Artikel - Upaya memutihkan status TKI ilegal di Malaysia

id TKI

Artikel - Upaya memutihkan status TKI ilegal di Malaysia

Sebagian TKI ilegal asal Nusa Tenggara Timur yang tengah menanti proses deportasi dari Malaysia ke Indonesia. (ANTARA Foto/Ist)

Harus diakui bahwa Indonesia mengalami surplus angka tenaga kerja. Kondisi ini mengakibatkan jumlah penawaran tenaga kerja melampaui permintaannya. Hal ini menyebabkan banyak yang menempuh jalur ilegal untuk mencapai tujuannya.
Kupang (AntaraNews NTT) - Pada era 1970-an, masyarakat Flores Timur dan Lembata di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan bebas merantau ke Sabah Malaysia dengan hanya berbekal paspor dan visa yang diurus oleh saudara-saudaranya yang bermukim di Nunukan, Kalimantan Timur.

Umumnya dari para perantau itu lebih memilih bekerja di sektor perkebunan sesuai dengan latar belakang mereka yang datang dari kampung sebagai petani.

Pada saat itu, Malaysia dilukiskan seperti "tanah terjanji" dan "surga" bagi mereka yang datang dari Flores Timur dan Lembata untuk mencari sesuap nasi di negeri jiran itu guna menghidupi keluarganya di kampung halaman.

Tak ada pilihan lain selain merantau ke Malaysia karena tidak ada lahan produktif yang dapat didayagunakan untuk membuka kebun dan ladang, kecuali hanya sejengkal lahan yang dapat dimanfaatkan untuk menanam jagung, padi, dan ubi-ubian untuk ketahanan pangan keluarga.

Potret kehidupan yang serbaminim itu menuntut kaum lelaki di Flores Timur dan Lembata harus keluar kampung dengan mencari nafkah hidup di tanah rantau Sabah Malaysia.

Berpuluh-puluh tahun lamanya mereka meninggalkan anak dan istri di kampung halaman hanya untuk mencari nafkah hidup yang lebih layak demi kelangsungan hidup keluarga.

Tidak ada tenaga kerja Indonesia (TKI) dari Flores Timur atau Lembata yang dideportasi Pemerintah Malaysia pada saat itu. Jika masa berlaku parpor dan visa telah habis, misalnya, mereka hanya menyeberang ke Nunukan untuk mengurusnya dan kembali lagi ke Sabah Malaysia seperti biasa.

Tradisi merantau ini berlangsung kini sehingga masyarakat Flores Timur dan Lembata sering dilukiskan oleh masyarakat NTT lainnya sebagai suku perantau yang sangat ulet dalam mempertahankan hidup di tanah rantau.

Ketika pemerintah Indonesia membuka pintu bagi TKI untuk ke luar negeri melalui jalur resmi, malah sebagian besar masyarakat memilih jalur ilegal untuk mencapai tujuan, yang akhirnya menuai banyak masalah, seperti deportasi besar-besaran para TKI ilegal dari Malaysia yang dinilai sebagai pendatang haram.

Ada juga TKI/TKW yang hanya dikirim jasadnya ke kampung halaman karena telah menjadi bagian dari korban kekerasan sang majikan. Hal ini sebagai akibat dari rendahnya tingkat pendidikan serta minimnya pengalaman kerja sebagai pembantu rumah tangga dan lain-lain.

Baca juga: TKI legal asal NTT berjumlah 4.000 orang
TKW ilegal di Malaysia

Tingginya angkatan kerja produktif, ditambah persaingan ketat di era globalisasi saat ini, sedikit banyaknya telah menciptakan dampak yang sangat besar pada perkembangan sosial ekonomi masyarakat, seperti tumbuhnya tingkat kemiskinan dan tidak meratanya distribusi pendapatan sebagai akibat dari minimnya lapangan pekerjaan.

Kondisi ini tampaknya ikut mendorong tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia bertekad mencari pekerjaan di luar negeri dengan tawaran gaji yang relatif lebih besar meskipun dengan risiko meninggalkan keluarga, suami, dan anak.

Perusahaan Pengerah Jasa TKI mulai melakukan manuver ke desa-desa untuk merekrut tenaga kerja wanita Nusa Tenggara Timur ke Malaysia dengan iming-iming gaji besar dan lain-lain yang membuat mereka seakan tak berdaya menerima tawaran tersebut.

Namun, sayangnya para TKI/TKW asal NTT juga tidak pernah menyadari bahwa yang namanya ilegal itu tidak akan memiliki perlindungan hukum. Akibatnya, banyak TKI/TKW asal NTT yang mengalami tindakan kekerasan, penganiayaan, pelecehan seksual, dan mengalami pemotongan gaji, bahkan tidak dibayar sepersen pun oleh sang majikan.

Apa pun alasannya, pemerintah berkewajiban melindungi para TKI dari permasalahan-permasalahan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu provinsi di Indonesia dengan kasus TKI ilegal yang relatif cukup tinggi, menyadari bahwa persoalan tersebut harus diatasi dengan cara memutihkan status TKI ilegal menjadi legal agar mereka dengan bebas mencari nafkah hidup di luar negeri tanpa merasa takut dengan pihak otoritas negara bersangkutan.

Pemerintahan Gubernur NTT Frans Lebu Raya, sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Dinas Nakertrans NTT Bruno Kupok, berencana akan memutihkan semua TKI ilegal asal NTT di Malaysia setelah pihaknya melakukan pendataan terhadap para perantau di negeri serumpun Melayu itu.

Upaya pemutihan status TKI ilegal menjadi legal itu sebagai salah satu dari upaya pemerintah Nusa Tenggara Timur untuk menyelamatkan para penyumbang devisa itu dari kejaran pihak otoritas yang menganggapnya sebagai pendatang haram.

Menurut Bruno, jumlah TKI ilegal asal NTT yang mencari nafkah hidup di Malaysia sebagai perantau tercatat sekitar 50.000 orang, sedangkan yang legal hanya tercatat sekitar 4.000 orang yang menyebar di Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, dan Hongkong.

"Artinya, sebanyak 4.000 orang itu dikirim ke luar negeri melalui jalur resmi, dan umumnya para pekerja legal dari NTT ini bekerja sebagai pelaksana rumah tangga dan sektor perkebunan," kata Kepala Bidang Pengawasan Dinas Nakertrans NTT Thomas Suban Hoda

Baca juga: 100.000 TKI ilegal NTT di luar negeri
Sebagian TKI ilegal asal Nusa Tenggara Timur

Hingga posisi 2016, TKI legal asal NTT yang bekerja di luar negeri, khususnya di sejumlah negara ASEAN itu berjumlah sekitar 2.046 orang yang terdiri atas 1.667 perempuan dan 379 laki-laki.

Jumlah TKI NTT yang dikirim ke luar negeri pada tahun 2017 sebanyak 1.739 orang, terdiri atas laki-laki 191 orang dan perempuan 1.548 orang. Sementara itu, TKI/TKW yang dikirim ke luar negeri sampai dengan Februari 2018 berjumlah 467 orang, terdiri atas laki-laki 75 orang dan perempuan 392 orang.

Sesuai dengan tata aturan, para TKI ini hanya bekerja di luar negeri dengan kontrak kerja selama 2 tahun. Mereka sudah harus kembali ke Indonesia untuk memperbarui paspor dan visanya. "Kalau mereka tidak kembali, sudah dikategorikan sebagai TKI ilegal," tambah Suban Hoda.

Mencermati fenomena tersebut maka TKI legal akan mendapatkan perlindungan hukum secara pasti, baik itu dari pemerintah Indonesia maupun dari pemerintah negara penerima.

Oleh karena itu, para TKI ini juga harus melengkapi dan menenuhi seluruh persyaratan legal yang diajukan oleh pihak imigrasi negara penerima agar resmi terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, dan terdaftar pula di instansi terkait sebagai tenaga kerja asing di negara penerima.

Para TKI legal juga memiliki perjanjian kerja, yaitu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban berdasarkan asas terbuka, bebas, objektif, serta adil dan setara, tanpa deskriminasi. Selanjutnya, ditempatkan sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat dan perlindungan hukum.

Namun, harus diakui bahwa Indonesia mengalami surplus angka tenaga kerja. Kondisi ini mengakibatkan jumlah penawaran tenaga kerja melampaui permintaannya. Hal ini menyebabkan banyak yang menempuh jalur ilegal untuk mencapai tujuannya.

Atas dasar itu, Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya mencari jalan untuk mengubah nasib para TKI ilegal di Malaysia dengan cara pemutihan agar status mereka menjadi legal agar bisa dengan tenang mencari nafkah hidup di tanah rantau untuk menopang ekonomi keluarga di kampung halaman.

Baca juga: Satgas cegah 1.179 calon TKI ke luar negeri
Satgas TKI menggagalkan pengirim sejumlah calon TKI asal NTT ke Kalimantan (ANTARA Foto/Kornelis Kaha)