Kupang (ANTARA) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta menggandeng AJI Kupang menggelar diskusi buku "Derita Penghayat Kepercayaan, Transgender, dan Minoritas" di Kupang: Catatan Suara Minoritas, Sabtu (3/8).
Buku yang ditulis oleh 14 jurnalis terpilih berkisah tentang hasil liputan lapangan isu-isu kelompok minoritas di Yogyakarta, Jawa Tengah, Aceh, dan NTT.
Penulis dan editor buku, Bambang Mulyanto mengatakan buku itu menghimpun kisah yang tidak banyak dimuat di media massa. Pertama, buku tersebut memuat tulisan dari hasil liputan lapangan tentang penghayat kepercayaan atau agama lokal. Lalu, ada pula tulisan tentang transgender. Terakhir, tulisan tentang minoritas agama.
Menurutnya buku Derita Penghayat Kepercayaan, Transgender, dam Minoritas Agama yang diterbitkan oleh AJI Yogyakarta merupakan bukti bahwa penghayat kepercayaan, transgender, dan minoritas agama di Indonesia masih mengalami diskriminasi di berbagai sektor. Hasil reportase itu juga menunjukkan negara belum sepenuhnya hadir untuk menjamin pemenuhan hak asasi mereka.
Hal itu tertuang dalam hasil liputan yang menyebutkan bahwa kelompok minoritas masih sulit mendapatkan hak-hak mereka, lalu mengalami tekanan dari kelompok mayoritas.
Di NTT, DIY, dan Magelang, murid pemeluk penghayat kepercayaan dan Marapu masih kesulitan mendapat pelajaran sesuai dengan keyakinannya. Prosesnya berliku, belum ada guru, dan bahkan dipaksa mengikuti pelajaran agama yang diakui oleh negara.
Lebih lanjut ia menyentil bagaimana keberadaan kelompok transgender yang masih sering mengalami kekerasan dan hampir tidak ada kasus kekerasan berbasis gender yang dialami kelompok transgender ini yang diproses di pengadilan.
Dengan kehadiran buku tersebut, Bambang ingin menunjukkan bahwa ada problem yang belum tersentuh sepenuhnya oleh jurnalis.
"Padahal jurnalis harus memetakan aturan yang diskriminatif, lalu menulis fakta di lapangan, kritis terhadap aturan yang diskriminatif," ucapnya di Kupang, Sabtu.
Adapun diskusi itu melibatkan jurnalis, akademisi, dan organisasi-organisasi masyarakat pemerhati isu minoritas di Kota Kupang.
Berbagai masukan seperti pentingnya pelatihan bagi jurnalis agar memiliki perspektif terhadap kaum minoritas, serta keamanan jurnalis juga sempat dibahas dalam sesi diskusi.
Baca juga: AJI dan LBH Pers minta Perpres PublisherRights dijalankan secara akuntabel
Ketua AJI Kota Kupang, Djemi Amnifu mengatakan, diskusi buku tersebut menunjukkan peran para jurnalis sebagai kontrol sosial yang mengangkat berita-berita kritis keberagaman minoritas di beberapa daerah di Indonesia termasuk di NTT.
Baca juga: Organisasi Pers di Sulsebar menolak tegas RUU Penyiaran
"Dengan kegiatan hari ini yang melibatkan semua pihak, diharapkan teman-teman jurnalis juga mendapat perspektif baru, motivasi, dan semangat untuk menulis hal-hal yang perlu diungkap ke publik," kata Djemi.
Buku yang ditulis oleh 14 jurnalis terpilih berkisah tentang hasil liputan lapangan isu-isu kelompok minoritas di Yogyakarta, Jawa Tengah, Aceh, dan NTT.
Penulis dan editor buku, Bambang Mulyanto mengatakan buku itu menghimpun kisah yang tidak banyak dimuat di media massa. Pertama, buku tersebut memuat tulisan dari hasil liputan lapangan tentang penghayat kepercayaan atau agama lokal. Lalu, ada pula tulisan tentang transgender. Terakhir, tulisan tentang minoritas agama.
Menurutnya buku Derita Penghayat Kepercayaan, Transgender, dam Minoritas Agama yang diterbitkan oleh AJI Yogyakarta merupakan bukti bahwa penghayat kepercayaan, transgender, dan minoritas agama di Indonesia masih mengalami diskriminasi di berbagai sektor. Hasil reportase itu juga menunjukkan negara belum sepenuhnya hadir untuk menjamin pemenuhan hak asasi mereka.
Hal itu tertuang dalam hasil liputan yang menyebutkan bahwa kelompok minoritas masih sulit mendapatkan hak-hak mereka, lalu mengalami tekanan dari kelompok mayoritas.
Di NTT, DIY, dan Magelang, murid pemeluk penghayat kepercayaan dan Marapu masih kesulitan mendapat pelajaran sesuai dengan keyakinannya. Prosesnya berliku, belum ada guru, dan bahkan dipaksa mengikuti pelajaran agama yang diakui oleh negara.
Lebih lanjut ia menyentil bagaimana keberadaan kelompok transgender yang masih sering mengalami kekerasan dan hampir tidak ada kasus kekerasan berbasis gender yang dialami kelompok transgender ini yang diproses di pengadilan.
Dengan kehadiran buku tersebut, Bambang ingin menunjukkan bahwa ada problem yang belum tersentuh sepenuhnya oleh jurnalis.
"Padahal jurnalis harus memetakan aturan yang diskriminatif, lalu menulis fakta di lapangan, kritis terhadap aturan yang diskriminatif," ucapnya di Kupang, Sabtu.
Adapun diskusi itu melibatkan jurnalis, akademisi, dan organisasi-organisasi masyarakat pemerhati isu minoritas di Kota Kupang.
Berbagai masukan seperti pentingnya pelatihan bagi jurnalis agar memiliki perspektif terhadap kaum minoritas, serta keamanan jurnalis juga sempat dibahas dalam sesi diskusi.
Baca juga: AJI dan LBH Pers minta Perpres PublisherRights dijalankan secara akuntabel
Ketua AJI Kota Kupang, Djemi Amnifu mengatakan, diskusi buku tersebut menunjukkan peran para jurnalis sebagai kontrol sosial yang mengangkat berita-berita kritis keberagaman minoritas di beberapa daerah di Indonesia termasuk di NTT.
Baca juga: Organisasi Pers di Sulsebar menolak tegas RUU Penyiaran
"Dengan kegiatan hari ini yang melibatkan semua pihak, diharapkan teman-teman jurnalis juga mendapat perspektif baru, motivasi, dan semangat untuk menulis hal-hal yang perlu diungkap ke publik," kata Djemi.