China mainkan politik okupasi dalam kasus Natuna
"China saat ini berusaha memainkan pola okupasi efektif agar bisa menguasai Natuna," kata DW Tadeus.
Kupang (ANTARA) - Pengamat Hukum Internasional dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr DW Tadeus, menilai saat ini China tengah memainkan politik okupasi yang cukup efektif untuk menguasai wilayah Natuna yang secara hukum internasional masuk dalam wilayah NKRI.
"China saat ini berusaha memainkan pola okupasi efektif agar bisa menguasai Natuna," kata dosen Fakultas Hukum Undana Kupang itu dalam wawancara khusus dengan Antara di Kupang, Sabtu (4/1).
Ia mengatakan pola okupasi efektif adalah salah satu pola yang sering dijalankan banyak negara, dengan cara masuk ke wilayah negara lain untuk menguasai dan mengeksploitasi daerah itu, jika tak ada protes dari negara yang bersangkutan maka otomatis akan diambil-alih negara yang bersangkutan.
Ia menjelaskan berdasarkan kesepakatan UNCLOS 1982 yang melibatkan 117 negara termasuk Indonesia dan dua satuan bukan negara, berlokasi di Montego Bay, Jamaika menyepakati wilayah Natuna masuk dalam wilayah NKRI.
Dalam UNCLOS 1982 disebutkan beberapa wilayah perairan yang dimiliki setiap negara pantai, termasuk Indonesia. Wilayah perairan itu meliputi perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen dan laut lepas. Dosen hukum Internasional pascasarjana Undana Kupang itu menilai negara berjuluk Tirai Bambu itu terlalu memaksakan kehendaknya untuk menguasai perairan Natuna yang menyimpan banyak sekali hasil laut seperti ikan.
"China sepertinya terlalu memaksakan kehendaknya untuk merebut laut itu walaupun bertentangan dengan kesepakatan 117 negara dalam UNCLOS 1982," ujarnya.
Saat ini Indonesia sendiri sudah mengirimkan lima kapal perang dan juga satu pesawat intai untuk menjaga wilayah itu agar tak dimasuki lagi oleh China.
Bahkan pada Kamis (2/1) lalu kapal perang Indonesia berhasil juga mengusir kapal patroli milik China yang masuk ke wilayah Natuna.
Menanggapi itu Tadeus mengatakan pengiriman kapal perang dan pesawat intai adalah tindakan yang benar. Hanya saja, kembali lagi ke kedua negara itu apakah akan menyelesaikan masalah ini dengan diplomasi lunak atau keras.
"Dalam kehidupan ini hanya dua, jalan jika ada masalah, apakah mau diselesaikan secara damai atau diselesaikan secara perang. Tetap menurut saya soft diplomasi adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ini agar tidak terjadi konflik kedua negara," ujar dia.
Ia pun menilai sikap Indonesia memanggil Duta Besar China di Indonesia untuk membicarakan masalah itu adalah bukti bahwa Indonesia berniat menyelesaikannya dengan cara diplomasi lunak.
"China saat ini berusaha memainkan pola okupasi efektif agar bisa menguasai Natuna," kata dosen Fakultas Hukum Undana Kupang itu dalam wawancara khusus dengan Antara di Kupang, Sabtu (4/1).
Ia mengatakan pola okupasi efektif adalah salah satu pola yang sering dijalankan banyak negara, dengan cara masuk ke wilayah negara lain untuk menguasai dan mengeksploitasi daerah itu, jika tak ada protes dari negara yang bersangkutan maka otomatis akan diambil-alih negara yang bersangkutan.
Ia menjelaskan berdasarkan kesepakatan UNCLOS 1982 yang melibatkan 117 negara termasuk Indonesia dan dua satuan bukan negara, berlokasi di Montego Bay, Jamaika menyepakati wilayah Natuna masuk dalam wilayah NKRI.
Dalam UNCLOS 1982 disebutkan beberapa wilayah perairan yang dimiliki setiap negara pantai, termasuk Indonesia. Wilayah perairan itu meliputi perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen dan laut lepas. Dosen hukum Internasional pascasarjana Undana Kupang itu menilai negara berjuluk Tirai Bambu itu terlalu memaksakan kehendaknya untuk menguasai perairan Natuna yang menyimpan banyak sekali hasil laut seperti ikan.
"China sepertinya terlalu memaksakan kehendaknya untuk merebut laut itu walaupun bertentangan dengan kesepakatan 117 negara dalam UNCLOS 1982," ujarnya.
Saat ini Indonesia sendiri sudah mengirimkan lima kapal perang dan juga satu pesawat intai untuk menjaga wilayah itu agar tak dimasuki lagi oleh China.
Bahkan pada Kamis (2/1) lalu kapal perang Indonesia berhasil juga mengusir kapal patroli milik China yang masuk ke wilayah Natuna.
Menanggapi itu Tadeus mengatakan pengiriman kapal perang dan pesawat intai adalah tindakan yang benar. Hanya saja, kembali lagi ke kedua negara itu apakah akan menyelesaikan masalah ini dengan diplomasi lunak atau keras.
"Dalam kehidupan ini hanya dua, jalan jika ada masalah, apakah mau diselesaikan secara damai atau diselesaikan secara perang. Tetap menurut saya soft diplomasi adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ini agar tidak terjadi konflik kedua negara," ujar dia.
Ia pun menilai sikap Indonesia memanggil Duta Besar China di Indonesia untuk membicarakan masalah itu adalah bukti bahwa Indonesia berniat menyelesaikannya dengan cara diplomasi lunak.