Maumere (ANTARA) - Dua tangan seorang perempuan paruh baya tampak cekatan merapikan untaian benang lalu menyisipkannya ke sela-sela benang lain.
Raut wajah Tina Bebhe (38) terkesan serius. Sesekali dia menghela napas, lalu melempar senyum kepada beberapa orang yang lewat.
Tina tinggal di Kampung Tradisional Bena di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, yang terkenal sebagai kampung megalitikum di Flores.
"Kami (perempuan) di Bena harus tahu menenun sejak kecil," katanya ramah ketika menjawab pertanyaan pengunjung kampung tersebut.
Kampung Tradisional Bena telah menjadi ikon wisata Ngada yang mendunia, jauh sebelum destinasi wisata lain bermunculan di kabupaten tersebut.
Secara administratif, Bena masuk dalam wilayah geografis Desa Tiworiwu di Kecamatan Jerebu'u dan berada di sebelah timur kaki Gunung Inerie. Kampung tradisional ini berjarak lebih kurang 15,6 km arah selatan Kota Bajawa lewat Watujaji.
Kampung Bena berbentuk memanjang dari depan (arah utara) hingga ke belakang (selatan). Hanya dua jalan yang menjadi akses masuk dan keluar dalam kompleks rumah adat tersebut. Sebanyak 45 rumah tradisional pun berderet berhadap-hadapan timur barat.
Nuansa budaya sangat kental ketika kaki mulai melangkah masuk ke dalam kawasan rumah adat. Para pengunjung yang hendak berwisata budaya ke tempat itu harus membayar Rp20 ribu untuk satu kali kunjungan sebagai karcis masuk. Penerapan tiket masuk ini diatur dalam Peraturan Desa Tiworiwu Nomor 7 Tahun 2015 tentang Pungutan Desa Karcis Tanda Masuk Kampung Tradisional Bena.
Setelah pengunjung membayar karcis, mama penjaga loket memakaikan akan selendang yang menjadi tanda bagi para pengunjung. Ada seorang pemandu wisata lokal yang bernama Emiliana Kopa (53) yang bisa menemani wisatawan baik mancanegara maupun domestik.
Pada setiap rumah, para pengunjung bisa melihat berbagai jenis sarung tenun, selendang, dan gelang buatan para perempuan Bena yang berjejer rapi. Seperti Tina Bebhe, para perempuan lain juga sibuk menenun di depan rumah masing-masing. Aktivitas menenun itu dilakoni seperti biasa meski para pengunjung lalu lalang dari rumah ke rumah.
Tina Bebhe (38) menenun gelang di Kampung Tradisional Bena, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. (ANTARA/Fransiska Mariana Nuka)
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Pusat Informasi Pariwisata Kampung Adat Bena, ragam motif tenun ikat untuk sarung dan selendang di Bena tidak berbeda dari kampung lainnya. Motif yang sering dijumpai yakni bergambar jara (kuda), wa'i manu (cakar ayam), ghi'u (garis dinamis), ube, ngadhu, dan bhaga.
Namun yang membedakan ikat Bena dengan kampung lainnya adalah penggunaan warna dasar motif yang berwarna biru nila. Meskipun warna dasar sarung sama yaitu hitam, namun ada perbedaan yakni garis merah dan kuning pada bagian tepi bawah.
Emiliana Kopa, pemandu wisata lokal di Bena menjelaskan bahwa ada perbedaan yang mencolok pada minat wisatawan ke kampung itu. Biasanya, wisatawan Nusantara atau domestik tidak terlalu mendalami sisi lain dari kampung adat tersebut, kecuali pengunjung yang berasal dari kementerian atau peneliti. Mereka terlihat menghabiskan waktu untuk berfoto, menikmati keindahan kampung, dan berbelanja produk lokal.
Namun, wisatawan mancanegara memiliki minat yang mendalam terhadap nilai-nilai budaya di kampung adat Bena. Mereka pun membutuhkan narasi kuat yang bisa menjelaskan tentang asal usul kampung, sistem perkawinan, cerita di balik setiap sarung tenun ikat, makna rumah, dan ritus-ritus adat yang ada di kampung tersebut.
Berbicara tentang rumah, Kampung Adat Bena memiliki filosofi sendiri tentang rumah tinggal. Kampung itu dihuni oleh sembilan suku dan setiap suku memiliki rumah keluarga inti (Sao Meze) nenek moyang perempuan yang disebut sao saka pu'u dengan tanda miniatur bhaga di atas atap, yang mana masing-masing tepi atapnya terpasang tusuk rambut terbuat dari bambu dengan kepala muda berukuran kecil sebagai pangkalnya yang disebut ana ie.
Selanjutnya untuk rumah inti nenek moyang laki-laki dinamakan sa'o saka lobo yang diidentifikasikan dari patung pria berbalut ijuk yang memegang parang dan tombak yang terpasang di atas rumah.
Setiap rumah besar mempunyai rumah pendukung yang disebut kaka pu'u dhai pu'u dan kaka lobo, dhai lobo.
Dalam setiap rumah di Kampung Adat Bena terdiri dari tiga bagian yaitu lewu sebagai tiang penunjang yang ditanam ke tanah, sao untuk bagian lantai dan dinding, serta iru untuk bagian atap. Area rumah terbagi menjadi tiga tingkatan yakni teda moa, digunakan untuk situasi santai seperti perempuan menenun sambil menjaga anak kecil. Lalu masuk ke dalam ada area teda one yang diperuntukkan untuk menerima tamu atau dalam situasi resmi.
Terakhir ada one sao atau bagian paling dalam. One sao dilengkapi plat kayu di pintu masuk yang dinamakan kabapere dengan beberapa ukiran motif seperti kepala kerbau, ayam, dan sawa di sisi kanan kiri dan bawah mengapit pintu masuk yang berukuran kecil.
Ketika masuk ke one sao, ada sikap menunduk sebagai tanda hormat kepada mataraga, yakni media sakral yang dianggap penghubung maha kuasa dengan manusia yang hidup di dalam rumah. Area one sao digunakan sebagai dapur dan tempat tidur bagi keluarga di rumah tersebut.
Wisatawan yang berkunjung ke kampung Adat Bena sudah pasti mengabadikan momen berfoto dengan latar rumah-rumah adat tersebut, atau duduk di salah satu rumah. Selain itu, batu megalitik juga dijadikan latar berfoto, namun tidak boleh diduduki atau diinjak karena merupakan tempat ritual.
Dampak ekonomi
Kunjungan wisatawan ke Kampung Tradisional Bena perlahan-lahan mulai membaik pascapandemi COVID-19. Dari data Dinas Pariwisata Kabupaten Ngada, jumlah kunjungan ke kampung adat tersebut sejak Januari hingga Juni 2023 telah mencapai angka 33.428 orang. Dengan tingginya jumlah kunjungan tersebut, ada dampak positif pada tingkat ekonomi masyarakat setempat.
Ketua Pengelola Pariwisata Kampung Adat Bena, Emanuel Sebo mengatakan kunjungan itu memberi dampak ekonomi bagi masyarakat.
Hasil tenun ikat yang ada di setiap rumah pasti laku terjual, rata-rata satu kain seharga Rp300 ribu terjual per minggu. Dalam sebulan, satu rumah penenun bisa mendapatkan Rp1,2 juta dari kain tenun yang terjual tersebut.
Nilai tersebut merupakan nilai minimum saat suasana normal. Jika dalam kondisi ramai seperti libur panjang, para penenun bisa mendapatkan lebih dari tiga ratus ribu per hari untuk satu jenis kain tenun yang terjual.
Pendapatan itu baru diperoleh dari sarung atau selendang tenun yang dijual oleh para penenun. Ada berbagai jenis usaha produk lokal lain yang ditawarkan di desa tersebut.
Para pengunjung bisa menyewa pakaian adat dengan harga Rp100 ribu per orang, lalu sewa penginapan Rp200 ribu per malam, sewa tarian ja'i Rp2,5 juta per paket, sewa suling Rp1,5 juta per paket, sewa musik rakyat Rp1,5 juta per paket, sewa permainan tradisional atau sago alu Rp1 juta per paket, dan sewa Soka dan Teke Rp2 juta per paket.
Semua uang yang diperoleh dari penjualan paket-paket wisata itu masuk ke kas lembaga tersebut. Masyarakat pun merasakan dampak dari geliat pariwisata di Kabupaten Ngada.
Baca juga: Artikel - Menembus kabut menuju Puncak Bukit Wolobobo di Ngada
Kini setiap hari selalu ada kunjungan ke kampung adat tersebut. Wisatawan baik mancanegara dan Nusantara tidak absen mengunjungi kampung tua itu.
Bupati Ngada Andreas Paru pun terus menggaungkan potensi budaya kampung adat Bena.
Baca juga: Artikel - Pulau Rinca Taman Nasional Komodo sebagai wisata alam dan edukasi
Dalam berbagai momen, Bupati Andreas mempromosikan keunikan budaya dari kampung tradisional yang ada di Ngada, salah satunya Bena. Ia menjamin wisatawan tidak akan kecewa setelah berkunjung ke Kabupaten Ngada.
Untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan potensi pariwisata di Ngada, Bupati Andreas menjalin koordinasi dan kolaborasi dengan Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF). Kampung wisata itu juga masuk dalam peta tematik BPOLBF sehingga wisatawan bisa merancang perjalanan wisata budaya ke tempat itu.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Meramu budaya dari Kampung Tradisional Bena di Kabupaten Ngada NTT
Raut wajah Tina Bebhe (38) terkesan serius. Sesekali dia menghela napas, lalu melempar senyum kepada beberapa orang yang lewat.
Tina tinggal di Kampung Tradisional Bena di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, yang terkenal sebagai kampung megalitikum di Flores.
"Kami (perempuan) di Bena harus tahu menenun sejak kecil," katanya ramah ketika menjawab pertanyaan pengunjung kampung tersebut.
Kampung Tradisional Bena telah menjadi ikon wisata Ngada yang mendunia, jauh sebelum destinasi wisata lain bermunculan di kabupaten tersebut.
Secara administratif, Bena masuk dalam wilayah geografis Desa Tiworiwu di Kecamatan Jerebu'u dan berada di sebelah timur kaki Gunung Inerie. Kampung tradisional ini berjarak lebih kurang 15,6 km arah selatan Kota Bajawa lewat Watujaji.
Kampung Bena berbentuk memanjang dari depan (arah utara) hingga ke belakang (selatan). Hanya dua jalan yang menjadi akses masuk dan keluar dalam kompleks rumah adat tersebut. Sebanyak 45 rumah tradisional pun berderet berhadap-hadapan timur barat.
Nuansa budaya sangat kental ketika kaki mulai melangkah masuk ke dalam kawasan rumah adat. Para pengunjung yang hendak berwisata budaya ke tempat itu harus membayar Rp20 ribu untuk satu kali kunjungan sebagai karcis masuk. Penerapan tiket masuk ini diatur dalam Peraturan Desa Tiworiwu Nomor 7 Tahun 2015 tentang Pungutan Desa Karcis Tanda Masuk Kampung Tradisional Bena.
Setelah pengunjung membayar karcis, mama penjaga loket memakaikan akan selendang yang menjadi tanda bagi para pengunjung. Ada seorang pemandu wisata lokal yang bernama Emiliana Kopa (53) yang bisa menemani wisatawan baik mancanegara maupun domestik.
Pada setiap rumah, para pengunjung bisa melihat berbagai jenis sarung tenun, selendang, dan gelang buatan para perempuan Bena yang berjejer rapi. Seperti Tina Bebhe, para perempuan lain juga sibuk menenun di depan rumah masing-masing. Aktivitas menenun itu dilakoni seperti biasa meski para pengunjung lalu lalang dari rumah ke rumah.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Pusat Informasi Pariwisata Kampung Adat Bena, ragam motif tenun ikat untuk sarung dan selendang di Bena tidak berbeda dari kampung lainnya. Motif yang sering dijumpai yakni bergambar jara (kuda), wa'i manu (cakar ayam), ghi'u (garis dinamis), ube, ngadhu, dan bhaga.
Namun yang membedakan ikat Bena dengan kampung lainnya adalah penggunaan warna dasar motif yang berwarna biru nila. Meskipun warna dasar sarung sama yaitu hitam, namun ada perbedaan yakni garis merah dan kuning pada bagian tepi bawah.
Emiliana Kopa, pemandu wisata lokal di Bena menjelaskan bahwa ada perbedaan yang mencolok pada minat wisatawan ke kampung itu. Biasanya, wisatawan Nusantara atau domestik tidak terlalu mendalami sisi lain dari kampung adat tersebut, kecuali pengunjung yang berasal dari kementerian atau peneliti. Mereka terlihat menghabiskan waktu untuk berfoto, menikmati keindahan kampung, dan berbelanja produk lokal.
Namun, wisatawan mancanegara memiliki minat yang mendalam terhadap nilai-nilai budaya di kampung adat Bena. Mereka pun membutuhkan narasi kuat yang bisa menjelaskan tentang asal usul kampung, sistem perkawinan, cerita di balik setiap sarung tenun ikat, makna rumah, dan ritus-ritus adat yang ada di kampung tersebut.
Berbicara tentang rumah, Kampung Adat Bena memiliki filosofi sendiri tentang rumah tinggal. Kampung itu dihuni oleh sembilan suku dan setiap suku memiliki rumah keluarga inti (Sao Meze) nenek moyang perempuan yang disebut sao saka pu'u dengan tanda miniatur bhaga di atas atap, yang mana masing-masing tepi atapnya terpasang tusuk rambut terbuat dari bambu dengan kepala muda berukuran kecil sebagai pangkalnya yang disebut ana ie.
Selanjutnya untuk rumah inti nenek moyang laki-laki dinamakan sa'o saka lobo yang diidentifikasikan dari patung pria berbalut ijuk yang memegang parang dan tombak yang terpasang di atas rumah.
Setiap rumah besar mempunyai rumah pendukung yang disebut kaka pu'u dhai pu'u dan kaka lobo, dhai lobo.
Dalam setiap rumah di Kampung Adat Bena terdiri dari tiga bagian yaitu lewu sebagai tiang penunjang yang ditanam ke tanah, sao untuk bagian lantai dan dinding, serta iru untuk bagian atap. Area rumah terbagi menjadi tiga tingkatan yakni teda moa, digunakan untuk situasi santai seperti perempuan menenun sambil menjaga anak kecil. Lalu masuk ke dalam ada area teda one yang diperuntukkan untuk menerima tamu atau dalam situasi resmi.
Terakhir ada one sao atau bagian paling dalam. One sao dilengkapi plat kayu di pintu masuk yang dinamakan kabapere dengan beberapa ukiran motif seperti kepala kerbau, ayam, dan sawa di sisi kanan kiri dan bawah mengapit pintu masuk yang berukuran kecil.
Ketika masuk ke one sao, ada sikap menunduk sebagai tanda hormat kepada mataraga, yakni media sakral yang dianggap penghubung maha kuasa dengan manusia yang hidup di dalam rumah. Area one sao digunakan sebagai dapur dan tempat tidur bagi keluarga di rumah tersebut.
Wisatawan yang berkunjung ke kampung Adat Bena sudah pasti mengabadikan momen berfoto dengan latar rumah-rumah adat tersebut, atau duduk di salah satu rumah. Selain itu, batu megalitik juga dijadikan latar berfoto, namun tidak boleh diduduki atau diinjak karena merupakan tempat ritual.
Dampak ekonomi
Kunjungan wisatawan ke Kampung Tradisional Bena perlahan-lahan mulai membaik pascapandemi COVID-19. Dari data Dinas Pariwisata Kabupaten Ngada, jumlah kunjungan ke kampung adat tersebut sejak Januari hingga Juni 2023 telah mencapai angka 33.428 orang. Dengan tingginya jumlah kunjungan tersebut, ada dampak positif pada tingkat ekonomi masyarakat setempat.
Ketua Pengelola Pariwisata Kampung Adat Bena, Emanuel Sebo mengatakan kunjungan itu memberi dampak ekonomi bagi masyarakat.
Hasil tenun ikat yang ada di setiap rumah pasti laku terjual, rata-rata satu kain seharga Rp300 ribu terjual per minggu. Dalam sebulan, satu rumah penenun bisa mendapatkan Rp1,2 juta dari kain tenun yang terjual tersebut.
Nilai tersebut merupakan nilai minimum saat suasana normal. Jika dalam kondisi ramai seperti libur panjang, para penenun bisa mendapatkan lebih dari tiga ratus ribu per hari untuk satu jenis kain tenun yang terjual.
Pendapatan itu baru diperoleh dari sarung atau selendang tenun yang dijual oleh para penenun. Ada berbagai jenis usaha produk lokal lain yang ditawarkan di desa tersebut.
Para pengunjung bisa menyewa pakaian adat dengan harga Rp100 ribu per orang, lalu sewa penginapan Rp200 ribu per malam, sewa tarian ja'i Rp2,5 juta per paket, sewa suling Rp1,5 juta per paket, sewa musik rakyat Rp1,5 juta per paket, sewa permainan tradisional atau sago alu Rp1 juta per paket, dan sewa Soka dan Teke Rp2 juta per paket.
Semua uang yang diperoleh dari penjualan paket-paket wisata itu masuk ke kas lembaga tersebut. Masyarakat pun merasakan dampak dari geliat pariwisata di Kabupaten Ngada.
Baca juga: Artikel - Menembus kabut menuju Puncak Bukit Wolobobo di Ngada
Kini setiap hari selalu ada kunjungan ke kampung adat tersebut. Wisatawan baik mancanegara dan Nusantara tidak absen mengunjungi kampung tua itu.
Bupati Ngada Andreas Paru pun terus menggaungkan potensi budaya kampung adat Bena.
Baca juga: Artikel - Pulau Rinca Taman Nasional Komodo sebagai wisata alam dan edukasi
Dalam berbagai momen, Bupati Andreas mempromosikan keunikan budaya dari kampung tradisional yang ada di Ngada, salah satunya Bena. Ia menjamin wisatawan tidak akan kecewa setelah berkunjung ke Kabupaten Ngada.
Untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan potensi pariwisata di Ngada, Bupati Andreas menjalin koordinasi dan kolaborasi dengan Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF). Kampung wisata itu juga masuk dalam peta tematik BPOLBF sehingga wisatawan bisa merancang perjalanan wisata budaya ke tempat itu.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Meramu budaya dari Kampung Tradisional Bena di Kabupaten Ngada NTT