Kupang (AntaraNews NTT) - Hubungan diplomatik antara Indonesia-China telah dimulai sejak berabad-abad, dan secara resmi baru diakui oleh dunia internasional pada tahun 1950.
Namun, hubungan diplomatik kedua negara dihentikan pada tahun 1967, dan kembali dilanjutkan pada tahun 1990, dengan dibukanya Kedutaan Besar RRC di Jakarta, Konsulat RRC di Surabaya, Medan dan Denpasar. Sebaliknya, Indonesia membuka kedutaannya di Beijing dan Konsulat di Guangshou, Shanghai dan Hong Kong.
Dari sisi wilayah dan jumlah penduduk, Indonesia dan China merupakan dua negara besar di Asia. China merupakan negara yang paling padat penduduknya di planet bumi, sedang Indonesia memiliki populasi terbesar ke-4 di dunia.
Hubungan antara kekaisaran China atau Tiongkok dan Indonesia kuno telah dimulai sejak abad ke-7 dan mungkin sebelumnya.
Indonesia adalah bagian dari jalur maritim dari Jalur Sutra yang menghubungkan Tiongkok dengan India dan dunia Arab. Banyak keramik Tiongkok, ditemukan di seluruh Indonesia yang diperkirakan menandai terjadinya hubungan perdagangan kuno antara kedua negara.
Museum Nasional Indonesia memiliki salah satu yang terbaik dan koleksi paling lengkap dari keramik Tiongkok yang ditemukan di luar Tiongkok, yang diperkiran dari dinasti Han, Tang, Sung, Yuan, Ming, dan dinasti Qing berlangsung selama hampir dua ribu tahun.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang Tiongkok berlayar ke India melalui Indonesia pada awal periode Han Barat (205 SM sampai 220 Masehi) sebagai bagian dari Jalan Sutra Maritim, sebelum hubungan perdagangan antarperusahaan dibangun.
Secara tradisional, kepulauan Indonesia, diidentifikasi oleh geografer Tiongkok kuno sebagai Nanyang, sumber dari rempah-rempah seperti cengkih, kemukus, pala, dan bahan baku seperti cendana, emas dan timah, juga barang-barang langka eksotis seperti gading, cula badak, kulit harimau, dan tulang, burung-burung eksotis dengan bulu warna-warni.
Sementara Sutra yang halus dan keramik dari Tiongkok dicari oleh kerajaan kuno Indonesia. Indonesia juga memainkan beberapa peran dalam pengembangan Buddhisme dari India ke Tiongkok.
Baca juga: Artikel - Hubungan diplomatik RI-China seperti nyanyian Bengawan SoloSeorang biarawan Tiongkok, I-Tsing, mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671, dengan misi utama untuk mendapatkan teks-teks suci Budha dari India selama enam bulan lamanya.
Presiden China Xi Jinping dalam pertemuannya dengan Presiden (waktu itu) Susilo Bambang Yudhoyono, sepakat untuk meningkatkan kerja sama di sejumlah sektor seperti perdagangan, investasi, infrastruktur, turisme, teknologi dan penelitian ruang angkasa.
Selama kunjungan pertamanya ke kawasan Asia Tenggara, Presiden Xi Jinping juga mengusulkan pembentukan bank investasi infrastruktur yang akan membantu pendanaan berbagai proyek di wilayah tersebut. Bank Sentral China juga sepakat untuk memberi bantuan untuk menopang nilai mata uang rupiah, jika diperlukan.
Dalam pidatonya di hadapan parlemen di Senayan, Jakarta pada saat itu, Presiden Xi Jinping menyerukan negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk membuang mentalitas perang dingin dan bekerja bersama bagi perdamaian dan keamanan.
"Kita harus menyingkirkan cara berpikir Perang Dingin dan secara aktif memperkenalkan konsep keamanan baru yang menyeluruh, dan bergandengan tangan merawat perdamaian di kawasan. Kami siap bernegosiasi dengan para anggota ASEAN demi "persahabatan dan kehidupan bertetangga yang baik". Kami siap memperluas keterbukaan bagi keuntungan bersama," katanya.
Dalam konteks ini, China siap untuk memperluas zona perdagangan bebas Cina-ASEAN untuk mencapai perdagangan regional senilai satu triliun dolar pada tahun 2020, karena Asia Tenggara adalah salah satu hubungan penting dalam Jalan Sutra Maritim.
Pidato yang disampaikan Presiden Xi Jinping di hadapan parlemen tersebut menunjukkan perkembangan yang luar biasa dalam hubungan diplomatik antara Jakarta dengan Beijing selama 20 tahun terakhir.
Indonesia kemudian memutus hubungan diplomatik dengan China setelah peristiwa G30S/PKI dan menuduh Negara Tirai Bambu itu mendukung upaya kudeta yang ketika itu dituduhkan atas Partai Komunis Indonesia (PKI). Pembekuan hubungan diplomatik itu berlanjut hingga dua dekade, dan baru dipulihkan pada tahun 1990-an.
Kerja sama Maritim
Mencermati hubungan Indonesia-China saat ini, Yeremia Lalisang, Mahasiswa Program Doktor di Universitas Xiamen, Tiongkok melihat ada tiga sektor kerja sama yang akan dilanjutkan, ketimbang mengubah pola hubungan kooperatif kedua negara ke depan.
Sektor pertama adalah kerja sama di bidang maritim. Visi Presiden Jokowi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, agaknya sebangun dengan rencana Presiden Xi Jinping membangun Jalan Sutra Maritim Baru (New Maritime Silk Road).
Kerja sama kemaritiman tersebut bertujuan memperkuat konektivitas maritim dan meningkatkan kapasitas negara-negara di Asia Tenggara untuk memaksimalkan keamanan dan pengelolaan sumber daya maritim.
Gagasan tersebut jelas berpotensi besar untuk disinergikan dengan usaha Indonesia mencapai suatu kedaulatan maritim untuk membuat hubungan RI-RRC terus bergerak maju dan saling menguntungkan.
Sektor kedua, menurut Yeremia Lalisang, adalah kerja sama mengelola stabilitas kawasan. Isu ini amat terkait dengan kondisi terakhir sengketa teritorial di Laut China Selatan yang masih belum memiliki capaian signifikan setelah penandatanganan Deklarasi Tata Perilaku (Declaration of Conduct of Parties) pada 2002.
Presiden Joko Widodo sempat menggarisbawahi posisi Indonesia sebagai negara bukan pengklaim (non-claimant state), dalam arti bahwa Indonesia turut berperan aktif, bahkan telah mengambil berbagai inisiatif dengan maksud berkontribusi positif pada pengelolaan konflik.
Hal ini menunjukkan bahwa dinamika penyelesaian damai sengketa di Laut China Selatan sangat membutuhkan peran Indonesia, karena sikap kooperatif Indonesia akan sangat bermakna bagi China, yang dengan secara terbuka telah menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui dialog damai.
Baca juga: NTT harapkan penerbangan langsung Beijing-Labuan BajoSektor ketiga adalah kerja sama peningkatan hubungan antarwarga. Hal ini yang mungkin ditangkap Presiden Jokowi, yang kemudian terefleksi dalam konsep diplomasi yang membumi.
Tampaknya amat penting mendorong warga kedua negara untuk saling memahami, sebab lebih dari 30 tahun, pada masa pembekuan hubungan diplomatik, warga kedua negara terkesan saling mencurigai dan melihat satu sama lain sebagai ancaman.
Dengan kapasitas yang dimiliki sekarang, China menawarkan beragam kesempatan dalam platform baru diplomasi Presiden Jokowi yang telah menetapkan bahwa pelaksanaan kebijakan luar negeri tidak boleh berjarak dengan kepentingan rakyat.
Visi Presiden Jokowi untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, sebangun dengan rencana Presiden Xi Jinping yang membangun Jalan Sutra Maritim Baru (New Maritime Silk Road) untuk memperkuat konektivitas maritim dan meningkatkan kapasitas negara-negara di Asia Tenggara untuk memaksimalkan keamanan dan pengelolaan sumber daya maritim.