Jakarta (ANTARA) - Wacana penggabungan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA, Radio Republik Indonesia (RRI), dan Televisi Republik Indonesia (TVRI), terus bergulir seiring berjalannya pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Radio dan Televisi Republik Indonesia (RUU RTRI) di Komisi VII DPR RI.
Gagasan merger ANTARA, RRI, dan TVRI ini dinilai relevan guna memperkokoh posisi penyiaran publik Nasional atau National Public Broadcasting (NPB) melalui sinergi kelembagaan, efisiensi anggaran, dan konsolidasi konten di tengah arus digitalisasi dan benturan disrupsi informasi yang makin keras.
Memang tidak mudah, langkah perubahan untuk menyatukan ANTARA, RRI, dan TVRI ini terkesan masih "bertepuk sebelah tangan".Belum mendapat sokongan penuh dari sebagian pemangku kepentingan, termasuk internal ketiga lembaga.
Sejumlah argumen mengemuka, masih berorientasi pada pijakan romantisme sejarah masa lalu: demi menjaga nama lembaga, mempertahankan aset sejarah, dan mempertahankan struktur yang telanjur mapan.
Padahal, ikhtiar perubahan terus bergerak, “menggedor” kebuntuan jalannya pembahasan regulasi di ruang-ruang legislasi DPR. Pertanyaan kritisnya, apakah mempertahankan romantisme sejarah menjamin keberlanjutan fungsi lembaga penyiaran di era serba digital ini?
Pengalaman global
India memberikan contoh relevan terkait wacana penggabungan lembaga penyiaran ini. Pemerintahnya membentuk Prasar Bharati, sebuah badan siaran publik nasional yang menaungi All India Radio dan Doordarshan. Struktur holding ini memungkinkan masing-masing lembaga tetap mempertahankan identitas, sembari mengoptimalkan sinergi kelembagaan dan efisiensi anggaran. Konten radio dan televisi terintegrasi dengan baik, dengan target audiens yang lebih masif dan relevan.
Model serupa harusnya dapat diadaptasi sebagai lompatan visi lembaga penyiaran publik di Indonesia. Dengan mempertahankan eksistensi RRI, TVRI, dan ANTARA agar tetap hidup sebagai unit atau sub-brand, dengan satu entitas baru yang adaptif dengan perubahan teknologi. Sehingga mampu mengelola integrasi platform dan strategi konten di era "new media".
LKBN ANTARA, misalnya, dapat dikembangkan sebagai pusat distribusi berita daring bertaraf internasional, dengan RRI dan TVRI menjadi bagian dari support system. Sementara studio siaran RRI dan TVRI dioptimalkan sebagai pusat kreatif siaran digital dengan isu-isu lokal dalam skala nasional. Fungsi internasional dalam hal ini dapat diartikan sebagai second track diplomacy, menguatkan peran negara dalam kebijakan-kebijakan strategis luar negeri.
Merawat sejarah
Memang, alasan pelestarian sejarah mencuat karena ketiga lembaga dianggap berkontribusi pada sejarah bangsa. Namun keinginan merawat nilai kesejarahan itu perlu dimaknai secara realistis dan dinamis.
Coba lihat, hingga kini, dokumentasi tentang siaran RRI dan TVRI masih terbatas, bahkan belum sepenuhnya terdigitalisasi. Jika memang ingin menjaga nilai kesejarahan itu, maka pendekatannya harus relevan, misalnya dengan membangun museum digital, mengarsipkan siaran penting, dan menyediakan ruang publik untuk mengenali kontribusi dan peran lembaga ini dalam perjalanan bangsa, bukan sekadar narasi berserakan.
Sebaliknya, mempertahankan aset fisik yang tidak lagi produktif justru menjadi beban fiskal. Alih fungsi bangunan menjadi pusat inovasi media, ruang pelatihan konten digital, atau co-working kreatif dapat menjadi solusi yang tetap menghargai nilai sejarah sekaligus menjawab kebutuhan masa kini.
Tantangan faktual
Sementara diskursus masih berputar pada aspek simbolik, tantangan riil terus bergerak cepat.
Data KPI 2023 mencatat, pangsa siaran RRI dan TVRI hanya sekitar 2,3 persen dari total konsumsi media nasional.
Polarisasi informasi dan penyebaran hoaks meningkat, sementara peran media publik sebagai penjernih informasi melemah. Hasil survei Litbang Kompas (2022) juga menunjukkan, hanya 12 persen generasi muda mengakses RRI dan TVRI secara rutin.
Kondisi ini menunjukkan perlunya penguatan model layanan. Penggabungan tiga lembaga media negara dapat menghasilkan satu ekosistem digital terpadu: platform konten lintas media berbasis kecerdasan buatan yang adaptif terhadap kebiasaan konsumsi informasi masyarakat.
Sebagai contoh, liputan investigasi ANTARA dapat diolah menjadi podcast RRI dan dokumenter TVRI secara serempak, dalam satu siklus distribusi yang efisien dan relevan secara formatologi.
Fungsi lebih utama
Nama dan simbol institusi memang penting, tetapi dalam ekosistem penyiaran publik, fungsi jauh lebih esensial. BBC di Inggris tetap dipercaya bukan karena namanya semata, melainkan karena terus berinovasi --dari BBC Sounds hingga BBC Verify--, dengan tetap menjaga prinsip independensi dan akurasi.
Jadi, jika ANTARA, RRI, dan TVRI digabung dalam satu entitas media publik nasional, orientasinya harus diperjelas.
Keberadaannya harus mewujud sebagai penjaga demokrasi dengan menghadirkan konten edukasi, literasi politik, dan pemeriksaan fakta.
Sebagai mitra komunikasi strategis pemerintah, untuk memastikan informasi saat krisis dapat diakses secara cepat dan kredibel.
Sebagai pusat pengembangan SDM media dengan membuka ruang bagi jurnalis dan kreator muda lokal untuk berkembang.
Menjadi legacy
Indonesia tidak kekurangan contoh keberhasilan transformasi lembaga bersejarah. PT KAI, misalnya, sukses bermetamorfosis dari perusahaan merugi menjadi penyumbang triliunan rupiah ke kas negara melalui modernisasi layanan dan digitalisasi.
Transformasi yang sama dibutuhkan dalam sektor penyiaran publik. Agar ANTARA, RRI, dan TVRI, tidak sekadar menjadi simbol masa lalu, tetapi living legacy yang tumbuh menjawab kebutuhan zaman.
Langkah ke depan bukan menghapus sejarah, melainkan membawanya maju ke masa depan yang lebih relevan.
Editor: Masuki M Astro
*) Dr Eko Wahyuanto adalah dosen Sekolah Tinggi Multimedia MMTC Yogyakarta
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Suara Indonesia: berbagi peran ANTARA, RRI, dan TVRI (2)

Suara Indonesia: Berbagi peran ANTARA, RRI, dan TVRI


Wakil Ketua Komisi VII DPR Evita Nursanty memberikan pandangan saat Kunjungan Kerja Reses Masa Persidangan II Tahun 2024-2025 di Kota Cilegon, Banten, Rabu (26/3/2025). Kunjungan kerja yang diikuti sejumlah lembaga penyiaran negara seperti LKBN Antara, TVRI dan RRI bersama kementerian dan pemerintah daerah tersebut membahas tentang publikasi dan promosi potensi pariwisata guna mendorong geliat UMKM serta ekonomi kreatif di Banten. ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/nym.