Jakarta (ANTARA) - Analis Bank Woori Saudara BWS Rully Nova memprediksi nilai tukar rupiah melemah pada kisaran Rp15.650-Rp15.680 per dolar Amerika Serikat (AS).

"Pelemahan rupiah dipengaruhi oleh faktor eksternal, yakni pidato Presiden The Fed (Gubernur Bank Sentral AS The Fed Jerome Powell) yang masih menunjukkan sikap hawkish dan neraca perdagangan China yang lebih rendah dibanding periode sebelumnya," kata dia ketika dihubungi ANTARA di Jakarta, Kamis, (9/11/2023).

Ke depan, perekonomian AS masih akan bertumbuh kuat dan pasar tenaga kerja AS masih ketat dengan pertumbuhan moderat. Hal tersebut berakibat pada inflasi AS yang sulit turun dengan cepat mendekati target 2 persen.

Dengan kebijakan moneter ketat dengan suku bunga tinggi yang terus dijalankan The Fed, maka index dolar AS akan selalu tinggi dan nilai perdagangan internasional tidak lagi kompetitif.

"Suku bunga tinggi AS juga akan diikuti oleh bank sentral negara lain akan berakibat pada pertumbuhan ekonomi yang melambat," ungkap Rully.

Adapun neraca perdagangan China tercatat mengalami surplus menjadi 56,5 miliar dolar AS, tetapi menurun dibandingkan periode sebelumnya.

Melihat sentimen dari domestik, ada penurunan cadangan devisa sebagaimana disampaikan Bank Indonesia (BI). "Cadangan devisa BI turun menjadi 133 miliar dolar AS," ujar dia.

Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Kamis pagi melemah sebesar 0,01 persen atau 1 poin menjadi Rp15.651 per dolar AS dari sebelumnya Rp15.650 per dolar AS.


Baca juga: Rupiah melemah karena pasar tunggu putusan FOMC

Baca juga: Rupiah relatif tangguh dibanding mata uang lain, menurut CORE

Pewarta : M Baqir Idrus Alatas
Editor : Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2024