Yogyakarta (ANTARA) - Kredit macet di kalangan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) saat ini menjadi perhatian serius Pemerintah. Berdasarkan data kolektibilitas kredit UMKM pada bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) per 31 Desember 2022, jumlah debitur yang masuk kolektibilitas 2 atau dalam perhatian sebanyak 912.259, sedangkan kolektibilitas 5 atau macet sebanyak 246.324 debitur.

Perhatian serius Pemerintah tersebut ditunjukkan dengan aktivitas Presiden Joko Widodo ketika memimpin rapat mengenai restrukturisasi UMKM, di Istana Merdeka, Jakarta, Senin pekan lalu. Saat itu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menginformasikan bahwa dalam rapat dibahas mengenai rencana penghapusbukuan atau penghapustagihan kredit macet UMKM di perbankan.

Saat ini peraturan itu sudah memasuki tahap penggodokan, terutama aturan teknis yang mengacu kepada Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Aktiva Bank Umum, serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum.

Selain itu ada pula UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) khususnya pada Pasal 250 dan 251 juga terdapat ketentuan mengenai penghapusbukuan dan penghapustagihan piutang macet UMKM pada bank dan lembaga keuangan nonbank (LKNB) untuk mendukung kelancaran pemberian akses pembiayaan kepada UMKM.

Aturan turunan yang sedang dipersiapkan berupa peraturan pemerintah (PP). Selama ini ada PP No. 130 Tahun 2000 tentang Pengecualian sebagai Objek Pajak atas Keuntungan karena Pembebasan Utang Debitur Kecil.

Namun, menurut Menko Airlangga, harus ada pemutakhiran. Misalnya, dalam PP itu penghapusan tidak lebih dari Rp350 juta. Padahal sekarang ini plafon kredit usaha rakyat (KUR) sudah Rp500 juta. Karena itu, tampaknya angka minimal penghapusan itu bisa dinaikkan ke plafon KUR.

Di tengah persiapan aturan itu, timbul pro-kontra penghapusbukuan tersebut.

Ada yang menilainya sebagai kebijakan dilematis. Dilemanya, satu hal yang banyak disoroti adalah kekhawatiran akan dampaknya terhadap mentalitas pelaku UMKM. Alih-alih membantu mereka, justru yang dikhawatirkan adalah anggapan bahwa kredit macet UMKM akan selalu ditoleransi dengan pemutihan. Anggapan inilah yang akan membuat pelaku UMKM bersemangat mengambil kredit, tapi ogah-ogahan untuk mengangsur.

Oleh karena itu, perlu ada antisipasi. Langkah penghapusbukuan bisa saja menjadi opsi.  Antisipasinya adalah tetap dengan syarat-syarat ketat. Tujuannya agar pelaku UMKM tidak "menggampangkan" dalam urusan kredit macet ini. Mereka yang mempunyai kredit macet tetap harus bersusah payah untuk bisa memperoleh pemutihan tersebut.

Sejumlah bankir mengingatkan bahwa dalam aturan proses penghapusbukuan diperlukan kajian ulang yang perlu dipertimbangkan secara matang, baik dari sisi regulator, Pemerintah, hingga industrinya karena bank BUMN tak bisa sembarangan memberikan penghapusan kredit mengingat di dalam ekosistem perbankan nasional juga terdapat sejumlah bank swasta. Bagaimanapun, bank swasta bakal kena imbas atas aturan pemutihan tersebut.

Pada sisi lain, di manakah urgensi penghapusbukuan kredit macet tersebut? Sebagaimana dijelaskan oleh Direktur Utama BRI Sunarso, kebijakan tersebut ditempuh karena nasabah-nasabah UMKM yang tercatat sebagai penunggak kredit ada jutaan. Mereka ini dari sisa-sisa program zaman dulu. Bila itu diperhitungkan sebagai aset negara maka pihak bank tidak lagi leluasa memberikan kredit.

Sebaliknya, jika ada pemutihan akan membantu segmen UMKM dalam mengakses pendanaan sehingga akan mendorong pertumbuhan kredit.

Sebagai contoh, hingga kuartal I/2023, BRI mencatat pertumbuhan kredit di sektor UMKM sebesar 9,6 persen year on year (YoY) dengan nominal mencapai Rp989,6 triliun. Pada periode yang sama, non-performing loan/NPL (kredit bermasalah) tertinggi berasal dari segmen usaha kecil di level 4,30 persen dibanding periode yang sama tahun lalu yang 4,05 persen.

Meskipun demikian, segmen usaha mikro juga mengalami kenaikan NPL, dari 1,77 persen menjadi 2,24 persen. Hanya usaha menengah yang mengalami penurunan NPL, dari 3,95 persen menjadi 2,06 persen.

NPL adalah salah satu bentuk permasalahan pada proses pembayaran pinjaman, yang umumnya disebabkan oleh krisis ekonomi, yang mengakibatkan peningkatan pada persentase kredit macet.

Secara sederhana, NPL adalah salah satu indikator kesehatan aset dari suatu lembaga keuangan. Perhitungan di sini berkaitan dengan banyaknya debitur yang gagal melakukan pelunasan pinjaman sesuai dengan kesepakatan. Bank Indonesia menyebutkan bahwa yang termasuk dalam kategori NPL  adalah pinjaman dengan kualitas diragukan, kurang lancar, dan macet.

Merespons soal penghabusbukuan kredit macet tersebut, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki menyatakan setuju kredit macet usaha mikro dan kecil (UMK) senilai Rp5 miliar ke bawah diputihkan atau dihapusbukukan (write-off). Pemutihan itu membuat para pelaku UMK bisa kembali memperoleh kucuran kredit dan melanjutkan usaha mereka.

Dengan begitu roda ekonomi bakal bergerak karena UMK berkontribusi 99,89 persen terhadap struktur perekonomian nasional dibanding pengusaha menengah yang 0,10 persen dan pengusaha besar 0,01 persen.

Data Kementerian Koperasi dan UKM menyebutkan usaha mikro berjumlah 64,60 juta unit atau 98,67 persen dari total unit usaha di Indonesia, sedangkan usaha kecil berjumlah 798.679 unit (1,22 persen), usaha menengah 65.465 unit (0,10 persen), dan usaha besar 5.637 unit (0,01 persen).

Melihat pentingnya kontribusi UMKM, memang selayaknya dipertimbangkan pemutihan kredit macet tersebut, tetapi dilaksanakan secara cermat. Ini semua tergantung pada aturan yang sedang dimatangkan.

Baca juga: Artikel- UMKM dan dukungan pembiayaan BRI di Labuan Bajo

Baca juga: Artikel - Melihat potensi agrowisata stroberi di TN Kelimutu




 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mencermati penghapusbukuan kredit macet UMKM

Pewarta : Nusarina Yuliastuti
Editor : Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2024