Kupang (AntaraNews NTT) - "Membangun Indonesia dari Pinggiran dalam Kerangka NKRI" merupakan visi besar pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla agar pembangunan tidak lagi sentralistik, namun lebih merata dan terus bergerak dari pinggiran.
Pada sektor pariwisata, Presiden Jokowi mengeluarkan kebijakan pembangunan 10 destinasi wisata utama di Indonesia yang meliputi Danau Toba di Sumatera Utara, Tanjung Kelayang di Provinsi Bangka Belitung, Tanjung Lesung di Provinsi Banten, dan Kepulauan Seribu di DKI Jakarta.
Selain itu, Candi Borobudur di Jawa Tengah, Bromo Tengger Semeru di Provinsi Jawa Timur, Mandalika di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Labuan Bajo di ujung barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, Wakatobi di Provinsi Sulawesi Tenggara, serta Morotai di Provinsi Maluku,
Kebijakan pembangunan dan pengembangan pariwisata pada 10 destinasi unggulan tersebut agar hal tersebut tidak hanya fokus di Pulau Jawa atau Bali, akan tetapi merata dan menyebar di seluruh di Tanah Air untuk mewujudkan konsep "Membangun Indonesia dari Pinggiran".
Pemerintahan Jokowi-JK menyadari bahwa pariwisata di Indonesia tidak hanya di Pulau Bali, tetapi masih banyak potensi pariwisata di daerah lain yang bakal memiliki daya saing dengan Bali, jika dikelola dengan baik oleh sebuah Badan Otoritas Pariwisata (BOP).
Atas dasar itu, pemerintah kemudian membentuk Badan Otorita Kawasan Pariwisata (BOKP) dengan mengacu pada model pengelolaan kawasan Batam meskipun dalam konteks yang berbeda. Jika Batam menjadi pusat bisnis dan industri, maka Badan Otorita Kawasan Pariwisata bergerak di sektor industri pariwisata.
Meskipun idealisme mengembangkan Batam sebagai Singapura-nya Indonesia belum terwujud, paling tidak semangat dan model Badan Otorita inilah diadopsi oleh pemerintah Indonesia untuk mengelola 10 kawasan destinasi wisata utama di Tanah Air.
Baca juga: Labuan Bajo jadi Badan Otoritas Pariwisata
Rizal Ramli, saat masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya menegaskan bahwa keberadaan Badan Otorita dalam mengelola dan mengembangkan kawasan pariwisata, akan jauh lebih efektif dan cepat dibandingkan dikelola secara terpisah oleh sejumlah lembaga atau kementerian.
Badan Otoritas Pariwisata (BOP) bertugas menjaga atraksi alam budaya dan buatan, membangun infrastruktur dasar seperti jalan raya dan pelabuhan untuk menunjang kepariwisataan, serta mengembangkan amenitas seperti fasilitas hotel dan sebagainya melalui kerja sama dengan pihak swasta.
Namun, BOP tidak dibentuk secara serentak di 10 kawasan destinasi wisata utama di Tanah Air, namun memilih Danau Toba sebagai proyek percontohan dalam pembentukan badan otoritas tersebut, agar menjadi model dalam pembentukan BOP untuk destinasi wisata unggulan lainnya.
Menteri Pariwisata Arief Yahya menjelaskan BOP memiliki beberapa kewenangan, antara lain Atraksi, Akses, dan Amenitas (3A), serta berwenang menjaga atraksi alam budaya dan buatan, membangun akses infrastruktur dasar, juga mengembangkan amenitas berupa fasilitas hotel dan sebagainya melalui kerja sama dengan pihak swasta.
"BOP memiliki kewenangan untuk mengembangkan destinasi, antara lain atraksi alam budaya dan buatan, kemudian akses infrastruktur dasar, dan amenitas yang berhubungan dengan pengembangan fasilitas hotel dengan membangun kerja sama dengan pihak swasta," kata Menteri Yahya.
BOP terdiri atas beberapa unsur kementerian dan lembaga, seperti Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan, serta Kementerian Pariwisata dengan uraian tugas seperti yang disebutkan di atas, dengan sumber penerimaan sebagian besar berasal dari APBN.
Menurut perkiraan Menteri Arief Yahya, anggaran yang berasal dari APBN untuk BOP berada pada kisaran Rp6,5 triliun, untuk pembangunan infrastruktur dasar.
Baca juga: Pemerintah fokus tangani sampah pesisir Labuan Bajo
Dalam APBN-P 2015, anggaran untuk infrastruktur dasar daerah tujuan wisata Rp4,5 triliun dari Kementerian PUPR dan Rp2 triliun dari Kementerian Perhubungan.
Sempat terkendala
Pembentukan BOP untuk Labuan Bajo di Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur sempat mengalami kendala, karena persoalan lahan yang menjadi alasan pemerintah untuk belum menerbitkan Keputusan Presiden tentang Pembentukan BOP Labuan Bajo.
"Naskahnya memang sudah siap, dan bahkan sudah diparaf oleh kementerian terkait, tetapi belum bisa ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo, karena lahan yang dibutuhkan seluruhnya belum disetujui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan," kata Sekretaris Dinas Pariwisata NTT Welly Rohi Mone.
Lahan milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang disepakati untuk BOP seluas sekitar 400 hektare, namun dalam pembahasan lanjutan, pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hanya bisa mengalokasikan lahan seluas 136 hektare dari kebutuhan yang ada.
Alasannya, karena lebih dari 200 hektare lahan lainnya merupakan hutan konservasi sehingga tidak bisa dialihfungsikan. "Artinya, masih ada lahan seluas 264 hektare yang belum `clear`. Ini harus diselesaikan terlebih dahulu baru dibawa ke Presiden untuk ditandatangani," kata Rohi Mone.
Namun, Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 32 Tahun 2018 tertanggal 5 April 2018, akhirnya menetapkan Labuan Bajo, Ibu Kota Kabupaten Manggarai Barat di ujung barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur menjadi Badan Otoritas Pariwisata (BOP).
Kepala Bidang Promosi Wisata Dinas Pariwisata Nusa Tenggara Timur Eden Klakik mengatakan pihaknya baru saja mendapat pemberitahuan dari Kementerian Pariwisata bahwa Labuan Bajo telah ditetapkan menjadi BOP dengan Perpres No.32 tahun 2018, tertanggal 5 April 2018.
Baca juga: NTT harapkan penerbangan langsung Beijing-Labuan Bajo
"Penetapan Labuan Bajo menjadi BOP ini tidak lepas dari keberadaan Taman Nasional Komodo (TNK) yang dibentuk sejak tahun 1980," kata dan menjelaskan TNK adalah rumah bagi satwa langka Komodo (Varanus Komodoensis) dan aneka biota laut. Sementara Labuan Bajo, Ibu Kota Kabupaten Manggarai Barat menjadi gerbang utama menuju TNK.
Karena kekayaan alam itu, TNK kini menjadi target destinasi pariwisata dunia, tidak hanya untuk melihat komodo tetapi juga kegiatan wisata, seperti snorkeling, diving, dan trecking.
Karena itu, tuntutan pembangunan di kota Labuan Bajo sebagai pintu gerbang dan zona penyanggah TNK sangatlah mendesak dan perlu segera dilakukan, untuk meningkatkan arus kunjungan wisatawan serta penerimaan negara bukan pajak dari sektor pariwisata.
Pada 2019, pemerintah menargetkan 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Labuan Bajo diberi target untuk memenuhi target nasional kunjungan wisatawan 500.000 orang, atau naik lima kali lipat daripada 2015 yang hanya mencapai 90.000 wisatawan.
Dengan terbentuknya BOP Labuan Bajo tersebut, membuat semua pihak di daerah ini optimistis bahwa kawasan wisata di ujung barat Pulau Flores itu akan terus berkembang dan meroket arus kunjungan wisatawannya.
Hal itu, karena BOP berwenang menjaga atraksi alam budaya dan buatan, membangun akses infrastruktur dasar, juga mengembangkan amenitas berupa fasilitas hotel dan sebagainya melalui kerja sama dengan pihak swasta.
Kewenangan BOP adalah mengembangkan destinasi pariwisata sebagai tercermin dalam makna 3A, yakni Atraksi alam budaya dan buatan, Akses infrastruktur dasar, serta Amenitas dengan titik fokus pada pengembangan dan pembangunan fasilitas hotel dan infrastruktur pendukung pariwisata lainnya.
Baca juga: Menko Kemaritiman ke Labuan Bajo
Artikel - Manfaat BOP bagi Labuan Bajo
BOP bertugas menjaga atraksi alam budaya dan buatan, membangun infrastruktur dasar seperti jalan raya dan pelabuhan untuk menunjang kepariwisataan, serta mengembangkan amenitas seperti fasilitas hotel dan sebagainya melalui kerja sama dengan pihak sw