Jakarta (ANTARA) - Dalam diskursus kebijakan publik, kelas menengah sering terpinggirkan karena terlalu "kaya" untuk mendapat subsidi, tetapi juga terlalu "miskin" untuk menikmati kenyamanan yang dimiliki kelompok atas.
Hingga muncul fenomena kelas menengah yang terjepit atau middle-class squeeze sebagai akibat dari berbagai kebijakan yang men-sandwich mereka dalam keadaan yang kurang menguntungkan.
Thomas Piketty dalam bukunya berjudul Capital in the Twenty-First Century (2014) menjelaskan bahwa kesenjangan kekayaan meningkat ketika tingkat pengembalian modal lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi.
Kondisi ini membuat kelas atas terus memperkaya diri, sementara kelas menengah, yang bergantung pada upah, tertinggal akibat stagnasi pendapatan dan kenaikan biaya hidup.
Piketty mencontohkan konsentrasi kekayaan global, seperti di AS, yang terus meningkat sejak 1980-an, dengan 10 persen populasi terkaya menguasai mayoritas kekayaan tersebut.
Ia menyarankan pajak kekayaan progresif sebagai solusi untuk mengurangi kesenjangan dan memberikan peluang lebih besar bagi kelas menengah.
Buku itu menjadi relevan dalam konteks Indonesia di mana kelas menengah mengambil peran yang sangat vital dalam ekonomi sebagai motor utama, penggerak konsumsi domestik, dan penopang stabilitas sosial namun menghadapi tekanan biaya hidup dan akses terbatas ke modal.
Mereka juga kerap berada di posisi yang rentan terhadap kebijakan ekonomi dan perpajakan.
Tidak jarang kebijakan yang diambil, meski bertujuan untuk mendongkrak penerimaan negara atau mendorong pembangunan, justru memberikan dampak negatif pada kelompok ini.
Tekanan ini kerap memunculkan narasi "kelas menengah yang terjepit." Meskipun, di balik segala tantangan ini, ada peluang besar untuk menciptakan solusi yang mencerahkan.
Salah satu isu utama yang dihadapi kelas menengah adalah beban pajak yang dirasa tidak seimbang dengan manfaat yang mereka terima.
Kelas menengah sering kali menjadi tulang punggung penerimaan pajak, baik melalui pajak penghasilan (PPh) maupun pajak tidak langsung seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa sebagian penerimaan PPh individu berasal dari kelompok kelas menengah, yang berada di rentang penghasilan Rp60 juta hingga Rp250 juta per tahun.
Dan berdasarkan struktur tarif Pajak Penghasilan (PPh) sesuai Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang berlaku, penghasilan dalam rentang tersebut dikenakan tarif progresif yang lebih tinggi, yaitu 15 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rp60 juta hingga Rp250 juta.
Namun, manfaat langsung dari penerimaan pajak ini sering kali tidak terasa oleh mereka, karena anggaran publik lebih banyak dialokasikan untuk program subsidi bagi kelompok miskin atau pembangunan infrastruktur besar yang belum sepenuhnya relevan dengan kebutuhan sehari-hari mereka.
Kondisi ini diperberat oleh kebijakan ekonomi yang sering kali tidak memperhatikan dampaknya pada kelas menengah. Misalnya, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) beberapa tahun lalu yang langsung memukul daya beli mereka.
Biaya transportasi, pendidikan, dan kesehatan meningkat, sementara upah riil tidak tumbuh secepat kenaikan biaya hidup.
Namun, melihat dari perspektif yang lebih luas, kebijakan perpajakan dan ekonomi tidak selalu menjadi beban bagi kelas menengah.
Kebijakan redistributif, seperti insentif pajak atau dukungan langsung, diharapkan dapat membantu mengatasi kesenjangan dan memperkuat peran kelas menengah dalam pembangunan ekonomi.
Seiring dengan itu reformasi dalam sistem perpajakan dilakukan untuk menciptakan rasa keadilan.
Dengan perencanaan yang tepat, kebijakan ini bisa menjadi alat untuk memperkuat kelas menengah dan membuka jalan bagi mobilitas sosial yang lebih tinggi.
Insentif Pajak