Jakarta (ANTARA) - Indonesia tengah berlari menuju mimpi besar swasembada gula. Pemerintah menargetkan swasembada gula konsumsi pada 2028 dan gula industri pada 2030.
Sebuah ambisi yang tak hanya soal memenuhi kebutuhan domestik, tetapi juga mengurangi kebergantungan pada impor yang telah lama membebani neraca perdagangan.
Di balik target ini, ada harapan petani, lahan yang terus diperluas, dan mesin-mesin pabrik yang bersiap menggiling harapan.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dengan optimistis menyatakan paling lambat empat atau lima tahun, Indonesia bisa mulai meraih swasembada gula.
Dalam beberapa tahun terakhir, kebutuhan gula nasional terus meningkat. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, kebutuhan gula konsumsi dan industri tahun 2025 diproyeksikan mencapai 9,1 juta ton, terdiri atas 3,4 juta ton untuk konsumsi rumah tangga dan 5,7 juta ton untuk kebutuhan industri.
Sementara itu, produksi gula nasional tahun 2025 diproyeksikan sebesar 2,9 juta ton. Artinya, produksi dalam negeri belum bisa memenuhi kebutuhan nasional.
Kesenjangan antara produksi dan kebutuhan membuat Indonesia harus mengimpor jutaan ton gula setiap tahun. Selain membebani neraca perdagangan, kebergantungan ini membuat negara rentan terhadap gejolak harga global dan krisis pasokan.
Untuk memperkecil kesenjangan ini, pemerintah mengambil sejumlah langkah strategis. Salah satu fokus utama adalah modernisasi dan peningkatan kapasitas giling pabrik gula eksisting. Sebab, sebagian besar pabrik gula di Indonesia berumur tua, dengan teknologi yang jauh tertinggal dari negara produsen lain.
PTPN III (Persero) melalui anak perusahaannya akan mengaktifkan kembali sejumlah pabrik gula yang telah lama tidak beroperasi. Sejumlah persiapan telah dilakukan, mulai dari penataan sumber daya manusia, kesiapan fasilitas pabrik, hingga koordinasi terkait distribusi bahan baku tebu yang akan digiling.
Pada 2025, pabrik gula yang akan diaktifkan adalah Pabrik Gula Bone di Sulawesi. Pada 2026 direncanakan menghidupkan Pabrik Gula Sei Semayang, Medan, Sumatera Utara. Kemudian pada 2027, Pabrik Gula Tasikmadu di Karanganyar, Jawa Tengah, dan Pabrik Gula Pangka, Tegal, Jawa Tengah, pada 2028.
Langkah besar lainnya adalah perluasan areal tanam tebu. Pemerintah menargetkan tambahan lahan tebu baru seluas 200.000 hektare hingga 500.000 hektare. Untuk merealisasikan ini, anggaran besar disiapkan sekitar Rp10 triliun hingga Rp40 triliun.
Data Kementerian Pertanian menunjukkan tren positif dalam perluasan lahan tebu. Pada 2022, luas lahan tebu mencapai 490.008 hektare, sedikit turun menjadi 489.338 hektare pada 2023, lalu melonjak ke 520.823 hektare pada 2024.
Hingga Maret 2025 luasnya tercatat naik menjadi 529.266 hektar. Pada 2025, target luasan lahan tebu sebesar 538.168 hektare.
Upaya-upaya ini cerminan dari serangkaian strategi yang tengah digulirkan.
Strategi tingkatkan produktivitas tebu
Di balik keberhasilan swasembada pangan, salah satunya gula, selalu ada peran besar petani.
Maka, pemerintah pun menaruh perhatian serius pada petani tebu sebagai ujung tombak program ini. Salah satunya adalah menyederhanakan aturan Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk petani tebu dengan plafon hingga Rp500 juta.
Jika sebelumnya plafon kredit KUR bersifat akumulatif hingga Rp500 juta, kini petani dapat mengakses pembiayaan hingga batas tersebut secara berulang tanpa harus beralih ke kredit komersial setelah mencapai batas awal.
Ini bertujuan agar petani memiliki modal yang cukup untuk mengolah lahan, membeli bibit unggul, dan mengakses pupuk serta alat mekanisasi.
Pabrik gula juga dilibatkan sebagai avalis, yakni penjamin kredit. Dalam skema ini, pabrik bertanggung jawab atas kredit, sehingga semakin mempermudah akses pembiayaan bagi petani.
Kebijakan itu merupakan respons nyata pemerintah atas aspirasi yang sudah lama disuarakan oleh petani tebu. Dengan dukungan ini, pemerintah berharap kesejahteraan petani akan meningkat dan produktivitas tebu nasional makin optimal.
Selain itu, pemerintah menargetkan peningkatan produktivitas tebu mampu meningkat dari jumlah produksi gula yang saat ini sekitar 4 ton per hektare menjadi 14 ton, mengulang kejayaan produktivitas pada masa kolonial. Ini akan dicapai melalui distribusi pupuk subsidi yang lebih tepat sasaran serta penyediaan bibit unggul berkualitas tinggi.
Optimalisasi budidaya tebu juga dilakukan lewat intensifikasi berbasis data geospasial dan digitalisasi lahan. Hal ini memungkinkan pendekatan presisi dalam pemupukan, irigasi, dan penanaman, sehingga hasil panen lebih maksimal.
Strategi berikutnya, penindakan tegas terhadap pengecer nakal. Pemerintah akan mencabut izin pengecer pupuk subsidi yang terbukti melakukan kecurangan, termasuk menaikkan harga seenaknya. Kebijakan ini berlaku tegas tanpa peringatan, demi menjamin ketersediaan dan keterjangkauan pupuk bagi petani.
Meski strategi telah dirancang matang, tantangan di lapangan tetap ada. Salah satunya adalah fluktuasi harga gula di pasar global yang sering kali mempengaruhi daya saing gula lokal. Selain itu, kondisi cuaca yang tak menentu akibat perubahan iklim juga menjadi ancaman bagi produktivitas tebu.
Di sisi lain, koordinasi antarinstansi juga penting. Program swasembada gula melibatkan banyak pihak, mulai dari Kementerian Pertanian, Badan Pangan Nasional, hingga pemerintah daerah. Sinkronisasi yang kurang optimal bisa menghambat pencapaian target
Perjalanan menuju swasembada gula terlihat masih panjang, namun semangat di lapangan terus menyala. Modernisasi mesin, pelatihan petani, dan keterlibatan masyarakat sekitar menjadi modal sosial yang tidak kalah penting dari modal ekonomi.
Dengan konsistensi kebijakan, dukungan anggaran, serta komitmen dari semua pihak, bukan tidak mungkin Indonesia bisa lepas dari kebergantungan pada gula impor.
Swasembada gula bukan sekadar soal angka produksi, tetapi juga tentang kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani. Ketika lahan tebu terus hijau dan mesin pabrik terus berputar, Indonesia sedang menulis babak baru dalam perjalanan panjang menuju kemandirian.
Seperti kata Menteri Amran, “Dua hingga tiga tahun, atau paling lambat lima tahun, kita akan sampai di sana (swasembada gula)." Harapan itu kini tengah ditanam, dirawat, dan menanti waktu panen.
Di antara batang-batang tebu yang bergoyang tertiup angin, harapan itu terus tumbuh. Tahun 2028 dan 2030 mungkin masih terasa jauh, tapi kerja keras hari ini adalah jembatan menuju cita-cita besar itu.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Harapan dan langkah Indonesia menuju swasembada gula

