Indef ingatkan pemerintah berhati-hati buat regulasi soal PPN 12 persen

id PPN 12 persen, pajak, agus herta sumarto, pajak pertambahan nilai, pajak 12 persen 2025,Srimulyani, indef, menkeu, pungu

Indef ingatkan pemerintah berhati-hati buat regulasi soal PPN 12 persen

Arsip foto - Pelayan warung menyiapkan lauk pauk untuk pembeli di Kota Serang, Banten, Selasa (15/10/2024). Seiring dengan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai Januari 2025, pemerintah memberikan pengecualian pada beberapa jenis barang yang tidak akan terdampak diantaranya makanan dan minuman yang tersaji di restoran, hotel, warung, rumah makan, serta kebutuhan pokok seperti beras, daging, dan sayur-sayuran. ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto/pri.

...Untuk menaikkan tax ratio kita salah satunya adalah dengan menaikkan tarif pajak, walaupun masih ada cara lain. Namun, pemerintah juga harus hati-hati jangan sampai kenaikan pajak ini malah menggerus daya beli, ujar Agus saat dihubungi dari Jakart
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Agus Herta Sumarto mengingatkan agar pemerintah berhati-hati membuat regulasi terkait kenaikan pajak, agar tidak menurunkan daya beli masyarakat.

"Untuk menaikkan tax ratio kita salah satunya adalah dengan menaikkan tarif pajak, walaupun masih ada cara lain. Namun, pemerintah juga harus hati-hati jangan sampai kenaikan pajak ini malah menggerus daya beli," ujar Agus saat dihubungi dari Jakarta, Selasa, (19/11).

Dirinya pun memahami apa yang dilakukan pemerintah dengan menaikkan tarif pajak. Pasalnya, salah satu permasalahan dalam perpajakan adalah masih rendahnya tax ratio Indonesia dibandingkan negara G20 serta beberapa negara di ASEAN.

Untuk tahap awal, ia mengusulkan agar implementasi PPN 12 persen yang akan dipungut pada 2025 diterapkan terhadap sektor-sektor tertentu yang tidak berpengaruh secara langsung terhadap daya beli masyarakat luas.

Menurutnya, pemilihan produk elektronik, fesyen, dan otomotif merupakan langkah yang cukup bijak karena produk-produk ini bukanlah produk primer yang berkaitan dengan kebutuhan pokok masyarakat luas, ketiga jenis produk ini menurutnya masuk ke kategori kebutuhan sekunder, bahkan sebagian masuk ke dalam luxury goods atau barang mewah.

"Jadi nanti yang terkena efek secara langsung adalah masyarakat kelas menengah atas yang memiliki penghasilan relatif tinggi," katanya.

Ia juga memprediksi, kenaikan PPN ini di awal implementasi mungkin akan terasa ada efeknya, terutama terhadap jumlah permintaan. Namun, katanya, mengingat konsumen adalah kelas menengah atas, adaptasi dan penyesuaian pola konsumsi akan terjadi sehingga dalam jangka menengah panjang pola konsumsi akan kembali normal.

Diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal tetap dijalankan sesuai mandat Undang-Undang (UU).

Wacana PPN 12 persen tertuang dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disusun pada 2021. Kala itu, pemerintah mempertimbangkan kondisi kesehatan hingga kebutuhan pokok masyarakat yang terimbas oleh pandemi COVID-19.

"Artinya, ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah tidak punya afirmasi atau perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan dan bahkan waktu itu termasuk makanan pokok," ujar Sri Mulyani.

Dia mengatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dijaga kesehatannya, dan pada saat yang sama, juga mampu berfungsi merespons berbagai krisis.


Baca juga: Artikel - PPN 12 persen: Antara menjaga kesehatan APBN dan daya beli masyarakat

Baca juga: Ada potensi kontraksi ekonomi bila PPN naik 12 persen, menurut Indef
Baca juga: PDIP dukung pembebasan PPN rumah di bawah harga Rp2 miliar