Perludem sebut presidential treshold 20 persen hambat capres alternatif
...jika ketentuan ambang batas terus berlaku, maka pemilu 2024 akan menyebabkan polarisasi kian menguat antarkelompok masyarakat
Jakarta (ANTARA) - Ketentuan ambang batas calon presiden (presidential treshold) 20 persen dapat menghambat pencalonan tokoh-tokoh alternatif di luar elite partai politik, kata Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.
Alasannya, ketentuan ambang batas itu, yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang (UU) Pemilu, menyebabkan pengaruh partai politik terlampau kuat dalam menentukan tokoh-tokoh yang dapat mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden.
“Kalau bicara peluang pencalonan, determinasi partai politik sangat kuat,” sebut Titi saat menjadi pembicara pada acara diskusi virtual yang diikuti di Jakarta, Jumat (15/10).
“Presidential treshold berlaku sejak 2009 dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2008, lalu dilanggengkan dengan Undang-Undang No.8 Tahun 2012, dan terakhir Undang-Undang No.7 Tahun 2017,” tambah Titi saat sesi diskusi.
Kondisi semacam itu menyebabkan para pemilih tidak diberi pilihan bakal presiden yang memadai, karena tokoh-tokoh yang maju pada pemilihan 2024 akan didominasi oleh elite-elite partai atau mereka yang dekat dengan kelompok tersebut.
“Mau tidak mau, bicara soal peluang perempuan, capres-capres alternatif yang mewakili daerah akhirnya kembali ke hulu, punya tidak 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah,” terang Titi Anggraini.
Dalam sesi diskusi yang sama, pengamat politik Rocky Gerung berpendapat publik kesulitan memiliki pilihan di luar elite partai politik selama ketentuan ambang batas capres 20 persen masih berlaku.
Ia menerangkan jika aturan itu direvisi atau dihapus, maka publik akan punya kesempatan untuk melihat adanya calon-calon alternatif di luar elite partai politik.
“Seandainya soal-soal itu bisa diatasi, maka dimungkinkan bicara tentang politik alternatif, calon presiden alternatif, gender equality (kesetaraan gender, Red.) dalam kepresidenan,” sebut Rocky.
Terkait itu, Titi Anggraini berharap para elite partai politik dapat menunjukkan sikap negarawan dan itikad baik mewujudkan demokrasi yang sehat, salah satunya dengan membuka peluang tokoh-tokoh di luar lingkar kekuasaan untuk mencalonkan diri sebagai presiden.
“Di sini kenegarawanan dan itikad baik dari para elite partai (untuk) memberi alternatif-alternatif beragam pada pemilih jadi penting,” ujar Titi.
Alasannya, ketentuan ambang batas 20 persen itu tidak hanya membatasi peluang tokoh-tokoh maju jadi capres, tetapi turut menyebabkan kuatnya polarisasi atau perpecahan di masyarakat.
Titi khawatir jika ketentuan ambang batas terus berlaku, maka pemilihan umum 2024 akan menyebabkan polarisasi kian menguat antarkelompok masyarakat.
Baca juga: Pemerintah usulkan Pemilu 2024 digelar 15 Mei
“Polarisasi disintegratif yang tidak berorientasi pada gagasan dan program. (Polarisasi itu) justru berorientasi pada pendekatan yang memecah belah. Itu kecenderungannya,” sebut Titi.
Baca juga: Bawaslu sampaikan 4 rekomendasi Pemilu dan Pilkada tahun 2024
“Kalau tidak belajar dari (pemilu) 2019, sangat mahal ongkos yang dibayar,” kata dia menambahkan.
Alasannya, ketentuan ambang batas itu, yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang (UU) Pemilu, menyebabkan pengaruh partai politik terlampau kuat dalam menentukan tokoh-tokoh yang dapat mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden.
“Kalau bicara peluang pencalonan, determinasi partai politik sangat kuat,” sebut Titi saat menjadi pembicara pada acara diskusi virtual yang diikuti di Jakarta, Jumat (15/10).
“Presidential treshold berlaku sejak 2009 dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2008, lalu dilanggengkan dengan Undang-Undang No.8 Tahun 2012, dan terakhir Undang-Undang No.7 Tahun 2017,” tambah Titi saat sesi diskusi.
Kondisi semacam itu menyebabkan para pemilih tidak diberi pilihan bakal presiden yang memadai, karena tokoh-tokoh yang maju pada pemilihan 2024 akan didominasi oleh elite-elite partai atau mereka yang dekat dengan kelompok tersebut.
“Mau tidak mau, bicara soal peluang perempuan, capres-capres alternatif yang mewakili daerah akhirnya kembali ke hulu, punya tidak 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah,” terang Titi Anggraini.
Dalam sesi diskusi yang sama, pengamat politik Rocky Gerung berpendapat publik kesulitan memiliki pilihan di luar elite partai politik selama ketentuan ambang batas capres 20 persen masih berlaku.
Ia menerangkan jika aturan itu direvisi atau dihapus, maka publik akan punya kesempatan untuk melihat adanya calon-calon alternatif di luar elite partai politik.
“Seandainya soal-soal itu bisa diatasi, maka dimungkinkan bicara tentang politik alternatif, calon presiden alternatif, gender equality (kesetaraan gender, Red.) dalam kepresidenan,” sebut Rocky.
Terkait itu, Titi Anggraini berharap para elite partai politik dapat menunjukkan sikap negarawan dan itikad baik mewujudkan demokrasi yang sehat, salah satunya dengan membuka peluang tokoh-tokoh di luar lingkar kekuasaan untuk mencalonkan diri sebagai presiden.
“Di sini kenegarawanan dan itikad baik dari para elite partai (untuk) memberi alternatif-alternatif beragam pada pemilih jadi penting,” ujar Titi.
Alasannya, ketentuan ambang batas 20 persen itu tidak hanya membatasi peluang tokoh-tokoh maju jadi capres, tetapi turut menyebabkan kuatnya polarisasi atau perpecahan di masyarakat.
Titi khawatir jika ketentuan ambang batas terus berlaku, maka pemilihan umum 2024 akan menyebabkan polarisasi kian menguat antarkelompok masyarakat.
Baca juga: Pemerintah usulkan Pemilu 2024 digelar 15 Mei
“Polarisasi disintegratif yang tidak berorientasi pada gagasan dan program. (Polarisasi itu) justru berorientasi pada pendekatan yang memecah belah. Itu kecenderungannya,” sebut Titi.
Baca juga: Bawaslu sampaikan 4 rekomendasi Pemilu dan Pilkada tahun 2024
“Kalau tidak belajar dari (pemilu) 2019, sangat mahal ongkos yang dibayar,” kata dia menambahkan.