Wisatawan Eropa lebih suka desa wisata

id Boti

Wisatawan Eropa lebih suka desa wisata

Rumah adat suku Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (ANTARA Foto/dok)

Wisatawan mancanegara dari Eropa memiliki minat yang lebih besar untuk mengunjungi desa-desa wisata di daerah ini.
Kupang (AntaraNews NTT) - Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Provinsi Nusa Tenggara Timur Mesakh Toy mengemukakan wisatawan mancanegara dari Eropa memiliki minat yang lebih besar untuk mengunjungi desa-desa wisata di daerah ini.

"Market utama desa wisata kita di NTT lebih banyak diminati turis mancanegara dari Eropa, misalnya dari 100 wisatawan yang kami layani lebih dari 60 persen di antaranya dari Eropa," kata Mesakh Toy di Kupang, Selasa.

Ia menyebutkan sejumlah wisatawan mancanegara yang lebih dominan dilayani para pemandu wisata dari HPI NTT berasal dari negara-negara seperti Italia, Jerman, Belanda, Spanyol.

"Mereka meminati desa-desa wisata di provinsi ini karena keaslian budaya yang dipertahankan serta didukung alam yang masih natural," kata Mesakh sambil mencontohkan sejumlah desa adat di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Pulau Tumor, yaitu Fatumnasi, Benteng None dan Desa Boti.

"Di Fatumnasi, ada rumah adat obet bobo (rumah bulat) yang unik kemudian didukung pemandangan alam Pegunungan Mutis yang menambah daya tariknya," katanya.

Baca juga: NTT optimistis target 17 juta wisman tercapai
Baca juga: Kunjungan wisman mencapai 789.338 orang
. Rumah adat Suku Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (ANTARA Foto/dok) 
 

Menurutnya, minat wisatawan asing berkunjung ke desa-desa wisata penting dipertahankan karena daya tarik yang ada sudah terbukti membuat wisatawan bisa berlama-lama berkunjung ke daerah itu.

"Ada wisatawan dari Eropa yang kami layani bisa sampai dua minggu di Pulau Timor, kemudian pindah ke desa wisata di Sabu, Rote, Alor dan lainnya," katanya.

Ia mengatakan keberadaan desa-desa wisata perlu diperkuat, tidak hanya pembangunan infrastruktur pendukung seperti akses jalan, jaringan telekomunikasi, namun yang lebih utama terkait kesiapan masyarakatnya.

Di antaranya, dari tata cara masyarakat desa wisata menerima tamu harus dibimbing secara baik. Selain itu bagaimana menjaga aspek Sapta Pesona (aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah tamah dan kenangan).

Selain itu, lanjutnya, jika ada tempat penjualan souvenir di desa wisata maka warga perlu dibina agar tidak menaikkan harga barang jualannya ketika hendak dibeli wisatawan.

"Ini hal sederhana namun penting diperhatikan, kalau harga satu buah produk kerajinan tangan Rp5.000 tapi karena ada wisatawan asing tiba-tiba menjadi Rp10.000 maka wisatawan akan merasa tidak nyaman," katanya.
Sejumlah warga beraktivitas di Kampung Adat Bena, Ngada, NTT (ANTARA Foto /Wahyu Putro A)