Pakar Polimer ITB: Masyarakat jangan disesatkan dengan isu BPA

id Polemik air galon, polemik BPA,Pakar ITB, BPOM

Pakar Polimer ITB: Masyarakat jangan disesatkan dengan isu BPA

Ilustrasi Depot air minum galon. (Istimewa)

masyarakat harus dikasih pengetahuan yang lengkap supaya tidak lagi takut lagi menggunakan kemasan pangan plastik yang sudah mendapat ijin BPOM
Kupang (ANTARA) - Pakar Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr Ahmad Zainal Abidin meminta agar masyarakat jangan disesatkan dengan isu BPA pada kemasan air minum.

"Banyak pihak yang menyamakan antara BPA sebagai zat kimia dan BPA sebagai bahan pembantu dalam pembuatan kemasan pangan dalam bentuk polimer, katanya dalam keterangan yang diterima di Kupang, Kamis (16/6).

Belakangan ini kata dia,  banyak berita beredar tentang bahaya BPA pada kemasan air minum. Agar tidak terkecoh atau termakan informasi yang tidak benar.

Konsumen perlu mengetahui perbedaan BPA sebagai zat dengan kandungan BPA yang ada dalam kemasan yang sebenarnya kadarnya sangat kecil dan jauh diambang batas yang bisa dikategorikan berbahaya. 

BPA sebagai zat kimia itu berbeda pengertiannya dengan BPA yang sudah membentuk kemasan. Banyak masyarakat yang salah mengartikannya. 

Menurutnya beberapa pihak sering hanya melihat dari sisi BPA-nya saja yang disebutkan berbahaya bagi kesehatan tanpa memahami bahan bentukannya pada kemasan pangan yang menjadi aman jika digunakan. 

Dia mengutarakan BPA itu digunakan dalam proses pembuatan plastik berbahan Polikarbonat (PC). 

Tidak hanya Bisfenol A (BPA), semua zat kimia seperti antimon, stiren, dan lain-lain, secara scientific dapat beracun bagi tubuh jika masuk dalam jumlah banyak. 

Jika zat-zat kimia itu digunakan untuk keperluan pangan, ada pengawasan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebelum diizinkan beredar. "Jangankan BPA dan Antimon, garam dapur saja, terbentuk dari zat-zat kimia berbahaya yaitu Natrium dan Chloride," katanya. 

Dia mengatakan zat Natrium itu berbahaya bahkan bisa jadi peledak. Begitu juga dengan Klor sama berbahayanya dan bahkan bisa menyebabkan kematian bagi orang yang menghirupnya.

"Tapi, apakah manusia menjadi mati atau berpenyakit saat menggunakan garam dapur ini, kan tidak. Apalagi kita hampir setiap hari menggunakannya," katanya.

Zainal meminta agar masyarakat memahaminya agar tidak terpengaruh oleh informasi yang bisa menyesatkan dan merugikan seperti yang ada dalam informasi beredar saat ini. 

Dia juga berharap agar para pakar dan regulator menjelaskan isu BPA ini secara benar kepada masyarakat secara ilmiah dan jangan dikontroversikan menurut ilustrasi masing-masing yang bisa menyesatkan.

"Jadi, harus dengan data ilmiah sehingga masyarakat kita akan memahami dan bisa mengambil keputusan sendiri," katanya. 

Zainal mengatakan, jangankan plastik, obat saja juga terbuat dari zat-zat kimia yang berbahaya. Itulah sebabnya, kalau obat itu digunakan sesuai takarannya menjadi bagus, tapi kalau berlebihan obat itu maka bisa membunuh. 

Masyarakat, kata dia harus mengetahui bahwa secara kimia, bahan berbahaya ditambah bahan berbahaya itu bisa menghasilkan bahan yang tidak berbahaya seperti halnya garam dapur, obat, dan polikarbonat.

Akan tetapi kalau pencampurannya dilakukan secara fisik, artinya tidak ada reaksi kimia yang terjadi, itu akan menjadi dua kali berbahaya.

"Jadi menurut saya, masyarakat harus dikasih pengetahuan yang lengkap supaya tidak lagi takut lagi menggunakan kemasan pangan plastik yang sudah mendapat ijin BPOM, sehingga hidup ini menjadi nyaman," katanya. 

Pakar Teknologi Produk Polimer/Plastik yang juga Kepala Laboratorium Green Polymer Technology Universitas Indonesia (FTUI) Prof Mochamad Chalid, juga menegaskan bahwa kemasan pangan yang sudah memiliki izin edar secara disain material bahan bakunya pasti sudah relatif aman untuk digunakan.

Menurutnya, untuk mengatakan bahwa kemasan itu berbahaya pun harus jelas disclaimer-nya seperti apa.

"Jangan kalimat itu kemudian digeneralisir. Harus ada rinciannya, nggak bisa sembarangan. Nah, statement yang seperti itu nggak bisa digunakan untuk publik, kecuali kalau sudah ada data yang jelas," katanya.

Ahli teknologi pangan yang juga Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dedi Fardiaz juga menyampaikan hal yang serupa. 

Menurutnya, tentang migrasi dari zat kontak pangan ke produk pangannya itu sudah diatur secara jelas dalam Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan.

Peraturan itu menyebutkan beberapa yang wajib dilakukan label bebas dari zat kontak pangannya itu tidak hanya kemasan berbahan PC yang mengandung BPA saja, namum juga produk lainnya seperti melamin perlengkapan makan dan minum, kemasan pangan plastik polistirene (PS), kemasan pangan timbal (Pb).

Selain itu Kadmium (Cd), Kromium VI (Cr VI), merkuri (Hg), kemasan pangan Polivinil Klorida (PVC) dari senyawa Ftalat, kemasan pangan Polyethylene terephthalate (PET), juga kemasan pangan kertas dan karton dari senyawa Ftalat.

Khusus yang terkait BPA, dia mengatakan BPOM telah menetapkan satuan untuk keamanan pangannya sama dengan yang lain yang disebut TDI (tolerable daily intake). 

Sesuai ketentuan dalam Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, batas migrasi maksimal BPA adalah sebesar 0,6 bagian per juta (bpj, mg/kg).

Pada pertengahan 2021 lalu, kata Dedi, BPOM juga telah melakukan pengujian terhadap migrasi BPA terhadap AMDK berbahan PC dan menemukan bahwa hasilnya rendah sekali dibandingkan dengan persyaratan kandungan dalam airnya.

"Setelah dihitung ternyata paparannya itu jauh sekali di bawah itu. Artinya relatif aman, ujarnya.