5 meter beratapkan terpal, dan tidur beralaskan terpal atau panggung bambu sederhana.
Di wilayah itu juga, para pengungsi membuat sejumlah titik lokasi pendirian tenda, yang berjumlah sekitar 40 tenda dengan kondisi serupa, tanpa aliran listrik, maupun sumber air yang memadai untuk melakukan aktivitas Mandi, Cuci, dan Kakus (MCK).
Tak lama kemudian, hujan pasir mulai berhenti. Suasana yang gelap, sesekali diselingi suara binatang-binatang, ditambah dengan hembusan angin di perbukitan yang tidak kunjung berhenti membuat tubuh kami tak bisa lepas dari tangan yang melingkari tubuh kami.
Namun, sambutan makan malam berupa ikan goreng dan sepiring nasi yang diberikan oleh para warga mampu mengalahkan suasana dingin yang kami alami untuk mengakhiri hari, guna bersiap untuk kembali keesokan paginya.
Akan tetapi, takdir Tuhan berkata lain. Keesokan harinya, sekitar pukul 04.00 WITA kami terbangun akibat dentuman yang terdengar dari arah gunung Lewotobi Laki-laki. Dentuman itu juga diikuti dengan muntahan lava pijar yang tersebar ke berbagai penjuru, yang diikuti dengan hujan pasir.
Kondisi itu memaksa kami untuk bertahan hingga pukul 07.45 WITA, baru kemudian melanjutkan perjalanan setelah situasinya terbilang kondusif dan aman untuk menempuh perjalanan sekitar 25 km dengan sepeda motor yang kami tumpangi.
Di tengah perjalanan, kami menyempatkan diri untuk singgah ke Kantor Desa Pululera yang dekat dengan sumber air, untuk membersihkan kendaraan yang kami gunakan dari sisa sisa pasir vulkanis, sebab sebelumnya kami mendengar adanya bunyi-bunyian aneh, yang mungkin ditimbulkan dari gumpalan pasir vulkanis yang menumpuk di bagian sistem pendinginan mesin dari sepeda motor yang kami tumpangi.
Belum selesai kami membersihkan sepeda motor itu, dentuman keras kembali terdengar. Tak lama berselang, dentuman gunung berapi itu disertai dengan muntahan kerikil vulkanis, yang kembali menghujani wilayah di sekitar Gunung Lewotobi Laki-laki. Hingga akhirnya sekitar pukul 10.45 kami baru benar-benar bisa meninggalkan wilayah Desa Pululera.
Jalan tertutup kerikil vulkanis